Arwah Aktivis

877 kali dibaca

Bagi kami, menanam adalah kegiatan amal, bermanfaat bagi bumi, bermanfaat bagi kelangsungan makhluk hidup.

Pagi-pagi sekali, saya membuka jendela. Dingin menyusup ke pori-pori. Kabut masih menutupi area persawahan. Ternyata tempat ini masih alami, belum terjamah oleh industri. Masih banyak pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan rimbun. Telinga saya mendengar suara kicauan burung yang meramaikan pagi.

Advertisements

Seperti perkiraan saya, daerah ini masih belum padat penduduk. Saya baru tahu, karena tadi malam, saya ketiduran di mobil. Setelah bangun, saya langsung masuk ke rumah baru yang dibeli suami saya seminggu yang lalu.

Beberapa saat setelah kami masuk ke rumah, anak kami terbangun dan menangis. Lalu ayahnya menenangkannya dengan lantunan selawat dalam gendongannya.

Kami merasa bersyukur telah membeli rumah ini, karena hidup di kota membuat kami stres. Setiap hari kami selalu mendengar suara bising kendaraan. Kami harus merasakan terik matahari dengan suhu kurang lebih 30-31 derajat Celcius. Jarang ada pepohonan. Biaya hidup di sana sangat mahal. Itulah sebabnya kami pindah ke desa.

Untuk seukuran pekarangan rumah, tempat ini cukup luas. Saya bisa memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur dan bunga hias menggunakan polybag dan pipa-pipa hidroponik untuk efisiensi lahan.

Sementara itu, suami saya bekerja di salah satu media lokal sebagai redaktur. Di sela-sela waktu kosong, dia akan membantu saya untuk menanam. Kami memang hobi bercocok tanam, apalagi suami saya. Namun karena tuntutan pekerjaan, mengharuskannya untuk standby di kantor selama 8 jam per hari. Tapi hari Sabtu dan Minggu, dia libur, sehingga dia bisa membantu saya.

Suami saya, dalam waktu dekat ini akan membuat peternakan kelinci. Selain bisa dijual kelincinya, kotoran dan urinenya bisa kami manfaatkan untuk pembuatan pupuk organik dengan cara penyulingan dan fermentasi. Kami sendiri memang tidak menyukai pupuk kimia, karena itu akan menyisakan residu bagi tanah dan mengancam kelangsungan jasad renik sebagai pengurai unsur hara. Kami mempunyai prinsip, yang hidup di alam harus kembali ke alam.

Jam dinding menunjukkan pukul 07.15 WIB. Anak kami masih terlelap di kamar. Saya mengitari setiap ruangan. Setiap ruangan saya cek. Rumah ini memang terlihat seperti rumah gaya jawa kuno. Banyak ukiran-ukiran khas Jepara yang membuat rumah ini terkesan elegan dan indah. Lampu berukir di tengah ruang tamu yang diletakkan di atas, menggantung. Ada 4 kamar. Fasilitas lengkap, seperti kulkas, dispenser, TV LED, mesin cuci, dan lain-lain. Selain itu, rumah ini memiliki perpustakaan pribadi yang mungil. Di ruangan perpustakaan, terdapat beberapa foto atau gambar yang ditempelkan ke tembok.

Saya melihat ada gambar Pramoedya Ananta Toer, Multatuli, Ir Soekarno, Che Guevara, Mahatma Gandhi, dan beberapa tokoh-tokoh dunia lain. Koleksi buku-bukunya juga berkelas. Ada karya Pramoedya Ananta Toer, ada pula buku-bukunya Franz Kafka, Haruki Murakami. Ada pula buku-bukunya Karl Marx, Ivan Lenin, dan masih banyak lagi.

Ketika kami hendak membeli rumah ini, kami bertemu dengan seorang paro baya yang ditaksir setengah abad lebih. Tak lain tak bukan, ia adalah pemilik rumah ini. Setelah ia menjual rumah ini kepada kami, kemudian ia pindah keluar kota hidup bersama anak perempuannya.

Ia sempat bercerita tentang putranya yang menghilang tidak tahu rimbanya. Sampai saat ini belum kembali. Saat menceritakannya, ada raut wajah yang begitu sendu, tanpa harapan. Tanpa harapan untuk bisa bertemu dengan putranya lagi. Pada saat itu, memang banyak orang yang tiba-tiba menghilang.

Pak tua itu memperlihatkan selembar foto anaknya kepada kami. Foto itu, tergambar seorang pemuda berambut gondrong dan memiliki badan kurus legam, mengenakan kaus hitam bergambar Che Guivara. Dalam foto itu, ia bersama empat temannya, berpose menyulut rokok duduk melingkar. Menurut keterangan dari orang tua itu, ia sempat menempuh pendidikan di salah satu kampus di kota Yogja. Akhirnya lulus dengan empat belas semester.

Pak tua itu sempat menitikkan air mata, kemudian menyerahkan sertifikat rumahnya kepada kami. Lalu undur diri. Kami baru pindah rumah ini seminggu setelah pertemuan itu, sebab kami harus mempersiapkan kepindahan kami ke rumah yang baru.

***

Saya penasaran dengan ruangan kecil berisi perpustakaan itu. Saya berniat untuk mengulik lebih jauh perpustakaan itu dengan masuk ke ruangan dan melihat-lihat koleksi buku-bukunya. Terlihat beberapa rak buku berdebu. Saya mencoba untuk membersihkan debu-debu itu. Tangan saya begitu terampil mengayunkan kemoceng. Di sela-sela membersihkan, saya menemukan kertas berwarna putih kusam tulisan tangan. Kertas itu bertuliskan, “reformasi harga mati”.

Saya juga menemukan sebuah buku kecil seperti diary. Awalnya saya ragu untuk membukanya tetapi rasa penasaran saya lebih besar dari pada keraguan saya. Ada keterangan waktu yang ditulis tangan yang menunjukkan tanggal 20 Mei 1998. Saya membaca buku catatan itu sekilas, bertuliskan, “Keadilan harus ditegakkan. Pembungkaman harus dilawan.” Membaca pernyataan itu, saya baru sadar jika anak pak tua itu seorang aktivis yang mungkin saja diculik oleh orang tak dikenal pada masa prareformasi. Entahlah.

Dugaan saya semakin kuat, ketika di dalam ruangan kecil di perpustakaan terdapat buku-buku kiri yang memang bacaan seorang aktivis. Mungkin saja, putra dari pak tua itu adalah aktivis 98. Saya merasa kasihan dengan orang tua itu. Sampai sekarang putranya belum kembali, bahkan belum ada kabar, apakah dia masih hidup atau sudah mati. Tidak ada keadilan yang bisa dituntut, seolah-olah kejahatan itu dibiarkan berlalu begitu saja, tanpa sedikit pun dibongkar dan diadili.

Sekarang, pak tua itu bersama putri bungsunya tinggal di Magelang. Untung saja, dia masih memiliki putri yang bisa menemani dan merawatnya di waktu sepi dengan umurnya yang semakin senja.

Setelah membersihkan perpustakaan, terdengar suara tangisan dari kamar saya. Balita kami terbangun. Saya bergegas menuju kamar dan segera mengganti popoknya. Setelah saya berikan ASI, sejenak ia terlihat menikmati ASI yang saya sodorkan. Namun tak lama kemudian, ia tak mau lagi. Ia terus menangis. Saya cek suhu badannya dengan menempelkan telapak tangan ke keningnya, ternyata normal. Sudah berbagai cara saya menenangkannya, namun nihil. Bayi kami tetap saja menangis.

Saya panik dan langsung menelepon suami saya agar cepat-cepat pulang yang mungkin saja belum sampai ke kantornya. Setelah beberapa waktu, suami saya tiba di rumah dan segera membawa putri kami ke rumah sakit. Saya ikut mendampingi. Di dalam perjalanan, bayi kami berhenti menangis. Namun suami saya tetap membawanya ke rumah sakit untuk memastikan kesehatannya.

Setelah menyelesaikan administrasi, kami segera masuk ke ruangan dokter spesialis bayi untuk memeriksakan bayi kami. Kata dokter, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dokter hanya memberikan vitamin untuk bayi kami.

Sesampainya di rumah, bayi kami kembali menangis tanpa sebab. Kami mengira ada hal yang ganjil di rumah ini. Kami meyakini, bahwa rumah ini memang ada makhluk tak kasat mata yang menunggui. Saya sendiri merasakan hawa panas saat berada di rumah ini. Terkadang secara tiba-tiba, bulu kuduk saya berdiri dan seperti ada sekelebat bayangan di belakang saya. Saya percaya dengan adanya makhluk astral. Dan saya percaya, bahwa balita lebih sensitif dari pada orang dewasa.

Setelah berpikir lama, kami berinisiatif untuk mengungsi sementara di rumah orang tua saya. Soal rumah, biar suami yang menanganinya. Dia mempunyai relasi yang tak sedikit. Mungkin saja dia bisa menemukan referensi untuk menyelesaikan masalah ini.

Setelah semuanya beres, kami kembali ke rumah itu. Berkat usaha suami saya, kami bisa menikmati istirahat dengan tenang dan bayi kami tidak ketakutan lagi. Rupanya, dia memang lelaki yang bisa diandalkan. Dia mengundang keluarga, kerabat dan teman-temannya untuk mujahadah di rumah kami. Dia juga memakai jasa ketering untuk jamuan acara itu.

Suara rebana bertalu-talu mengiringi lantunan selawat nabi yang dibawakan oleh remaja masjid yang ada di desa. “Kenapa dengan rumah ini. Kenapa putrimu tak ketakutan lagi?” tanya saya kepada suami.

“Arwah aktivisnya sudah pergi,” guraunya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan