Banjaran Karna

2,133 kali dibaca

Setelah ditolak mentah-mentah oleh Pandhita Durna, Radhea merasa bahwa adanya kasta di Dinasti Astina harus dihancurkan. Kenyataan inilah yang membentuk karakter Radhea menjadi murid yang gigih dalam mengisi hidupnya dengan ilmu.

“Sebagai anak kusir, tidak pantas melawan para Pengeran Astina. Jika diperbolehkan, semua rakyat pasti memberontak kepada kaum bangsawan sehingga kacaulah tatanan di negeri ini.” Perkataan Bisma itu terus terngiang. Seolah menjadi asap yang menyebar, menyesakkan dada. Membuat dada semakin sesak dengan api amarah.

Advertisements

“Kakek Bisma berkata seolah ia bijaksana. Kelak aku akan membuktikan bahwa aku bukanlah keturunan kesatria, tetapi layak menjadi raja dengan kemampuan ilmuku.”

***

Pernah terdengar olehnya ada seorang begawan yang sangat sakti. Yang pernah membunuh para kesatria yang angkuh di seluruh bumi. Begawan Ramaparasu, yaitu begawan yang menjadi guru para kesatria dan begawan terkenal, termasuk Pandhita Durna dan Bisma.

Radhea ingin berguru kepada Begawan Ramaparasu karena tak tahan terus dirundung penghinaan para kaum kesatria.

***

Suatu hari, ketika para Pandawa dan Kurawa berlatih dengan Pandhita Durna di pekarangan istana, Pandhita Durna meminta sebuah jeruk yang manis. Janaka bersedia mengambilkannya. Janaka memanah gagang buah jeruk dari jarak ratusan langkah. Saat Janaka mampu memanah gagang jeruk kemudian jatuh, anak panah Radhea menyambut buah tersebut. Anak panah yang meluncur dari busur menggila, sehingga membelah jeruk tersebut.

Raut wajah Pandhita Durna langsung kecut ketika murid kesayangannya tertandingi.

“Siapa yang melepaskan anak panah itu?”

“Saya, Radhea anak Adirata.”

“Siapa yang mengizinkan kamu memanah di area Istana Astina?” bentakann keras Pandhita Durna. “Apa yang kau inginkan di sini, anak kusir?”

Radhea pun bersimpuh, dan menyembah hormat kepada Pandhita Durna.

“Saya ingin diangkat menjadi murid Pandhita yang Bijaksana?”

Semua Kurawa menertawakan ucapan Karna dengan tawa penghinaan.

“Bukankah ada pembagian tugas dalam sebuah kasta yang dibentuk berabad-abad yang lalu Radhea. Bahwa kastamu adalah sudra, yang bertugas melayani kesatria. Apa kamu ingin menandingi kesatria di sini?”

“Sebagai pelayan, bukankah juga bisa melayani dengan kemampuan berperang,” jawab Radhea.

“Ha-ha-ha… kubur saja mimpimu anak kusir. Pengawal! Seret anak kusir ini keluar dari tempat latihan ini!”

Sementra Pandawa diam, melihat para pengawal menyeret Radhea keluar arena pelatihan.

***

“Ke mana engkau akan pergi, Radhea?” dengan terisak Radha berkata.

“Sudah tidak ada yang bisa aku berikan kepada Astina dan Astina juga tidak menerimaku Ibu. Semua orang di Astina ini sudah dibutakan oleh tradisi yang salah. Pembagian kasta yang membunuh kemampuan manusia. Aku ingin merantau mencari ilmu kepada gurunya para pandhita dan kesatria. Aku ingin menghancurkan tradisi yang melanggar hak-hak dasar manusia dengan ilmu dari Begawan Ramaparasu.”

“Biarkan dia pergi Radha, Radhea sudah dewasa. Sudah saatnya ia menimba ilmu kebijaksaan. Aku izinkan engkau pergi Ananda.”

“Terima kasih Ayahanda. Selama aku pergi, aku akan menyamar, dan izinkan aku memakai nama lamaku, Karna.

***

Ketika bertemu dengan cantrik Ramaparasu, Karna mencoba mengorek informasi tentang syarat-syarat menjadi murid Begawan Ramaparasu.

“Apakah Begawan Ramaparasu masih menerima murid?”

“Siapakah Anda?  Ada kepentingan apa Anda bertanya seperti itu?”

“Hamba seorang utusan dari Astina, diminta Pangeran Astina untuk menanyakan para pangeran bisakah menjadi murid Begawan Ramaparasu.”

“Tuan, sebagai cantrik Begawan Ramaparasu, hanya menyampaikan bahwa jika ada yang melamar murid dari kaum kesatria, saya hanya menyampaikan bahwa Begawan tidak mau. Karena beliau ingin murid-muridnya tidak membuat kerusakan di muka bumi.”

