Ayah Seekor Kucing Hitam

1,049 kali dibaca

Tiga gambar kucing dengan bingkai pigura kayu jati melekat di dinding. Jika diamati terus-menerus, seperti gambar puluhan tahun lalu. Tentu, sudah ada sebelum aku membuka mata ke dunia. Kucing yang paling besar terletak di tengah dengan bulunya yang hitam. Dua kucing lainnya justru dengan bulu campuran.

Memang hanya sebatas gambar, tetapi mata kucing yang berbulu hitam itu seperti lekat menatap mataku. Tatapan mata kita bertemu. Selalu kupandangi lekat-lekat, garis warna putih di tengah matanya begitu jelas terlihat. Sementara dua kucing di kanan-kirinya tidak menampakkan wajahnya. Menunduk dalam umpama dirundung kesedihan. Kebetulan juga gambar berpigura itu terletak di ruang makan. Sebabnya, setiap pagi aku bisa melihat dan menatap mata kucing hitam yang tidak pernah sembap.

Advertisements

Seingatku, gambar itu dipasang ibu dua tahun lalu. Ibu mengeluarkan dari gudang di belakang rumah atau, mungkin, dari kamar paling belakang. Intinya, gambar di ruang makan hanya pindahan dari tempat sebelumnya.

Pertama kali kulihat, satu kucing yang berwarna hitam sungguh menyeramkan. Tetapi, berbulan-bulan sejak pandang pertama aku menjadi terbiasa. Pernah kusuruh ibu untuk memindahkannya kembali pada tempatnya semula. Ibu menolak, katanya biar waktu makan ditemani dengan menatap mata kucing hitam. Aku kurang begitu suka kucing, pada mulanya. Di rumah, aku melarang ibu memelihara kucing. Dan kucing (yang berjumlah tiga) hanya ada dalam gambar. Tidak apa-apa, pikirku, asal bukan kucing yang nyata.

Kuseret kursi yang biasa digunakan tempat duduk ketika makan. Rumah hari ini sepi, sepertinya ibu baru saja keluar. Pergi ke mana entah, belum sempat kutanya. Kudekatkan kursi dan tubuhku yang kecil berdiri di atasnya. Sialan, tanganku tidak menjangkau gambar kucing itu. Terpaksa kugunakan meja makan. Kali ini pasti bisa dijangkau, batinku. Tiba-tiba ibu menggedor pintu di belakangku. Sontak, aku terkejut. Mata ibu menatap mataku, persis tatapan mata kucing itu.

“Kok balik?”

“Memangnya ibu pergi ke mana?”

Aku tergagap tidak bisa berkata-kata. Sudah pasti ibu mengetahui niatku untuk menurunkan gambar itu. Lalu, ia menyeret meja kembali ke tempat semula. Mendudukkanku di kursi dan menghadapkan ke arahnya. Sekitar tiga menit ibu tidak bicara, ia hanya menatap mataku. Sumpah, ini kali kesekian mataku ditatap ibu. Lagi-lagi aku kalah dan harus menundukkan kepala. Ibu jarang-jarang menatap mataku, kecuali bila sudah marah berlebihan.

“Apa maksudmu untuk menurunkan gambar itu?”

Kepalaku menggeleng, tangan ibu mengangkat daguku. Matanya semakin tajam. Aku ingin menangis, tetapi takut ibu mencubit. Tangan ibu jika sampai di paha rasanya nyeri sekali. Pahaku sudah luka tiga kali gara-gara cubitan ibu. Kuangkat kepala, perlahan kutatap mata kucing di dinding. Ia seperti berkata “Mampus kau, makan tuh murka ibumu!”

“Ibu kan sudah menurutimu untuk tidak memelihara kucing seekor pun dan gambar itu sebagai gantinya.”

“Dasar anak durhaka, asal kamu tahu kucing yang tengah itu adalah ayahmu. Dua di sampingnya adalah saudaramu, bocah goblok, tolol!”

Aku seperti tersambar petir di siang bolong. Mana mungkin wujud yang sudah nyata manusia sepertiku mempunyai ayah kucing. Setahuku, kakek-nenekku (dari jalur ayah) manusia biasa. Perihal ayah, aku memang tidak sempat tahu bagaiamana rupa ayahku. Namun, yang jelas dan aku berani taruhan uang dengan siapa pun, ayahku bukan seekor kucing sebagaimana yang diumpatkan ibu. Memang, kata ibu, aku punya dua saudara yang meninggal. Tapi, mustahil saudaraku juga kucing. Lagi pula, mana mungkin ibu melahirkan kucing-kucing dari dalam perutnya.

***

Kemarin aku berkunjung lagi ke rumah nenek —mertua ibu. Ibu menitipkan aku di sana, lalu ia pulang ke rumah. Sudah sejak bayi, kata nenek, aku sering dititip ibu. Nenek memang senang sekali dengan kehadirkanku. Hitung-hitung sebagai penawar kesepian setelah lama ditinggal kakek. Setelah kuingat-ingat, baru kemarin nenek bercerita panjang lebar mengenai ibu. Sebelum-sebelumnya nenek tidak pernah bercerita apa-apa selain menemaniku bermain di teras rumahnya. Dengan kerutan-kerutan yang jelas di dahinya, nenek bercerita dengan sangat jelas.

Setahun sebelum ayah meninggal —ini kata nenek dan berbeda dengan apa yang diakatakan ibu— ibu selalu pulang malam-malam. Waktu itu, aku belum lahir ke dunia. Ibu sudah tidak jarang pulang pukul dua dini hari. Pertengkaran di dalam rumah tiap hari semakin sengit. Semenjak ibu pulang malam, ayah sering sakit-sakitan. Sementara ibu memang manusia yang tidak pernah menghargai suami (dan nenek tahu sifat ini, tapi ia mendiamkan ibu). Ibu bekerja di sebuah warung makan yang tidak jauh dari rumah. Sekarang, warung makan itu sudah digusur, disulap menjadi restoran paling mewah. Bekerja sampai jam dua, menurut nenek, memang menambah upah yang lebih, namanya juga lembur. Tapi, ibu melupakan hak-hak pada suami.

Sampai ayah meninggal ibu tetap tidak berhenti bekerja di sana. Bahkan, setelah ayah mangkat ibu semakin menjadi-jadi saja. Ia sering menginap di warung makan itu. Nenek tidak pernah menegur, karena watak ibu keras dan tidak pernah mudah untuk ditegur. Padahal, ibu sudah menjadi gunjingan orang sekampung gara-gara tidak pernah pulang ke rumah. Akhirnya, ibu memutuskan berhenti setelah aku lahir ke dunia. Nenek, yang saat itu mendengar kelahirkanku, langsung gegas ke rumah. Tidak ada satu pun orang kampung yang mendekati ibu selain nenek dan Mak Saminten —dukun beranak itu.

Tentu pula di saat aku lahir ayah tidak ada di samping ibu. Nenek menangis ketika mengingat anaknya tidak ada di samping istrinya. Bagaimana pun, seorang anak tetap butuh ayah untuk pertama kali mengumandangkan azan di telinganya. Lagi, aku sudah anak ketiga dan dua saudaraku sebelumnya tidak berumur panjang.

Kata nenek lagi, kakakku yang pertama meninggal gara-gara terjatuh dari ranjang, yang kedua meninggal sudah sejak dalam kandungan. Makanya, aku adalah anak ibu satu-satunya dan nenek sangat terharu saat aku membuka mata. Tapi, tetap itu sih, ayah yang sudah tidak ada di dunia yang membuat suasana hari itu kurang lengkap.

Nenek sangat menyangiku, buktinya kemarin ketika aku dijemput ibu ia malah menyuruh ibu menginap di rumahnya. Agar ia bisa melihat wajah cucunya, kata nenek. Barangkali, sebagai satu-satunya penawar kangen pada anak dan suaminya. Tapi, ibu tetap pamit pulang dan enggan bermalam di rumah nenek. Aku sempat kepikiran, kalau nenek pasti sangat kesepian sendirian. Tapi, ibu tidak akan paham dan pura-pura tidak tahu hal itu.

***

“Apa yang nenekmu kemarin ceritakan?”

“Nenek bercerita kalau aku cucunya atau darah dari anaknya.”

“Manusia tua itu bohong, anak dia tidak pernah membuahi rahimku.”

“Terus aku anak dari?”

“Sudah kubilang berkali-kali, bocah tolol, kamu ini akan dari seekor kucing.”

Aku tetap tidak percaya, aku lebih percaya pada nenek. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana seekor kucing hitam membuahi rahim ibu. Lalu, ibu hamil dan melahirkan aku. Pikiranku tidak pernah sampai ke sana. Aku juga enggan menyebut ibu bercanda, dia orangnya tidak suka bercanda. Setiap hari wajahnya serius. Pantas saja, cepat tua dan kepalanya penuh uban meski umurnya baru menginjak kepala tiga.

“Ibu kan sudah bilang, goblok, ayahmu itu seekor kucing hitam. Itu gambarnya agar kamu percaya.”

Tapi, mana bisa aku percaya hanya karena melihat gambar tiga ekor kucing. Aku baru percaya semisal ada gambar atau foto ibu yang bermesraan dengan seekor kucing. Atau, foto ibu sedang tidur satu ranjang dengan kecing hitam itu. Atau kalau itu terlalu berat, mungkin foto ibu sedang liburan entah kemana dengan seekor kucing. Kalau itu tidak terpenuhi, demi Tuhan aku tidak akan percaya pada apa yang dikatakan ibu.

“Dulu ibu kerja di warung makan miliknya Cing Along yang bermata sipit itu.”

“Apa hubungannya dengan kucing?”

“Dengar dulu kelanjutannya, bocah goblok!”

Mata ibu mendelik.

“Dulu waktu ibu kerja di warung makan Cing Along kau belum lahir ke dunia, makanya kamu tidak tahu apa-apa, seperti perempuan tua itu. Ibu sering menginap di sana, setiap menginap pula kucing hitam itu mengelus-elus tubuh ibu. Berbulan-bulan seperti itu sampai ibu hamil dan lahir bocah tolol sepertimu.”

“Di mana ibu bisa menggambar wajah kucing yang selalu mengelus tubuh ibu dan dua kucing di sampingnya yang kata ibu adalah saudaraku?”

“Gambaran di dinding itu adalah pemberian kucing hitam saat persetubuhan terkahir ibu dengannya!”

Aku semakin tidak yakin pada perkataan ibu. Aku malah penasaran pada Cing Along dengan matanya yang sipit. Aku yakin Cing Along pasti punya duit banyak, tidak seperti ayah. Dan kucing hitam itu adalah jelamaan dari Cing Along. Sementara gambar di ruang makan rumah ini adalah pemberiannya pada ibu karena sudah bekerja di sana dan sering menginap pula.

“Cing Along, Cing Along, ke mana dia?”

Mata ibu menyala.

Seekor kucing hitam menyelinap dari ruang makan.

ilustrasi: kucing/popo iskandar/mutualart.com

Multi-Page

Tinggalkan Balasan