Al-Qur’an dan Tantangan Masa Depan

1,143 kali dibaca

Sebagai pedoman kehidupan bagi seluruh umat manusia, kitab suci Al-Qur’an dituntut untuk selalu relevan terhadap perkembangan zaman (shalih lii kulli zaman wa makan). Bacaan yang berisi ketetapan-ketetapan itu dipercaya:diharapkan bisa memberikan jawaban bagi setiap persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh umat manusia, baik di masa kini maupun masa yang akan datang.

Sejak diturunkannya, Al-Qur’an sudah menyatakan dirinya sebagai kitab yang memiliki pandangan-pandangan progresif terhadap persoalan kemanusiaan. Perintah untuk membebaskan budak, larangan untuk menikahi lebih dari empat istri, memuliakan anak yatim, membela kaum mustadhafin, dan lain-lain, merupakan bukti bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang progresif, yang kemudian pandangan-pandangan tersebut baru diikuti oleh kaum Barat di kemudian hari.

Advertisements

Oleh karena umat Islam yang memedomani kitab suci Al-Qur’an, maka umat Islamlah yang kemudian menjadi pemenang peradaban saat itu. Hal tersebut dibuktikan seperti apa yang dikemukakan oleh Robert N Bellah. Dia mengatakan,

“There is no question but that under muhammad, Arabian society made a remarkable leap forward in social complexity and political capacity. When the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the results is something that for its time and place is remarkably modern. It is modern in the high degree of commitment, involvement, and participation excpected from the rank and file members of the community. It is a modern the opennes of its leadership positions to abbility judged on universalistic grounds and symbolized in the attempt to institutionalize a non-hereditary top leadership. Even the earlist times certain restrains operated to keep the community from wholly exemplifying these principles, but it do so closely enough to provide a better model for modern national community building than might be imagined,”

Namun, pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah Bacaan (:Qur’an) yang turun 14 abad lalu itu masih relevan untuk menjawab persoalan dan tantangan masa kini dan masa depan? Sebab, konteks persoalan yang dihadapi antara dahulu dan saat ini sudah sedemikian berbeda. Contoh saja gagasan Syahrur tentang milkul yamin yang sempat menjadi kontroversi di negara-negara Islam.

Dahulu, ketetapan milkul yamin diperbolehkan dengan pertimbangan nilai kemanusiaan sebagai esensi utama, yakni agar para budak juga bisa merasakan kenikmatan berhubungan intim sebagai kebutuhan pokok manusia. Namun, saat ini, perbudakan telah dihapuskan. Artinya, bisa dikatakan bahwa gagasan milkul yamin tidak lagi berlaku. Sebab, secara konteks, konsep milkul yamin tidak terpenuhi lagi locus-nya. Memberlakukan kembali konsep milkul yamin sama saja dengan memundurkan peradaban manusia.

Dengan begitu, apakah ayat-ayat yang berbicara tentang milkul yamin tidak lagi “relevan” dengan perkembangan zaman karena ketiadaan hukumnya? Nah, inilah pentingnya memahami Al-Qur’an tidak hanya sebagai kitab (:ketetapan hukum), tetapi juga, mengutip istilah yang digunakan oleh Fazlur Rahman, sebagai kitab yang berisi spirit moral.

Jika hanya dipahami hanya sebatas kitab hukum, maka sesungguhnya terdapat banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang tidak relevan lagi saat ini. Sebab, adanya perbedaan yang cukup tajam antara konteks saat turunnya ayat dengan konteks persoalan masa kini. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman Al-Qur’an secara utuh —dan agar sesuai dengan perkembangan zaman— seorang mufasir mesti menangkap apa yang menjadi spirit moral dalam suatu ayat.

Berbicara tentang ayat milkul yamin tersebut, misalnya, bila ditinjau melalui kaca mata spirit moral; maka akan didapati bahwa sesungguhnya ayat tersebut berbicara tentang kesetaraan manusia. Pada masa itu, pandangan ayat ini bisa dikatakan terlampau progresif. Sebab, melawan arus utama yang berlaku pada saat itu, yakni adanya kesenjangan yang sangat merosot antara budak dengan majikan atau manusia merdeka. Padahal, secara hakikat, keduanya merupakan sama-sama makhluk yang diciptakan Tuhan.

Nilai-nilai kesetaraan inilah yang mesti dipahami dan ditangkap sebagai spirit moral suatu ayat. Dan sebagai konsekuensinya, seorang pemikir muslim progresif mesti menjaga kontinuitas ritme pemikirannya yang progresif. Sebab, di masa yang akan datang, umat manusia akan dihadapkan dengan persoalan dan tantangan yang baru, yang tidak ditemukan perumpaan kasusnya di dalam Al-Qur’an ataupun hadis. Namun, dengan menangkap spirit moral Al-Qur’an, persoalan dan tantangan yang baru itu dapat diselesaikan serta membantah anggapan keusangan Al-Qur’an.

Multi-Page

One Reply to “Al-Qur’an dan Tantangan Masa Depan”

Tinggalkan Balasan