Karna tidak kehabisan akal, ia menyamar menjadi Aswatama, seorang pandhita. Samaran Karna berhasil menipu Begawan Ramaparasu. Karna pun menjadi murid kesangan Ramaparasu karena Karna anak yang cerdas. Tak perlu menghabiskan waktu lama bagi Karna untuk menguasai ilmu dari Begawan Ramaparasu.

Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga. Saat tahun akhir pelatihan, Begawan Ramaparasu menguji beberapa mantra yang telah diajarkan sambil merebahkan badan di dekat Karna. Selang beberapa lama, Ramaparasu tertidur di pangkuan Karna. Tiba-tiba ada seekor lipan besar yang melintas dan menghampiri Begawan Ramaparasu. Dengan refleks Karna menangkap dengan tanggannya. Lipan itu pun melawan kemudian menggigit telapak tangan Karna. Ketika Karna mau melemparnya, Begawan Ramaparasu terbangun sebantar untuk menanyakan rapalan mantra Karna.

“Mengapa berhanti merapal mantra?”

Karna pun merapal mantra, tetap mengenggam erat lipan raksasa sambil meremas kuat lipan itu. Lipan semakin berontak, mengigit membabi buta.

Saat Begawan Ramaparasu terbangun, didapati tangan kanan Karna bengkak.

“Siapakah sebenarnya kau, Aswatama?”

“Saya, anak dari Pandhita Durna, murid Begawan.”

“Aku telah mengenal ribuan murid dari kaum brahmana. Tidaklah mungkin anak seorang kaum brahmana bisa menahan rasa sakit menahan gigitan lipan raksasa. Kau berbohong!!!” Begawan Ramaparasu naik pitam. “Ingatlah wahai Aswatama, jika kau berbohong kelak saat kau berperang melawan musuh bebuyutanmu kau akan lupa segala ilmu yang kuajarkan!”

***

Menjelang peperangan terbesar di dalam kehidupan Karna, Krisna menemui Karna untuk menjelaskan bahwa sebenarnya Karna itu anak Kunti. Tujuan Krisna agar Karna mau bergabung dengan Pandawa.

“Karna, kamu memiliki kemapuan setengah dewa. Tahukan kau bahwa kamu adalah putra Dewa Surya? Bukan anak Adirata dan Radha.”

“Apa maksudmu menceritakan ini semua?”

“Sedikit menceritakan sejarah hidupmu, Karna. Dulu Ibu Kunti bertapa, meminta anugerah agar bisa diberikan anak yang berkemampuan seperti dewa. Ibu Kunti kemudian mencoba keampuhan mantra itu. Ketika matahari terbit, Ibu Kunti merapal mantra anugerah putra.”

Karna hanya terdiam membisu mendengarkan cerita Krisna.

“Dewa Surya datang memberikan anak dalam rahim Ibu Kunti. Karena Ibu Kunti belum menikah, tetapi memiliki putra, maka engkau dibuang di sungai Aswa. Kemudian ditemukan oleh  Adirata dan Radha.”

“Lalu apa tujuanmu menceritakan kisah masa pembuangku?”

“Karna, kau sejatinya adalah Pandawa. Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula, dan Sadewa itu adikmu semua. Bergabunglah ke pihak Pandawa yang berdiri di atas kebenaran.”

“Jika Ibu Kunti adalah ibuku, mengapa membuangku? Jika Pandawa adalah saudaraku, mengapa baru sekarang mengakuiku? Ke mana mereka ketika aku hidup susah tidak diakui waktu ikut pertandingan semua kesatria di Astina. Padahal mereka melihatku dan mengenalku? Di mana rasa persaudaraan mereka ketika aku bersujud di depan Pandhita Durna dan para Pandawa memohon kepada mereka untuk menjadi murid Pandhita Durna, tetapi mereka hanya diam. Aku dipukuli pengawal dan diseret keluar tempat pelatihan, Pandawa pun juga diam.”

***

Di Kurusetra menjadi sepi, hanya ombak darah yang mengalir pelan. Di atasnya ada ratusan ribu bangkai kesatria. Yang hidup tinggalah ketujuh Pandawa: Krisna, Setayaki, Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula, dan Sadewa. Di pihak Kurawa tinggalah Duryudana, Karna, Salya, dan Sengkuni.

Surya mulai merambahkan sinarnya ke bumi. Sangkakala telah ditiup, ini pertanda Barata Yudha telah dimulai. Janaka menantang Karna untuk bertanding, perang satu lawan satu.

“Akhirnya kita dapat bertemu di Kurusetra, untuk membuktikan siapa kesatria pemanah terbaik di Bumi ini,” sambil tersenyum puas Karna berucap.

“Apa yang mau kau buktikan? Apakah kau mau membuktikan bahwa kau keras hati tetap membela keangkaramurkaan junjunganmu, Duryudana.”

Karna tidak membalas pertanyaan Janaka, langsung membidikan anak panah ke arah Janaka. Tiba-tiba awan hitam pun turun, ini pertanda Batara Indra turun melindungi Janaka. Batara Surya pun turun dalam wujud cahaya terang yang akan menyibak awan gelap yang melindungi Janaka.

Kali ini, Karna mencari celah-celah di antara awan hitam yang menyelimuti Janaka. Ia membidik leher Janaka dengan anak panahnya. Karna yakin kali ini tak akan meleset. Ketika anak panah dilepaskan, Salya, kusir Karna, sekaligus ayah mertua Karna, mengentakkan kakinya ke kereta dengan segenap kekuatannya. Entakan kaki Salya membuat kereta Karna bergoyang. Anak panah Karna yang seharusnya memenggal kepala Janaka hanya mengenai mahkota Janaka.

“Apa maksud ayah mertua mengentak kaki tadi?”

“Kau telah mengecewakanku. Kau menurunkan derajatku dari seorang Raja Mandaraka menjadi kusirmu. Gara-gara aku tidak sependapat kepadamu tentang cara-cara licik yang digunakan oleh junjunganmu Duryudana.”

Hati Karna semakin kalut, saat perang tanding semakin memanas.

“Jika ayah tidak setuju dengan cara kami berperang, maka turunlah, tidak usah menjadi kusir saya.”

Tanpa banyak bicara Salya menghentikan keretanya. Kemudian turun.

Selang beberapa langkah, Puntadewa mengadang Salya untuk mengajaknya perang tanding.

Krisna memanfaatkan kesempatan ini, membelokkan keretanya keluar dari keramain sekaligus memancing Karna berpisah dengan Salya, Duryudana, dan Sengkuni.

Krisna juga tahu karena entakan kaki Salya, roda kereta Karna mulai rapuh. Dengan mengajaknya berkejar-kejaran mengendarai kereta pasti as roda kereta Karna pasti akan patah.

Kereta Karna membututi kereta Janaka di sisi Kurusetra yang berbatu serta bergelombang. Tak perlu lama, patahlah as kerata Karna. Karna meloncat dari kereta, semua kuda kereta Karna tersungkur. Hati Karna semakin bergejolak terbakar api amarah. Karna langsung mengambil roda keretanya yang terlepas. Saat itulah Krisna menyuruh Janaka untuk membidik Karna dengan pasopatinya.

“Janaka, bidikan pasopatimu ke arah Karna!”

“Apakah itu bukan berarti aku licik, karena menyerang orang yang tidak bersenjata?”

“Apakah Karna tidak licik ketika membiarkan anakmu, Abimanyu dibantai tanpa ampun oleh Kurawa? Apakah Karna tidak licik ketika membiarkan Drupadi dilucuti pakaiannya saat kalah main judi?  Karna angkat gandiwamu!”

“Biarkan aku memasang roda kerataku dahulu! Agar perang tanding ini berlaku adil.”

“Sampai kapan kamu akan memasang rodamu, sebentar lagi sang surya akan terbenam!”

“Baiklah Krisna, itu maumu!”

Karna mengambil gandiwanya, mulai membaca mantra bramastra yang pernah diajarkan oleh Begawan Ramaparasu. Tiba-tiba Karna lupa sama sekali. Ia beralih mencoba memangil senjata wijayadanu, tapi juga lupa mantranya. Semua mantra aji yang dia pelajari seolah lenyap.

“Cepatlah kau lepaskan pasopatimu Janaka. Sudah terlalu lama kau membidik dan terdiam. Lihatlah surya mulai tenggelam.”

“Tunggu Janaka, biarkan aku mengingat mantraku dan merapalnya.”

Tiba-tiba Karna teringat perkataan Begawan Ramaparasu, bahwa kelak jika Karna menghadapi musuh bebunyutannya ia akan lupa semua mantra aji.

“Apa yang kau pikirkan Karna?” tanya Krisna seolah menguji Karna.

“Kau selama ini menganggap berutang budi kepada Duryudana bukan? Padahal selama ini kau berjalan di atas ketidakbenaran. Mendukung semua kelicikan Duryudana dan Sengkuni. Padahal hati nurani mengingkari. Padahal Prabu Salya sudah menasihati. Padahal Ratu Kunti sudah mengingatkanmu berkali-kali. Kemarin malam, sebelum kau memutuskan kau membela Kurawa, aku juga mengajakmu bertobat, tapi kau bersikukuh dengan balas budimu kepada Kurawa.”

Karna tidak membalas ucapan Krisna, tetapi hati dan pikirannya sadar bahwa yang dilakukan selama ini salah. Ia menyesal tapi telanjur malu karena kalah perang tanding dengan Janaka. Ia menipu Janaka dengan cara mencoba membidik adiknya, Janaka. Bidikan itu bidikan palsu, ia hanya menakut-nakuiti Janaka. Tujuan Karna agar Janaka memanahnya dengan pasopati.

Janaka melepaskan pasopati ke arah leher Karna. Pasopati melesat ke arah Karna. Tanpa ampun pasopati menebas leher Karna.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan