Alumni Annuqayah Gelar Seminar Politik dan Kekuasaan

1,123 kali dibaca

Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep, Madura, Jawa Timur menggelar Seminar Nasional bertema “Santri dalam Dinamika Politik dan Kekuasaan” pada Ahad, 27 Maret 2022. Seminar kepesantrenan yang diadakan di Aula BAPPEDA, Jl Trunojoyo 54 Sumenep ini mendatangkan nara sumber Ahmad Fauzi, SH. MH (Bupati Sumenep), Dr KH Muhammad Shalahuddin A Warits (Pengasuh Pesantren Annuqayah), dan KH Ilyasi Siradj, SH. M. Ag. (Pengasuh Pesantren Nurul Islam). Bertindak sebagai moderator adalah Adi Prayitno (Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta).

Seminar Nasional ini diselenggarakan atas kerja sama Ikatan Alumni Annuqayah (IAA), melalui Divisi Media dan Informatika dan Divisi Keilmuan, Riset, dan Kajian Sosial dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sumenep. Ini menjadi kerja sama yang baik antara pesantren dan pemerintah, karena BAPPEDA merupakan mitra pesantren yang dapat saling bersinergi untuk ikhtiar pembangunan bangsa.

Advertisements

Seminar kepesantrenan yang diikuti oleh aktifis alumni santri Annuqayah dan simpatisan. Tema yang diusung juga termasuk dalam ranah etis-dialektis, karena dunia politik masih asing di kalangan santri secara awam. Oleh sebab itu, maka publikasi perpolitikan yang apik-dinamis perlu dimunculkan agar tidak terjadi miskonsepsi terhadap eksistensi sinergi politik kepesantrenan.

Pembukaan seminar dipandu oleh Ustaz Jazuli, diawali dengan pembacaan fatihah kepada para masyayikh Annuqayah sebagai pendiri lembaga pesantren. Juga kepada para leluhur. Selanjutnya sambutan dari Moh. Hartono selaku Ketua Divisi Media dan Informatika.

“Sebagian kecil dari kegiatan IAA adalah Seminar Nasional: Santri dalam Dinamika Politik dan Kekuasaan ini,” katanya. Ia menjelaskan, kegiatan IAA lainnya masih banyak dan memberikan dukungan yang sebenarnya terhadap perkembangan pesantren. Tentu saja setiap kegiatan bermuara kepada kepentingan lembaga kepesantrenan, bukan demi kepentingan pribadi atau golongan.

Sambutan kedua dari Ketua Ikatan Alumni Annuqayah Pusat, Ustaz Abd Aziz, M. Ag. Ustaz Abd Aziz mengungkapkan rasa terima kasih kepada seluruh donatur, pihak BAPPEDA, Bupati Sumenep, nara sumber, dan seluruh peserta seminar yang sempat hadir pada kesempatan ini.

“Tidak lupa juga kepada panitia kegiatan Seminar Nasional yang telah bersusah payah mempersiapkan segala sesuatunya,” demikian Aziz mengatakan dalam sambutannya.

Masih menurut Ketua Umum IAA, bahwa kegiatan Seminar Sehari ini juga sebagai pengukuhan dua divisi baru di IAA, yaitu Divisi Keilmuan Riset dan Kajian Sosial dan Divisi Media dan Informatika. Diharapkan dari devisi ini akan lahir gerakan dan gebrakan kebaruan demi perkembangan pesantren yang dinamis-progresif.

Keynote Speaker, dari Bupati Sumenep, Ahmad Fauzi, SH. MH, mengatakan, “Keterkaitan santri dengan politik dan kekuasaan sudah ada sejak awal kemerdekaan.”

Seminar ini diharapkan dapat memperkuat silaturrahmi antara pemerintah dan pesantren dalam rangka mewarnai dinamika politik dan kekuasaan yang sebaik-baiknya. Memiliki peran yang sangat strategis hubungan antara santri dalam dinamika politik dan kekuasaan.

Masih menurut Ahmad Fauzi, “Acara ini sebagai bagian dari semangat santri untuk memberikan yang terbaik melalui politik dan kekuasaan.”

Acara selanjutnya adalah Seminar Nasional yang dalam hal ini dipandu oleh Ustaz Husaini Adhim yang juga sebagai Ketua Divisi Keilmuan, Riset, dan Kajian Sosial. Dalam awal pemaparan praseminar, Husaini Adhim menjelaskan bahwa santri adalah peletak sejarah kemerdekaan. Ada tahapan-tahapan historika yang tidak lepas dari kesantrian melalui resolusi jihad yang diprakarsai oleh Hadratus Syaikh, KH Hasyim Asy’ari.

Nara sumber Seminar Nasional, Adi Prayitno, mengatakan, “Membicarakan tentang santri dan kekuasaan sudah selesai. Karena fakta sejarah telah memberikan kita sebuah realita bahwa jabatan politik, jabatan publik, bahkan presiden pun pernah dipimpin oleh santri.”

Menurutnya, politik itu sebenarnya sederhana, terkait dengan apa yang terjadi dalam keseharian. Sebagai seorang santri harus memiliki empati dan simpati terhadap kasus-kasus sosial, bukan semata terkait pemilihan umum yang hanya terjadi dalam lima tahun sekali.

Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik, juga menjelaskan bahwa politik adalah sarana untuk mencapai kekuasaan. Politik adalah alat untuk mencapai kekuasaan dan tujuan. Tentu dengan nilai-nilai etik politik yang menjadi dasar dan tidak melanggar kaidah kepesantrenan. Politik adalah soal untung dan rugi, maka akan terjadi dinamika politik yang tidak seragam, bahkan meskipun berasal dari satu almamater sekalipun.

Sementara itu, KH Ilyasi Siradj, menjelaskan bahwa di pesantren tidak ada pelajaran keilmuan politik secara khusus. Santri tidak pernah diajari menyampaikan kritik dengan cara lantang dan nada profokatif. Justru, di dalam lembaga pesantren diajarkan kalimat-kalimat sejuk dan memiliki nilai-nilai kearifan Islam. Jika ada santri yang demo misalnya, itu adalah santri yang masuk ke dunia kampus.

“Santri diajarkan etika menyampaikan gagasan dengan cara arif. Maka tidak akan terjadi sebuah konfrontasi yang lahir dari lembaga pesantren,” tegas Kiai Ilyasi terkait dengan santri dan dunia politik saat ini. Terkait dengan dunia politik, di lingkungan pesantren terjadi polarisasi kepartaian.

Akan tetapi, hal tersebut tidak akan dijadikan sebagai sikap yang saling menjatuhkan. Jadi politik yang digunakan adalah adalah politik kebijakan tanpa memandang rendah kepada lawan politik yang berseberangan.

“Politikus tidak harus menjadi pejabat publik, akan tetapi harus menjadi bermanfaat baik kepada diri sendiri maupun kepada masyarakat,” demikian Kiai Ilyasi Siradj menjelaskan di akhir paparannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan