Attaqwa, Pesantren Perjuangan Kaum Santri Bekasi

2,842 kali dibaca

Berawal dari sebuah masjid sederhana, Pondok Attaqwa kini menjadi pesantren tertua dan terbesar di Bekasi, Jawa Barat. Ratusan ribu alumninya tersebar di berbagai tempat. Mereka adalah generasi yang pintar, benar, dan terampil seperti yang diinginkan pendirinya melalui berbagai program pendidikannya.

Sang pendri dari Pondok Pesantren Attaqwa ini adalah Almaghfurlah KH Noer Alie, yang juga tercatat sebagai dalah satu pahlawan nasional berlatar belakang santri. Ia dilahirkan pada 15 Juni 1913 dari pasangan H Anwar bin H Layu dan Hj Maimunah binti Tarbin. Sejak kecil ia sudah menyukai belajar ilmu-ilmu agama.

Advertisements

Pada usia sekitar tujuh tahun, ia belajar pada guru H Ma’sum di Ujungmalang, dan terus berpindah untuk memperdalam ilmu dengan berguru kepada banyak kiai, di antaranya KH Mughni dan KH Ahmad Marzukih. Ia kemudian berangkat ke Tanah Suci Mekkah untuk kian mendalaami ilmu agama, dan baru kembali ke Tanah Air pada 1940.

Saat itulah, bertujuan mengajarkan dan mengamalkan ilmunya, Kiai Noer Alie mendirikan sebuah masjid di Kampung Ujungharapan, Kelurahan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi. Lalu dikembangkan menjadi pesantren. Ia mulai mengajar para santri di tempat sederhana itu.

Namun, pendidikan yang mulai dirintis itu terganggu situasi politik yang memanas, perang kemerdekaan dan agresi Belanda. Kiai Noer Alie pun ikut terlibat aktif dalam perang mengusir penjajah, sehingga seluruh kegiatan belajar terhenti. Karena itu, pesantren ini juga dikenal dengan sebutan pesantren perjuangan. Sebab, saat itu pesantren Kiai Noer Alie juga dijadikan salah satu pusat perjuangan melawan penjajah. Bahkan, di zaman penjajahan, Kiai Noer Ali memerintahkan kepada santrinya ikut berperang melawan penjajah.

Baru pada 1950, ketika situasi sudah membaik, Kiai Noer Alie meneruskan perjuangannya dalam dunia pendidikan. Ia mulai membangun pesantren dan madrasah. Saat itu, pesantrennya dikenal dengan nama Pesantren Islam Bahagia, sesuai dengan nama kelurahannya. Melalui pesantren yang dirintisnya, Kiai Noer Alie ingin melahirkan kader yang benar, pintar,dan terampil. Benar dalam hal ini berarti benar terlebih dahulu dalam hal apa pun, baru kemudian menjadi generasi pintar dan terampil. Berkat ketekunannya, jumlah santrinya semakin banyak.

Maka, pada 1956 dibentuk suatu yayasan untuk menaungi seluruh kegiatan belajar mengajar yang bernama Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam (YP3I). Lalu, pada 1962 didirikan Madrasah Menengah Attaqwa (MMA). Dua tahun kemudian, pada 1964, didirikan pesantren putri.

Dari perubahan itulah akhirnya berdiri kokoh Pondok Pesantren Attaqwa, Pondok Pesantren Attaqwa Putra dan Pondok Pesantren Attaqwa Putri, yang kini berdiri di atas lahan seluas 24 hektare. Selain mendidikan para santri, pendiri Pondok Pesantren Attaqwa juga menjadikan daerah Ujungharapan sebagai “kota santri”. Disebut demikian, karena pengaruh dari pesantren ini. Masyarakat di Ujungharapan diatur atau dibagi dalam wilayah-wilayah musala, yang nantinya akan berpusat ke masjid yang berada di Pondok Pesantren Attaqwa. Karena itu, warga Ujungharapan menandai lingkungannya bukan dengan istilah rukun tetangga dan rukun warga, melainkan dengan nama musala, yang berpusat pada masjid Pesantren Attaqwa.

Dan sepeninggal Kiai Noer Alie pada 29 Januari 1992, Pondok Pesantren Attaqwa ini terus dikembangkan oleh keturunan dan kader-kadernya. Pendidikannya juga terus mengalami perkembangan pesat. Kini, di lingkungan Pondok Pesantren Attaqwa dan di bawah naungan Yayasan Attaqwa terdapat 36 TK, 62 MI, 1 SDIT, 23 MTs, 13 SMP, 7 MA, 3 SMU, 1 STM, 1 SMK, Pesantren Tinggi Attaqwa  (PTA) dan sekolah tinggi agama Islam (STAI).

Meskipun telah memperoleh sentuhan modern, tradisi pesantren tetap dipertahankan di Pondok Pesantren Attaqwa, yaitu pengajian kitab kuning.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan