Belahan Hati Muhammad

566 kali dibaca

HAMPIR tiga hari belakangan Muhammad mengeluh sakit kepala yang sangat, disertai dengan demam tinggi, hingga meminta sahabatnya, Abu Bakar, untuk menggantikannya memimpin salat jemaah. Itulah saat-saat terakhir keluarga Muhammad dirundung kesedihan yang sangat —atau lebih tepatnya semacam kekhwatiran terhadap sesuatu yang takut mereka bayangkan, kalau-kalau Sang Kekasih, Sang Pelindung, meninggalkan mereka.

Apakah memang begitu takdir seorang Nabi? Dan Fatimah tidak berhenti menangis hingga ayahnya membisikinya, “Engkaulah wahai putriku, yang akan menyusulku untuk pertama kali di antara para keluargaku,” dan Fatimah pun tersenyum puas.

Advertisements

Ini adalah kisah sebuah hubungan tali keluarga yang dicontohkan oleh Muhammad sang utusan. Pada detik terakhir kisah itu, kita tidak pernah yakin apakah bisikan Muhammad kepada putrinya menyiratkan pengetahuan ilahiyah terhadap apa yang akan terjadi kemudian sehingga perlu memberi tahu Fatimah untuk sekadar menghiburnya. Ataukah hal itu semacam isyarat harapan (doa) yang dipanjatkan karena sebuah ikatan hati seorang ayah dan anaknya yang luar biasa?

Dari sudut pandang terakhir inilah kita menjadi paham, bahwa sesungguhnya Muhammad memang pada dasarnya telah mempersiapkan diri. Ia benar-benar telah membangun hubungan yang istimewa dengan Fatimah, putrinya. Di antara keempat putrinya, Fatima-lah yang dipilih untuk dididik mewarisi kekuatan ilahiyah misi ke-nabi-annya.

Sebagiannya, mungkin karena Muhammad sendiri tidak pernah memiliki putra yang bertahan hidup hingga usia dewasa sehingga ia perlu memastikan bahwa keturunan Fatima-lah yang akan menjaga pilar ketakwaan dan kesucian. Tetapi, lebih dari itu ia juga ingin menunjukkan contoh terbaik bagaimana memperlakukan seorang wanita dan anak perempuan.

Riwayat yang dihimpun oleh Ibnu Hisyam, misalnya, menceritakan bahwa Rasulullah selalu menghampiri putrinya terlebih dahulu setelah bepergian jauh dan kemudian mencium tangannya. Atau, Nabi selalu menyapa putrinya di pagi hari melalui cendela rumah mereka yang saling berhadapan.

As-Suyuti menjelaskan keadaan di atas sebagai kecenderungan Muhammad di satu sisi untuk menganggap Fatimah sebagai penghibur hatinya, yang mengingatkan kemulian mendiang istrinya, Khadijah. Fatimah bak pengganti Khadijah, sebagaimana masyarakat waktu itu menyebut Fatimah sebagai ummu abiha (ibu dari ayahnya).

Fatimah juga dinikahkan oleh Muhammad dengan lelaki tidak kaya, Ali —tidak seperti ketiga kakak Fatimah yang lain. Tetapi, kita tahu betul apa pertimbangan Muhammad; alih-alih mengutamakan kemapanan, Ali dipilih karena kualitas dan kredibilitas yang kuat dalam beragama.

Pernah, menurut suatu riwayat, Fatimah merajuk kepada Ali supaya memohon kepada Muhammad agar diberi seorang pembantu rumah tangga, tetapi Muhammad menolak permohonan itu, dan hanya memberi keduanya sebuah doa untuk diwiridkan. Atau, lihatlah bagaimana ketakutan Fatimah yang serat merta merobek gorden rumahnya yang “cukup mewah/bagus tidak pada umumnya” hanya karena ayahnya memalingkan wajah ketika melihat gorden tersebut untuk pertama kali ketika mengunjunginya.

Ini adalah pelajaran Muhammad kepada putrinya tentang bagaimana kerendahan hati, pilihan hidup untuk melayani, dan kekuatan keyakinan kepada Tuhan —untuk tidak takut dan tidak terpedaya dengan gemerlap dunia. Fatimah mendapat pelajaran secara tepat dan mendapat tempat yang istimewa di hati Muhammad.

Kilasan hubungan Muhammad-Fatimah merupakan contoh terbaik hubungan Ayah-Anak. Sungguh Muhammad sangat sayang kepada Fatimah, dan Fatimah tahu hal itu. Maka kerinduannya pun menyebabkan ia tersenyum puas ketika ayahnya membisikinya bahwa ia akan menyusul segera. Ekspresi cinta Muhammad kepada Fatimah menyebabkannya pernah berkata: “Barangsiapa menyakiti Fatimah, berarti ia menyakitiku.”

Kiranya tepatlah prosa berikut menggambarkan perasaan Fatimah kepada Ayahnya; sebuah contoh yang sangat baik yang penulis kutip, bagian karya dari generasi Fatimah masa kini (ditulis oleh seorang siswi tingkat aliyah di sebuah sekolah/madrasah).

Seandainya Sayyidah Fatimah mengetuk pintuku …
Maka aku minta izin untuk menghirup harum aroma surga,
Lalu, aku persilahkan duduk di tempat yang Beliau sukai,
Aku akan bertanya dengan jutaan tanya.
Lalu, tiba-tiba Az-Zahra menangis …
Aku jadi sedih, dan terdengar suaranya,
Dulu, ketika aku dipanggil Ayahku …
Aku langsung menghampiri tak pernah menunda,
Apakah kamu seperti itu?
Dulu, ketika ayahku disakiti oleh orang kafir Quraisy,
Aku langsung berdiri di depan melawan mereka,
Membersihkan kotoran dari wajah Ayah yang mulia,
Tak pernah aku mengurus diriku terlebih dahulu,
Sebelum aku tahu kondisi Ayahku …
Apakah kamu seperti itu?
Dulu, ketika Ayahku terluka setelah peperangan,
Aku mengobati sebisanya,
Sambil berdoa kepada Allah …
Ambil nyawaku terlebih dahulu, jangan Ayahku,
Jiwaku, aku pertaruhkan untuk keselamatan ayahku,
Apakah kamu seperti itu?
Kalau kamu belum seperti itu …
Sebentar lagi harum aroma surga akan segera menghilang
….

Multi-Page

Tinggalkan Balasan