Antropologi Pandemi

932 kali dibaca

Pandemi Covid-19 telah meraja di Tanah Air hampir bulat berumur satu tahun, terhitung dari pemberitaan media yang mengemuka di bulan Maret tahun lalu. Pengalaman yang cukup lama tersebut telah mengarahkan manusia pada berbagai sudut pandang baru dalam melihat spesimen-spesimen kehidupan. Hal ini tentu disebabkan oleh berbagai perkara yang tergolong dalam force majeure, sehingga manusia senantiasa berjibaku untuk mengatasinya.

Banyak sudah regulasi dibuat untuk mengatasi pandemi. Regulasi tersebut adalah sebuah implikasi bahwa manusia mencoba untuk membuat “harmonisasi” dengan keadaan yang baru ini, yakni pandemi. Tujuan disusunnya ketentuan-ketentuan yang melibatkan masyarakat secara luas tersebut tidak lain adalah untuk stabilisasi keadaan manusia dalam berbagai aspek, yang kini kian problematik.

Advertisements

Kaitannya dengan persoalan kemanusiaan yang makin kompleks, tentu manusia dengan sendirinya akan merekonstruksi sebuah konsepsi baru untuk bertahan. Berbagai paradigma baru akan terbangun dari buah persilangan antara literasi dan situasi. Literasi yang demikian ini, dapat didefinisikan pada varian model yang bermacam-macam, disesuaikan dengan kebiasaan seseorang dalam bergaul dengan dimensi kehidupannya.

Misalnya, seseorang akan melihat pandemi sebagai fenomena medis, apabila kebiasaan seseorang suka berkomunikasi dunia kesehatan. Begitu juga seseorang akan melihat pandemi sebagai ujian Tuhan, apabila kebiasaan seseorang sangat taat dengan praktik kepercayaan tertentu.

Konstelasi Paradigma

Dr Soehadha, seorang pakar antropologi dari UIN Yogyakarta, memaparkan adanya sebuah proses yang dijalani manusia ketika mengalami suatu tantangan baru, yaitu krisis, transisi, dan adaptasi. Sampai saat ini, bangsa kita bisa dikategorikan masih dalam tahap krisis. Sebab, apabila kita memakai akar paradigma herd immunity (kekebalan kelompok) dalam dunia medis, maka belum 70% rakyat Indonesia menerima vaksin Covid-19.

Sebenarnya, berbagai instrumen paradigma manusia akhir-akhir ini mulai menunjukkan tahap-tahap lanjutan. Sebut saja mengenai kenormalan baru yang mempunyai diksi lain yakni New Normal. Diorama New Normal tidak selalu merujuk pada perilaku-perilaku baru yang dapat diabsahkan secara berkelanjutan.

Semisal dalam kebiasaan para santri, sungkem (mencium tangan) pada kiai merupakan perbuatan yang lazim dilakukan ketika sowan. Namun, sowan bisa saja akan dilaksanakan kembali ketika pandemi telah usai.

Dalam persoalan lain, gaya hidup manusia dalam menjaga kesehatan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pengalaman yang dialami ketika pandemi menuntut manusia untuk senantiasa menjaga kesehatan dengan berolah raga, makan makanan bergizi, serta membangun karakter berpikir yang positif, tentu bisa dilaksanakan terus menerus.

Selain itu, sudut pandang dalam memaknai simbol dan makna pun kian beragam. Blumer (1987) menyatakan bahwa interaksi yang dibangun manusia akan membentuk suatu konsep yang secara otomatis menciptakan term-term pelabelan kepada suatu objek. Dalam hal ini, kita seringkali melihat suatu objek dengan tendensi negatif yang cenderung akan mengarahkan kita pada stigma yang negatif pula.

Pada konteks yang aktual, untuk beberapa kalangan, ketika melihat seseorang memakai cadar, maka yang pertama terbangun di benak pikir adalah pengikut pemahaman tertentu yang konservatif. Namun, saat pandemi yang “menuntut” kita untuk memakai masker, mungkin ada paradigma baru yang mengataka bahwa seseorang yang bercadar adalah bentuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

Simpulannya, berbagai fenomena yang terbentuk selama masa pandemi, telah berkontribusi terhadap pembentukan wacana, narasi serta paradigma manusia dalam melihat suatu perkara. Paradigma baru ini tentu dapat menjadi alternatif untuk menyongsong konsepsi yang lebih positif, adaptif dan bijak dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan