Aku tidak pernah menyangka bahwa suara paling hangat dalam hidupku justru terdengar paling jauh setelah aku dewasa.
Namaku Arfan. 27 tahun, kerja di startup teknologi yang sibuk mengubah dunia dengan slide presentasi dan kopi dingin. Sudah tiga tahun aku tinggal sendiri di Jakarta. Pulang? Terakhir kali waktu lebaran tahun lalu. Itu pun cuma dua malam. Ayah tidak banyak bicara. Seperti biasanya.

Ayah bukan tipe pria yang bisa menyentuh bahu sambil berkata “Ayah bangga padamu.” Dia lebih suka duduk diam di depan TV dengan celana pendek, merokok di teras, dan membiarkan keheningan berbicara.
Dulu, waktu kecil, aku sering kesal. Kenapa ayahku tidak seperti ayah temanku yang sering mengantar ke sekolah, bercanda, bahkan peluk anaknya saat menangis? Ayah hanya mengantar dengan motor tua dan mengangguk singkat sebelum pergi. Tapi dia selalu datang tepat waktu, selalu.
Aku mulai mengerti perlahan, setelah aku jauh dari rumah.
Tadi pagi, di tengah rapat Zoom yang membosankan, aku dapat pesan dari Ibu:
“Ayah kamu masuk UGD.”
Kepalaku mendadak kosong. Rasanya seperti semua file dalam otak di-drag ke tempat sampah. Aku berdiri, minta izin cuti mendadak, lalu pesan tiket pulang sore itu juga. Tanganku gemetar waktu buka koper. Aneh, ya. Rumah tempat kita tumbuh bisa terasa sangat jauh ketika rasa bersalah ikut masuk ke dalam tas.
Di pesawat, aku duduk di dekat jendela. Jakarta mengecil di bawah sana. Semakin tinggi, semakin terasa aku meninggalkan sesuatu—entah pekerjaan, atau ego yang terlalu sering membuatku lupa pada yang paling penting: keluarga.
Setibanya di rumah sakit, aku lihat Ibu duduk sendiri di lorong, matanya bengkak. Beliau langsung berdiri waktu melihatku, memelukku lama.
“Dia sadar, tapi belum boleh banyak ngomong,” kata Ibu.
Aku masuk pelan-pelan ke ruang rawat. Ayah berbaring lemah. Ada selang infus, dan bunyi mesin detak jantung seperti metronom dari kenyataan. Wajahnya pucat, namun matanya terbuka dan menatapku. Tak ada senyum. Tapi ada satu anggukan kecil.
“Fan…” katanya pelan. Aku mendekat. Baru kali ini aku benar-benar menyadari, betapa tua wajah ayahku sekarang.
“Iya, Yah. Aku di sini,” suaraku lirih.
Aku ingin bilang banyak. Ingin minta maaf karena jarang pulang. Karena lebih sering sibuk mencari validasi orang asing daripada mendengar kabar orang tua sendiri. Tapi mulutku diam. Mungkin aku anaknya. Mungkin sifat diam Ayah itu menurun padaku juga.
Seminggu setelahnya, Ayah mulai membaik. Dokter bilang dia bisa pulang dan istirahat total di rumah. Malam itu, aku duduk di teras bersamanya, seperti dulu. Sama-sama diam, tapi kali ini berbeda. Aku merasakan sesuatu yang tumbuh di antara diam kami: pengertian.
“Ayah dulu juga pernah kerja di kota, tahu?” katanya pelan.
Aku kaget. Seumur hidup, aku pikir Ayah hanya petugas teknisi di pabrik dekat rumah.
“Jakarta juga. Tahun 1989. Tapi Ayah nggak betah. Terlalu bising, terlalu banyak orang yang bicara tanpa benar-benar mendengar.”
Aku tertawa kecil. “Terus Ayah pulang?”
“Pulang. Karena waktu itu kamu baru lahir.”
Hening. Aku merasa dadaku hangat. Bukan karena teh. Tapi karena kalimat itu.
“Jadi Ayah ngalah?” tanyaku.
Ayah tersenyum kecil. “Ngalah bukan kalah, Fan. Kadang orang pulang bukan karena gagal, tapi karena tahu apa yang paling berharga.”
Beberapa minggu setelah Ayah keluar dari rumah sakit, aku memutuskan tinggal lebih lama. Kantor mengizinkan kerja jarak jauh selama aku tetap produktif. Anehnya, justru di rumah, aku merasa lebih hidup. Lebih utuh.
Pagi-pagi, aku biasa duduk di meja makan, kerja sambil mencium bau nasi goreng buatan Ibu. Di sela-sela Zoom meeting, Ayah kadang menyahut dari ruang depan.
“Jangan lupa shalat zuhur, Fan.”
“Iya, Yah,” jawabku.
Dulu, kalimat itu terasa mengganggu. Sekarang? Justru jadi pengingat paling hangat.
Suatu sore, aku menemani Ayah menyiram tanaman. Dia sudah tidak sekuat dulu, jadi aku yang bawa selang. Ayah menunjuk ke satu sudut halaman.
“Pohon mangga itu, Ayah tanam waktu kamu kelas dua SD. Waktu kamu pulang sambil nangis karena dijemput paling akhir.”
Aku tersenyum. Ingat betul hari itu. Semua anak sudah dijemput, hanya aku yang tertinggal. Aku duduk sendiri di bangku depan sekolah, sampai akhirnya Ayah datang tergesa-gesa naik motornya yang bau oli. Tidak ada pelukan. Hanya “Maaf ya, Fan,” dan motor langsung melaju. Tapi hari itu, dia menanam pohon sebagai gantinya. Aku tak pernah tahu alasannya, sampai hari ini.
“Ayah tanam itu buat kamu. Supaya kamu tahu, ada sesuatu yang tumbuh karena kita mau belajar menebus kesalahan.”
Mataku memanas. Ayah memang jarang bicara, tapi sekali dia bicara, kata-katanya menancap seperti akar pohon yang dalam.
Beberapa hari di Jakarta terasa lebih asing dari biasanya. Suara klakson jadi lebih bising. Laptop terasa lebih dingin. Ada lubang kecil dalam dadaku yang tidak bisa kutambal dengan produktivitas atau notifikasi.
Sampai suatu hari, aku ditelepon oleh seorang teman lama.
“Fan, kemarin aku lihat Ayahmu di medsos komunitas lingkungan. Dia ikut bersih-bersih sungai, lho!” katanya.
Aku tercengang. “Hah? Serius?”
“Dia difoto lagi angkat karung sampah. Keren banget.”
Aku buru-buru buka akun komunitas itu. Dan benar—ada Ayah, mengenakan kaus putih polos, wajah berkeringat, berdiri di tepi sungai kecil dekat desa. Tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku melihat Ayah di luar bayanganku. Dia bukan hanya ayahku. Dia bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dan tetap diam, tapi bekerja.
Aku merasa malu. Selama ini, aku sibuk mencari dampak digital, lupa bahwa dampak paling nyata bisa dimulai dari sungai kecil yang kita lewati setiap hari.
Suatu sore, aku dan Ayah duduk lagi di teras. Kali ini, tidak dalam diam seperti dulu. Angin kota kecil kami membawa bau tanah basah dari hujan siang tadi. Ayah memegang cangkir teh, pelan-pelan menyeruput, lalu menoleh padaku.
“Kamu nggak bosan, Fan? Bolak-balik ke sini?”
Aku tertawa kecil. “Dulu iya. Sekarang nggak.”
Ayah mengangguk, matanya mengarah ke jalan depan. Anak-anak tetangga sedang main bola pakai sandal. Aku menatap mereka lama.
“Kadang aku mikir,” ujarku, “apa mungkin aku bisa sebaik Ayah?”
Ayah diam sejenak, lalu menjawab, “Kamu nggak perlu jadi seperti Ayah. Kamu cuma perlu jadi Arfan yang tahu pulang ke mana.”
Seketika dadaku sesak. Bukan karena sedih. Tapi karena aku baru benar-benar paham, bahwa yang Ayah wariskan padaku bukan rumah, bukan tanah, bukan pohon mangga. Tapi arah.
Sejak hari itu, aku tidak lagi menunggu momen besar untuk kembali. Aku datang saat bisa. Membawa cerita. Mendengar lebih banyak. Kadang aku temani Ayah ke sawah, kadang kami hanya duduk di warung kopi. Tak ada yang luar biasa. Tapi ternyata, kedekatan tidak butuh kejadian dramatis. Cukup hadir. Cukup mendengar. Cukup diam bersama.
Kini, kalau aku kembali ke kota, aku tidak lagi membawa rasa bersalah. Aku membawa wajah Ayah yang tersenyum di balik pagar, melambai singkat, seperti biasa.
Karena pada akhirnya, mungkin yang paling berarti dari seorang Ayah bukan kata-katanya, tapi keteguhannya menjadi rumah—meski kita sering lupa cara pulang.
Ilustrasi: lukisan karya karya Taufik Ermas.