“Anak Bajang Menggiring Angin”: Kerendahatian Melawan Keangkaramurkaan

1,837 kali dibaca

Orang Indonesia, khususnya yang tinggal dan dibesarkan di Jawa-Bali, nampaknya tidak asing lagi dengan kisah Ramayana. Bagi mereka yang pernah mengalami tahun-tahun 1990-an ke belakang umumnya juga akrab dengan pagelaran wayang semalam suntuk yang kadang lakonnya mengambil dari kisah Ramayana.

Rama-Sinta, dua tokoh dalam kisah tersebut, menjadi ikon cinta sejati yang suka disematkan dalam kisah-kisah percintaan. Versi ceritanya pun menjadi semakin beragam. Ada banyak versi yang terus bermunculan dengan didasarkan pada interpretasi yang berbeda-beda.

Advertisements

Misalnya saja yang mengisahkan bagian akhir cerita tersebut; ada versi yang mengisahkan Sinta menolak kembali ke pelukan Rama setelah Rama meragukan kesuciannya saat menguji Sinta untuk masuk ke api pembakaran. Namun, ada juga versi yang mengisahkan Sinta kembali bersatu dengan Rama meskipun Rama menguji kesuciannya dengan upacara obong yang menyesakkan.

Belum lagi interpretasi tentang sosok Rahwana yang tak kalah beragam. Ada yang menggambarkan sosoknya sebagai raksasa mengerikan yang merepresentasikan kejahatan dunia. Ada pula yang menggambarkan Rahwana sebagai sosok yang lebih lembut dibandingkan yang selama ini dikenal oleh banyak orang.

Selain terus diceritakan kembali dalam bentuk cerita pendek atau novel, kisah Ramayana ini juga dialihwahanakan dalam berbagai bentuk seperti serial televisi, sendratari, serial wayang wong, dan lain sebagainya.

Novel Anak Bajang Menggiring Angin yang ditulis Sindhunata dan terbit pertama kali pada 1983 ini juga mengisahkan kembali cerita Ramayana dengan versi interpretasi yang cukup unik. Selain menceritakan alur seperti yang biasa kita kenal selama ini, narasi Sindhunata penuh dengan nilai-nilai filosofis dan petuah-petuah kebijaksanaan yang disarikan dari tokoh-tokoh dalam Ramayana tersebut.

Novel setebal 487 halaman ini merangkum bagaimana kejahatan lahir dalam bentuk Rahwana dan bagaimana kebaikan menghancurkannya dalam pimpinan Rama. Novel ini terdiri dari delapan bagian yang diawali dengan bagaimana kelahiran Rahwana beserta tiga saudaranya: Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana dari kegagalan Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa memahami Sastra Jendra, sebuah ilmu rahasia yang menguak tabir Ilahi. Alih-alih mendapatkan kesempurnaan hidup, Sukesi dan Wisrawa justru tenggelam ke dalam kenistaan yang tidak pernah mereka bayangkan sampai melahirkan empat anak yang menjadi perwujudan nafsunya.

Romo Sindhu, sapaan Sindhunata, menginterpretasikan kegagalan kedua orang tersebut mencapai kesempurnaan dalam upayanya memahami Sastra Jendra ini karena kesombongannya sendiri, yaitu meninggalkan variabel kepasrahan Ilahi dalam proses memahami Sastra Jendra sebagaimana dinarasikan sebagai berikut:

“Namun seharusnya kau tahu, hati manusia dalam badan jasmaninya itu demikian lemahnya. Budimu bisa membayangkan keluhuran apa saja, tapi serentak dengan itu hatimu bisa terjerumus ke dalam kenistaan tak terkira, seperti yang kau alami hari ini. Maka anakku, Sastra Jendra pada hakikatnya adalah kepasrahan hati pada ilahi, supaya yang ilahi menyucikannya. Kepasrahan hati itulah yang tak kau alami, ketika kau merasa memahami Sastra Jendra. Kau dihukum oleh kesombongan budimu sendiri, yang tidak mempedulikan jeritan hati dalam belenggu jasmaninya yang masih berdosa tapi ingin pasrah.” (hal. 28)

Bagian seterusnya dari novel ini mengisahkan kelahiran Anoman serta kemunculan beberapa tokoh penting yang turut berperan menumbangkan Rahwana, seperti Subali dan Sugriwa. Juga kemunculan Rama dari Ayodya yang terpaksa harus dibuang ke hutan Dandaka selama 13 tahun lamanya bersama istrinya, Sinta, dan adik kesayangannya, Laksmana karena salah seorang istri ayahnya, Kekayi, menginginkan tahta Ayodya untuk putranya Barata.

Dibuangnya Rama ke hutan inilah yang menjadi awal kisah yang kita kenal sekarang. Bagaimana Sinta diculik Rahwana dan bagaimana Rama berusaha merebut kembali istrinya dengan berperang melawan negeri Alengka dengan bantuan balatentara kera.

Yang menarik dalam kisah Ramayana di novel Anak Bajang Menggiring Angin ini adalah bahwa Rama sama sekali tidak digambarkan sebagai sosok pahlawan yang serba sempurna. Meskipun ia adalah titisan Dewa Wisnu, tapi dalam perjalanannya menghancurkan keangkaramurkaan dan kejahatan (yang direpresentasikan Rahwana), ia seringkali jauh dari sikap-sikap bijaksana. Justru kebijaksanaan itu hadir dalam bentuk Laksmana, Anoman, serta Gunawan Wibisana, adik Rahwana yang memilih untuk memihak Rama.

Bahkan dalam novel ini dikisahkan bahwa sejatinya bukan Rama yang mengalahkan Rahwana. Rama, Laksmana, dan Gunawan Wibisana diinterpretasikan hanya sebagai pembantu dalam mengalahkan keangkaramurkaan dan kejahatan (yang direpresentasikan Rahwana). Sebab, sejatinya yang mengalahkan Rahwana adalah balatentara kera yang diwakili Anoman.

Di novel ini, Rahwana digambarkan sebagai seorang raksasa sekaligus raja Alengka yang sangat jahat dan tidak punya kasih sayang sedikit pun. Sikapnya selalu jahat kepada siapa saja. Bahkan kepada saudara-saudara dan anak-anaknya. Yang ia kedepankan hanya nafsu dan egonya belaka. Tidak pernah ia memikirkan orang lain apalagi negerinya. Kehancuran yang ia bawa ke negerinya pun adalah imbas hasrat nafsu egonya yang ingin memiliki istri orang lain, yaitu Sinta.

Sementara itu, balatentara kera diceritakan sebagai sosok yang merepresentasikan kerendahan hati. Dalam tubuh wadag-nya yang terus berusaha mencapai kesempurnaan, mereka terus merendahkan hatinya; menyadari dirinya masih jauh dari sempurna sehingga selalu bersikap sumeleh terhadap kehidupan yang dialaminya. Dan kerendahan hati itulah yang sebetulnya yang mengalahkan keangkaramurkaan dan kejahatan dunia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan