Azan dan Spiritualitasnya

1,514 kali dibaca

Baru-baru ini viral di media sosial azan dengan versi berbeda. Pada umumnya, azan adalah seruan kepada kaum muslim sebagai pemberitahuan dan ajakan untuk salat. Karena itulah di dalam azan ada frasa “Hayya ‘alasshalah” yang berarti “mari mendirikan salat”.

Seruan“Hayya ‘alasshalah”menunjukkan bahwa waktu salat sudah tiba, dan saatnya melaksanakan salat (secara berjamaah). Tetapi, azan yang viral di media sosial itu menggantinya dengan “Hayya ‘alal jihad,” yang berarti mari kita jihad atau berperang. Tentu saja pengubahan azan ini mendapatkan tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan.

Advertisements

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas meminta agar masyarakat tidak terprovokasi dengan ajakan yang bisa memecah belah bangsa itu. “Jangan terpengaruh hasutan, apalagi terprovokasi. Agama jelas melarang keterpecah-belahan dan menyuruh kita bersatu dan mewujudkan perdamaian di tengah kehidupan masyarakat,kata Robikin dalam keterangan tertulis.

Sementara, Sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’thi, mengatakan, bahwa azan model tersebut tidak ada dasar hukumnya. “Saya belum menemukan hadis yang menjadi dasar azan tersebut. Saya juga tidak tahu apa tujuan mengumandangkan azan dengan bacaan ‘hayya alal jihad.” Abdul Mu’thi juga berharap agar pemerintah segera bertindak untuk mencegah tersebarnya video tersebut.

Terlepas dari hiruk pikuk persoalan azan dengan kalimat jihad, tidak ada salahnya kita mencoba menelaah lebih jauh nilai spiritual dari kalimat-kalimat azan. Karena, dalam azan itu sendiri mengandung lafal-lafal thoyyibah (kalimat kebaikan) yang dapat ditelusuri makna spiritualnya. Kemudian dijadikan sebagai bentuk apresiasi dalam aktualisasi kehidupan religius.

Sejarah Azan

Dalam sejarah, syariat azan terjadi ketika Rasulullah mencari cara bagaimana agar ajakan salat dapat didengar oleh masyarakat luas. Para sahabat mengusulkan agar dibunyikan lonceng seperti kaum Nasrani, atau ditiup terompet seperti orang Yahudi. Tetapi Rasulullah tidak setuju dengan usulan tersebut.

Berdasarkan Sirah Nabawi (Ibnu Hisyam, 2018), azan bermula dari mimpi sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Zaid. Dalam mimpi tersebut, Abdullah bin Zaid didatangi seseorang yang berjubah hijau dan mengajarkan kalimat-kalimat azan. Lafal-lafal azan yang dimaksud adalah sebagimana yang kita ketahui saat ini. Kemudian, Rasulullah memerintahkan Bilal bin Rabah mengumandangkan azan sebagaimana mimpi Abdullah bin Zaid. Lalu datanglah Umar bin Khattab yang menceritakan kepada Nabi bahwa dirinya juga bermimpi sebagaimana mimpi yang dialami Abdullah bin Zaid. Sejak itulah azan disyariatkan sebagai penanda masuknya waktu salat sekaligus ajakan untuk salat berjamaah, dan disyariatkan di kota Madinah pada tahun pertama Hijriyah.

Waktu Azan

Ada banyak riwayat hadits yang menjelaskan disyariatkannya waktu azan. Sebagai penanda waktu salat, dan menjadi awal dilaksanakan ibadah azan, sudah tidak terjadi selisih di kalangan ulama. Namun, selain waktu penanda salat, azan juga dianjurkan sebagai bentuk nilai ibadah. Jadi, meski di dalamnya ada ajakan untuk salat, namun dapat mengandung makna salat yang lebih luas. Yaitu ajakan untuk berdoa, berbuat kebajikan, serta melakukan hal-hal yang bermanfaat secara sosial.

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa azan dianjurkan sesaat seorang bayi dilahirkan. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dari jalur Abu Rofi’, disebutkan, bahwa Abu Rofi’ melihat Rasulullah mengazankan Hasan bin Ali dengan azan salat ketika Fatimah melahirkan. Hadits tersebut dinilai hasan shahih, sedangkan ulama salafi menilainya dengan hasan sebagaimana dijelaskan dalam Irwa’ al-Ghalil (4/400). Mengazani bayi yang baru lahir sudah menjadi tradisi di dalam kehidupan seorang muslim.

Azan juga dianjurkan ketika ada seseorang yang kerasukan setan atau jin. Rasulullah bersabda, “Jika ada yang kerasukan jin atau setan maka kumandangkanlah azan.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubro, Abu Ya’la, dan Jami’ Al-Hadits). Riwayat ini jelas menganjurkan agar orang yang kerasukan jin atau setan dikumandangkan azan sebagaimana azan untuk salat. Hal ini dimaksudkan agar jin atau setan yang mengganggu segara pergi dari orang yang kerasukan tersebut.

Selain itu, azan juga dikumandangkan ketika seseorang mengalami rasa sedih dan kesusahan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Dailami, disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib menyampaikan bahwa Nabi Muhammad melihat dirinya (Ali bin Abi Thalib) bersedih. Kemudian Nabi meminta agar azan dikumandangkan di telinga Ali bin Abi Thalib. “Suruh sebagian keluargamu azan di telingamu. Sebab itu obat bagi rasa sedih,” kata Nabi.

Jadi azan juga dapat dijadikan sebagai obat bagi kesedihan, kesusahan, dan galau yang berkepanjangan. Termasuk ketika terjadi bencana, angin ribut, hujan yang sangat lebat, dan tragedi alam lainnya, mengumandangkan azan dianjurkan sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar bencana alam tersebut segera berakhir.

Hikmah Azan

Ada beberapa hikmah azan terkait dengan nilai spirit Islam. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa hikmah azan di antaranya adalah dapat mengusir setan. Rasulullah bersabda, “Apabila diserukan Adzan untuk salat, setan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar azan. Bila muadzin selesai mengumandangkan azan, ia datang hingga ketika diserukan iqomat ia berlalu lagi.” (HR Bukhari dan Muslim).

Selain dapat mengusir setan, mengumandangkan azan juga mendaptkan pahala yang besar. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Seandainya orang-orang mengetahui pahala yang terkandung pada azan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mungkin mendapatkannya kecuali dengan cara mengadakan undian atasnya, niscaya mereka akan melakukan undian itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menjelaskan bahwa mengumandangkan azan akan mendapatkan keutamaan berupa pahala. Bahkan seandainya harus diadakan semacam undian, maka mereka kaum muslim akan melakukannya karena keutamaan dalam mengumandangkan azan.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tuhanmu takjub kepada seorang penggembala domba di puncak bukit gunung, dia mengumandangkan azan untuk shalat lalu dia salat. Maka Allah swt berfirman, ‘Lihatlah hamba-Ku ini, dia mengumandangkan azan dan beriqamah untuk shalat, dia takut kepada-Ku. Aku telah mengampuni hamba-Ku dan memasukkannya ke dalam surga,” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i). Dalam riwayat ini dijelaskan bahwa mengumandangkan azan akan diampuni dosanya.

Hadits lain menjelaskan, “Kami pernah bersama Rasulullah saw, lalu Bilal berdiri mengumandangkan azan. Ketika selesai, Rasulullah saw bersabda, ‘Barangsiapa mengucapkan seperti ini dengan yakin, niscaya dia masuk surge.” (HR. An-Nasa’i). Bagi orang yang mengumandangkan azan ada jaminan masuk surga. Atau juga seseorang mendengar azan, kemudian menjawab azan tersebut dengan keimanan, niscaya orang tersebut akan dimasukkan ke dalam surga.

Manfaat azan lainnya ialah di mana Allah di hadapan para malaikat akan membanggakan seseorang yang mengumandangkan azan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i berikut ini, “Tuhanmu takjub kepada seorang pengembala domba di puncak bukit gunung, dia mengumandangkan azan untuk salat, lalu dia salat. Maka Allah SWT berfirman: “lihatlah hamba-Ku ini, dia mengumandangkan azan dan iqomat untuk solat, dia takut kepada-Ku, Aku telah mengampuni hamba-Ku dan memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud dan An Nasa’i).

Nilai Spiritual Azan

Di dalam kalimat-kalimat azan ada keagungan, doa, dan pengharapan. Kalimat takbir, “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) adalah sebaik-baiknya kalimat yang akan memberikan pahala berlipat bagi orang yang membiasakan zikir dengan kalimat ini. Kalimat tahlil “Laailaaha illallah”” (tiada Tuhan selain Allah) juga sebagai zikir dengan timbangan pahala yang besar. Maka akan menjadi sebuah nilai spiritual bagi seseorang yang membiasakan diri dengan zikir ini.

Dakwah atau ajakan berbuat kebajikan, mengajak mengerjakan amalan salat, serta ajakan menuju kemenangan adalah sesuatu nilai spirit yang luar biasa. Maka sudah jelas bahwa di dalam azan terdapat luapan nilai spiritual yang akan semakin mendekatkan diri kepada Allah.

Taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah akan melahirkan nilai takwa, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Maka akan sangat berpengaruh baik bagi seseorang yang membiasakan diri mengumandangkan azan.

Azan dengan beragam versinya, seperti yang terjadi Turki dalam artikel Dahlan Iskan, terkait dengan pandemi Covid-19, bahwa kalimat “Hayya ‘alasshalah” diganti dengan kalimat “Shalluu fi buyutikum,” (salatlah kalian di rumah masing-masing),tersebab oleh suasana darurat. Azan versi ini tidak terlalu mendapat apresiasi debat yang berlebihan. Tetapi di Indonesia hal seperti ini sepertinya tidak ada yang melakukan. Atau mungkin saja ada namun tidak terjadi viral.

Berbeda dengan azan versi jihad. Model ini mendapat banyak perhatian, dan menjadi viral dan bahkan membuat kegaduhan. Sebab, azan versi jihad ini terjadi oleh segelintir orang dengan kasus yang sangat personal. Mungkin saja tidak banyak pendukung dari azan versi ini, namun kalau dibiarkan, tanpa adanya intervensi pemerintah, bukan tidak mungkin akan terjadi kekacauan.

Seharusnya, apa pun bentuk dan tujuannya, hal-hal yang memprovokasi perpecahan tidak boleh ada negara demokrasi ini. Indonesia menjadi negara persatuan dan kesatuan. NKRI harga mati. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan