Benarkah Muhammad Pernah Sesat?

1,089 kali dibaca

Tidak semua orang (muslim) percaya bahwa sebelum dinobatkan sebagai utusan, sebagai rasul, Muhammad pernah tersesat. Saya juga tidak percaya. Karena, di dalam sejarah, Muhammad adalah seorang yang jujur, arif, bijak, dan terjaga (maksum). Maka, menjadi sesuatu yang absurd jika kemudian muncul pemikiran atau pendapat yang mengatakan bahwa nabi Muhammad adalah pernah sesat.

Pemikiran kontroversial ini muncul ketika saya melaksanakan salat Jumat, 19 Mei 2017. Imam salat membaca surah ad-Dhuha. Setelah sampai pada ayat “Wawajadaka dhallan fahada (dan Dia dapati Engkau (Muhammad) dalam keadaan sesat, lalu Dia memberikan hidayah (petunjuk).

Advertisements

Ayat ini memberikan petunjuk bahwa Muhammad pernah dalam kondisi “sesat”, kemudian Allah memberikan hidayah kepadanya. Namun, benarkah Muhammad pernah sesat? Seperti apa kesesatan yang dimaksud? Ataukah ada makna lain dalam pemahaman ayat tersebut?

“… dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung (sesat?), lalu Dia memberikan petunjuk,” (QS. Ad-Dhuha, 7).

Di dalam terjemahan ayat tersebut disebutkan sebagai “bingung,” bukan sesat. Namun, di dalam kamus Bahasa Arab, kata “dhaallan” memang berarti sesat atau tidak dapat petunjuk (Kamus Bahasa Arab oleh Mahmud Yunus, hal. 230).

Tentu ada telaah khusus sehubungan dengan ayat ini. Karena, dalam kehidupan Muhammad tidak pernah dikisahkan tentang kesesatannya dalam arti yang sebenarnya. Maksudnya, sesat yang dimaksud adalah tindakan yang mengarah kepada syirik atau perbuatan dosa besar lainnya.

Tafsir Al-Qurtubi

Di dalam tafsir Al-Qurtubi dijelaskan bahwa makna “dhaallan” dalam ayat tersebut adalah “ghafilan,” yaitu lalai. Makna lalai tidak sampai meniadakan kesucian Nabi, baik sebelum atau sesudah diangkat sebagai Rasul Allah. Makna lalai adalah kurang mengindahkan akan persoalan kenabian yang diamanatkan kepada Muhammad. Tentu sangat manusiawi jika di awal-awal kenabian, Nabi Muhammad kurang yakin terhadap kewajiban kenabiannya.

Selain makna lalai (ghafil), masih menurut tafsir Al-Qurtubi, “dhaallan” juga bermakna menuntut atau mencari. Yaitu, mencari arah qiblah yang menurut Muhammad membingungkan, kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya untuk menghadap ke Masjidil Haram.

Dhaallan juga bermakna lupa (nasiyan). Yaitu, lupa terhadap kisah Ashabul Kahfi, Zulqarnain, dan ruh, ketika Nabi ditanya oleh kaumnya. Kemudian Allah memberikan hidayah, petunjuk, tentang kisah-kisah tersebut tanpa ada pertentangan akan kebenarannya. Jadi, Allah mendapati Muhammad dalam keadaan lupa, kemudian Allah memberikan petunjuk dengan cara memberikan ingatan. Itu adalah bagian dari skenario Allah.

Ada juga makna lain dari “dhaallan”, yaitu “mutahayyir” yang artinya bingung. Muhammad dalam keadaan bingung dengan apa yang diturunkan kepadanya, berupa wahyu. Atas kebingungan ini kemudian Allah memberikan hidayah, petunjuk, dan penjelasan yang akan memberikan ketentraman kepada jiwanya. Dengan hidayah yang didapatkan dari Allah, segala hal yang membingungkan menjadi jelas dan tercerahkan.

Masih ada makna lainnya, yaitu “dhai’” dan “mahabbah.” Dhai’ artinya hilang, yaitu menghilang dari kaumnya untuk ber-khalwat, menyendiri di suatu tempat, goa hira untuk munasabah dan muhasabah. Merenung dan berpikir logis tentang keadaan kaumnya yang semakin jauh dari Tuhannya. Kemudian Allah memberi hidayah, petunjuk berupa wahyu untuk disampaikan kepada kaumnya berkenaan dengan tauhid, ibadah, dan amaliah sosial.

Mahabbah artinya cinta. Yaitu cinta Muhammad kepada hidayah, sehingga Allah memberikan apa Muhammad cintai berupa petunjuk atau hidayah, wahyu dari Allah. Kecintaan Muhammad kepada hidayah diaplikasikan dalam bentuk totalitas penghambaan sebagai Nabi dan Rasul. Hal inilah yang kemudian membentuk pribadi agung Muhammad yang pantas untuk diteladani oleh siapa saja.

Kalau tidak karenamu, Muhammad, maka tidak aku ciptakan dunia dan segala isinya.” (Hadits Qudsi).

Tafsir Ibnu Katsir

Menurut Ibnu Katsir, makna dan maksud ayat di atas adalah situasi di mana Muhammad dalam suatu perjalanan. Dikisahkan bahwa di masa kecil, Muhammad berada dalam suatu perjalanan di malam hari menuju Mekkah. Kisah lainnya menyebutkan bahwa Muhammad dalam suatu perjalanan menuju Syam bersama Abu Thalib, pamannya.

Saat itu, Muhammad mengendarai seekor unta. Di tengah perjalanan, di gelap malam tersebut, datanglah Iblis dengan maksud menyesatkan perjalanan Muhammad. Benar saja, arah perjalanan Muhammad menuju arah yang salah. Tersesat di dalam rute yang tidak benar karena pengaruh Iblis tersebut. Kemudian, Allah mengutus Jibril untuk menunjukkan kembali jalan yang benar. Allah, melalui Malaikat-Nya, memberikan petunjuk (hidayah) kepada Muhammad. Akhirnya, Muhammad pun selamat dari kesesatan perjalanan (dikisahkan oleh Al-Baghawi).

Semoga artikel ini memberikan hikmah dan petunjuk bagi penulis dan kita semua, bahwa sebenarnya Rasul terlepas dan suci dari kesesatan yang mengarah kepada kebatilan. Rasul tidak pernah berbuat sesuatu yang akan menihilkan nilai kerasulan. Muhammad adalah sosok suci dari segala bentuk fitnah dari musuh-musuhnya, termasuk fitnah bahwa Muhammad pernah berperilaku sesat.

Mahasuci Allah yang telah memberikan hidayah kepada Rasul-Nya, Muhammad untuk memberikan yang terbaik untuk yang tercinta (Muhamad saw) dari Yang Mahacinta (Allah). Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan