Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah jati diri yang tak ternilai. Dalam setiap kata yang kita ucapkan, tergambar siapa kita sebenarnya dari mana kita berasal, nilai-nilai apa yang kita pegang, hingga ke mana arah peradaban kita hendak dibawa. Bahasa adalah cermin yang memantulkan ruh kebudayaan sebuah bangsa. Ia merekam sejarah, memelihara warisan leluhur, dan menjadi medium ekspresi dari pikiran hingga perasaan yang terdalam. Maka tak berlebihan jika dikatakan, menjaga bahasa sama artinya dengan menjaga martabat bangsa.
Di era globalisasi yang serba cepat dan lintas batas, arus komunikasi mengalir deras tanpa kendali. Bahasa-bahasa asing, khususnya Inggris, dengan mudah menyusupi ruang-ruang percakapan kita: di media sosial, dalam iklan, dalam film, bahkan di ruang-ruang kelas. Dalam waktu yang nyaris tak terasa, penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari mulai tergeser.

Fenomena campur kode menggabungkan bahasa Indonesia dan Inggris dalam satu kalimat bukan lagi sesuatu yang asing. Sayangnya, hal ini sering kali dianggap sebagai simbol keren, gaul, atau berwawasan global. Sementara penggunaan bahasa ibu yang utuh dan baik justru dianggap kaku, kolot, bahkan kurang update.
Padahal, jika kita menilik sejarah bangsa ini, bahasa telah memainkan peran yang sangat vital dalam menyatukan identitas Indonesia. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 menjadi tonggak sejarah yang tak bisa dilepaskan dari peran bahasa. Di tengah keragaman suku, budaya, dan daerah, para pemuda dari seluruh Nusantara saat itu sepakat mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Ini bukan hanya pernyataan simbolik, tapi sebuah keputusan besar dan strategis untuk menjadikan bahasa sebagai pemersatu perbedaan. Bahasa Indonesia kala itu menjadi simbol perjuangan, kekuatan kolektif, dan cita-cita kemerdekaan.
Namun kini, di masa damai dan era digital, justru bahasa kita seperti kehilangan tempat di rumahnya sendiri. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai dan merawat bahasanya. Jepang tetap bangga dengan bahasanya meski menjadi negara industri maju. Korea Selatan mengekspor budayanya ke seluruh dunia melalui drama dan musik tanpa meninggalkan bahasa ibunya. Lalu, bagaimana dengan kita?
Masa depan bahasa Indonesia ada di tangan kita, terutama generasi muda. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak berarti anti-globalisasi. Justru, ini adalah bentuk cinta tanah air yang paling sederhana namun berdampak besar. Menjadi warga dunia memang penting, tetapi jangan sampai itu membuat kita lupa jati diri sebagai anak bangsa. Karena sejatinya, bahasa bukan sekadar alat tukar kata—ia adalah wajah kita di hadapan dunia.
Namun kini, muncul sebuah gejala yang memprihatinkan—penggunaan bahasa yang kian sembrono, kasar, bahkan manipulatif di ruang publik. Di media sosial, di layar kaca, hingga dalam percakapan sehari-hari, bahasa tak lagi dijaga sebagai alat pemersatu, tetapi sering kali dijadikan senjata untuk menyerang, menyindir, dan menjatuhkan. Bahasa dijadikan kendaraan untuk menyebar hoaks, provokasi, hingga ujaran kebencian. Nilai etis yang seharusnya menyertai tutur kata seolah terabaikan. Padahal, sejatinya bahasa bukanlah alat penghinaan, melainkan jalan untuk memuliakan sesama.
Di titik inilah, penting bagi kita untuk menumbuhkan kembali kesadaran kolektif: bahwa merawat bahasa adalah bagian dari merawat karakter bangsa. Bahasa yang santun mencerminkan masyarakat yang beradab. Bahasa yang jujur mencerminkan jiwa yang bermoral. Dan bahasa yang indah mencerminkan bangsa yang tinggi peradabannya. Bukan hanya soal estetika bunyi, tetapi tentang substansi nilai dan jiwa bangsa yang tercermin di dalamnya.
Pendidikan bahasa harus dikembalikan ke akarnya sebagai pendidikan karakter. Ia tak cukup hanya diajarkan dalam kelas melalui rumus-rumus tata bahasa, tetapi harus hidup dalam keseharian: di rumah, di ruang digital, di lingkungan sosial. Orang tua adalah guru pertama dalam bertutur. Sekolah harus menanamkan bahwa berbahasa adalah bagian dari mencintai bangsa. Media harus sadar bahwa setiap kata yang disebar adalah tanggung jawab, bukan sekadar konten. Dan kita semua tanpa kecuali adalah penjaga bahasa yang punya tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa dengan hormat, arif, dan beradab.
Sebab bahasa bukan hanya alat untuk bicara, tetapi jalan untuk berpikir, merasakan, dan bertindak. Dalam bahasa kita menyusun gagasan, menyalurkan kritik, menyampaikan cinta, membangun dialog, dan menenun harapan. Bahasa adalah warisan tak ternilai dari generasi ke generasi. Ia membentuk nalar, mengasah rasa, dan menumbuhkan jiwa bangsa.
Maka jika benar bahwa wajah bangsa tercermin dari bahasanya, kita perlu bertanya pada diri sendiri: wajah seperti apa yang ingin kita tunjukkan kepada dunia? Apakah kita ingin dikenang sebagai bangsa yang penuh kedalaman, keindahan, dan kebijaksanaan dalam tutur? Atau sebaliknya, sebagai bangsa yang kehilangan sopan santun dalam berkata dan berpikir?
Saatnya kita kembali menatap cermin itu dan menjaga baik-baik wajah yang terpantul di sana.