Barokah Kiai dan Kisah Para Udin

4,104 kali dibaca

Di sebuah ruang kelas diniyah pondok pesantren, seorang ustadz sedang membuka pelajaran baru dengan bercerita tentang kehidupan di pondok.

“Pondok ini penuh dengan barokah. Kita harus yakin akan hal itu. Banyak cerita yang menunjukkan barokah kiai pondok kita ini,” ujar Ustadz Fadil. Para santri baru menyimak penuturannya dengan antusias.

Advertisements

“Salah satu cerita yang masih lekat di ingatan saya hingga kini adalah pengalaman salah seorang santri tatkala melamar kerja. Namanya Udin. Sebagai seorang magister pertanian, dia bermaksud melamar kerja jadi dosen di salah satu kampus ternama di Malang,” Ustadz Fadil berhenti sejenak guna mengambil napas sambil memandangi para santri.

“Ketika memasuki ruangan petinggi kampus untuk melakukan interview, Cak Udin membacakan doa yang diijazahkan oleh kiai. Sebuah keanehan, yang kuyakini sebagai sebuah barokah terjadi di ruangan itu. Petinggi kampus itu ternyata juga seorang jebolan pesantren. Bukannya diberi pertanyaan seputar pertanian layaknya calon dosen pertanian, Cak Udin malah disuruh membaca kitab gundul. Dan untungnya, Cak Udin mampu membacanya dengan lancar. Ini karena barokah dari doa kiai dan barokahnya rajin mengaji. Coba kalau misalnya Cak udin di pondok cuma numpang tidur, pasti ceritanya akan berbeda. Nah, karena kemampuannya membaca kitab gundul cukup bagus, akhirnya Cak Udin diterima jadi dosen tanpa ada tes lagi,” pungkas Ustadz Fadil.

Para santri terkesima mendengar cerita itu. Seorang santri baru yang juga bernama Udin bahkan sampai mengangguk berkali-kali karena meresapi cerita itu. “Saya akan jadi the next Udin,” pikirnya.

“Ada cerita lain,” Ustadz Fadil menyambung kalimatnya yang sejenak tadi telah terhenti.

“Ini juga tentang barokahnya kiai pondok kita ini. Ada seorang khodim, namanya juga Udin. Dia adalah teman sekamarku. Tapi bukan Udin yang jadi dosen tadi. Kita tahu, banyak sekali Udin di dunia ini. Ngomong-omong di kelas ini ada yang namanya juga Udin?” tanya Ustadz Fadil. Seketika itu ada empat orang santri mengangkat tangan. Para santri tampak terperangah dan cekikikan.

“Rupanya banyak juga yang bernama Udin di kelas ini, ya. Apa kalian sudah buat grup WA ‘Persatuan Santri Udin Indonesia’? Kalau belum saya sarankan kalian segera buat grup itu ya, untuk mempermudah komunikasi dan silaturahmi dengan sesama kaum Udin,” kelakar Ustadz Fadil. Para santri tertawa receh.

“Baik, cerita saya lanjutkan. Suatu hari Si Udin ini disuruh kiai belanja ke pasar. Dengan menaiki sepeda motor pinjaman punya temannya, Si Udin kemudian berangkat ke pasar. Tanpa STNK, tanpa helm. Helmnya santri itu kan kopyah. Jadi Si Udin cuma pakai kopyah,” Ustadz Fadil bercerita dengan semangat. Udin dan beberapa Udin yang ada di kelas itu sangat antusias mendengarkan cerita. Begitu juga dengan santri-santri baru lainnya.

“Kenapa napasmu ngos-ngosan begitu, Din?” Ustadz Fadil menceritakan percakapannya dengan Si Udin.

“Khodim kiaiku itu tak segera menjawab pertanyaanku, masih menata alur napasnya. Keningnya juga dipenuhi bulir-bulir keringat,” kata Ustadz Fadil lagi.

“Udin kemudian bercerita.”

“Aku baru belanja di pasar Mergan tadi, disuruh Pak Kiai. Beli tumbar, miri, dan jahe, serta daging sapi. Begitu pulang aku melihat keramaian di tengah jalan. Karena keburu ditunggu Pak Kiai aku terobos begitu saja keramaian itu. Mampus tenan! Ternyata polisi sedang razia, Tadz,” Ustadz Fadil menirukan kehebohan cerita Si Udin.

“Ketika kutanya bagaimana kelanjutan ceritanya, mulut lebar Si Udin menyeringai. Janggal sekali tingkahnya itu karena tiba-tiba tawanya berubah semakin lebar. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi,” kisah Ustadz Fadil.

“Pak Polisi itu nyegat saya Cak. Seperti orang mau malak. Lha kalau saya apanya yang mau dipalak? Sarung ini saja pinjaman, Udin memelas.”

“Kamu jawab apa ke polisi itu? Kok masih selamat sampai di pondok lagi?” Ustadz Fadil menceritakan percakapannya dengan Udin.

“Si Udin jawab begini. Polisi itu kan tanya kenapa saya gak pakai helm. Ya saya jawab. Saya itu santri Pak, ke mana-mana harus pakai kopyah. Kalau nggak pakai kopyah saya dimarahi Pak Kiai. Jadi, kalau Bapak mau nilang karena saya nggak pakai helm, ya silakan bilang ke kiai saya dulu. Polisi itu langsung diam. Aku langsung pulang dengan selamat sentausa tak kurang suatu apa. Begitu sengit cerita Si Udin.”

Ustadz Fadil menghela napas.

“Barokahnya jadi santrinya kiai, tak pakai helm pun diampuni polisi. Nah, itu bukan satu-satunya cerita Si Udin. Lain waktu dia juga mengalami pengalaman serupa. Tapi kali ini polisinya lebih galak.”

Para santri baru itu semakin antusias.

“Udin menjawab pertanyaan polisi dengan jawaban yang sama dengan jawabannya tempo hari. Tapi ternyata polisi itu tetap bersikeras akan merazia sepeda motor Si Udin. Dia menjawab sekenanya, dengan hati yang sudah pasrah jika memang benar-benar akan ditilang.”

“Kamu tahu. Ini jalan raya, harusnya kamu patuh pada peraturan lalu lintas. Kopyah cukup dipakai di dalam pondok!,” Ustadz Fadil meniru cerita Si Udin ketika mengucapkan bentakan polisi.

“Pak Polisi harus tahu juga Pak. Patuh pada kiai itu di mana saja. Ittaqulloha haitsuma kunta. Bertakwalah di mana pun kamu berada! Kalau Pak Polisi akan marah melihat pengendara tak memakai helm ketika tidak ada Bapak. Maka kiai saya juga seperti itu Pak. Pak Kiai akan marah ketika melihat santrinya tidak pakai kopyah. Jadi, jangan razia saya karena kepatuhan saya pada kiai, Pak. Tukas Udin percaya diri. Dia pun lolos lagi. Lain waktu Udin kena razia lagi. Dan jawaban-jawaban itu tidak lagi digubris polisi. Mungkin semata barokah yang menyelamatkannya. Dia bilang pada polisi. Bahwa dia tidak punya apa-apa. Sepeda motor itu milik Pak Kiai. Dia ke pasar juga karena disuruh kiai. Udin kemudian menyuruh polisi itu membawa sepedanya. Tapi ternyata polisi itu tak berani menilang sepeda kiai. Udin pun lolos lagi.”

“Bahkan ada seorang khodim yang malah diberi uang oleh polisi gara-gara mengaku santrinya Pak Kiai. Padahal waktu itu dia sudah hampir ditilang.”

“Itu belum seberapa. Ada seorang santri khodim kiai yang kerjaannya di pondok cuma bantu di ndalem. Ngajinya sering ketinggalan dan dia tergolong santri yang tidak pintar.  Tapi ketika di rumah diminta jamaahnya untuk mengaji tiba-tiba dia bisa membaca kitab kosong yang padahal dulu sama sekali tidak dimengerti. Jadi, selain ngaji kalian harus cari barokah. Caranya adalah dengan mengabdi, mencari ridho dari guru,” pungkas Ustadz Fadil.  Para santri baru begitu termotivasi dengan sesorah ustadz muda itu.

* * *

Suatu pagi Udin berangkat ke kampus untuk ospek. Karena saat mandi di pondok antreannya cukup panjang, Si Udin santri baru itu sampai di kampus telat beberapa menit. Panitia ospek menahan langkahnya di depan gerbang. Mengingat cerita-cerita inspiratif tentang keberkahan seorang santri beberapa saat yang lalu membuat Udin tersenyum. “Saatnya membuktikan barokah nyantri telah tiba,” dia membatin.

“Kenapa telat???” bentak panitia ospek berkumis tiga itu.

“Saya santri Mas. Mandinya antre,” jawab Si Udin lugu.

“Terus?”

“Santri kan banyak barokahnya Mas. Kamu nggak takut menghukumku?” tantang Si Udin.

“Kamu pikir kalau kamu santri boleh telat? Jangan salah gunakan status kesantrianmu itu! Aku juga santri. Pekerjaanku adalah menghukum para santri yang pulang telat ke pondok. Dan aku belum pernah kualat karena menghukum mereka!” sergah panitia ospek kumis tiga lembar berpakaian necis yang ternyata juga seorang santri itu.

Kedua kaki Si Udin langsung gemetar melihat tiga lembar kumis panitia ospek itu bergerak-gerak penuh emosi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan