Al-Jawāhir, Tafsir Saintifik Karya Jawharī

336 kali dibaca

Tafsir Al-Qur’an terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada masa Rasulullah, para sahabat bertanya secara langsung kepada Rasulullah untuk mendapatkan maksud yang benar dari suatu ayat. Namun, ketika Rasulullah wafat, para sahabat tersebut kemudian memahami Al-Qur’an dengan berpedoman pada penjelasan Rasulullah semasa hidupnya.

Selain itu, para sahabat kemudian juga menggunakan ijtihad dalam memahami ayat Al-Qur’an. Pada abad ke-2, penafsiran Al-Qur’an semakin berkembang, ditandai dengan munculnya para tokoh tafsir dengan karyanya. Diawali dengan munculnya Jāmi’ al-Bayān fī Tafsīr Al-Qur’an karya Imam Ibnu Jarīr al-Ṭabarī.

Advertisements

Pada masa Abbasiyah, peradaban Islam mengalami puncak keemasan. Pada masa tersebut, muncul tafsir Al-Qur’an dengan berbagai corak dan aliran, seperti tafsir fiqhi, sufi, balaghi, falsafi, dan ilmi (saintifik).

Di antara para tokoh yang muncul pada masa tersebut adalah Iman al-Zamakhshari dengan karyanya yang berjudul tafsir al-Kashshaf bercorak bahasa.

Kemudian ada Fakhruddīn al-Razi dengan karyanya Mafātiḥ al-Ghaib bercorak falsafi, tafsīr bercorak fiqhi karya Qurṭubī yang berjudul al-Jāmi’ li Aḥkām Al-Qur’an, ada juga yang bercorak adābi ijtima’i yang berjudul  al-Manār karya Muhammad ‘Abduh dan Rashid Riḍa. Selain itu, mucul juga tafsir ‘ilmī atau disebut dengan saintifik.

Munculnya Tafsir ‘Ilmī 

Al-Qur’an merupakan kitab yang di dalamnya mencakup berbagai aspek, di antaranya yaitu akidah, syariat, akhlak, serta ilmu pengetahuan dan sains. Bahkan, persentase ayat kawniyah dalam Al-Qur’an lebih banyak.

Para mufasir yang ahli dalam ilmu sains akan menafsirkan Al-Qur’an dengan dikaitkan dengan ilmu sains. Hal itu yang kemudian dikenal dengan tafsir ‘ilmī.

Imam al-Ghazāli dalm kitab Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menjelaskan tentang urgensi ilmu sains dan juga penafsiran kawniyah. Namun, pemikiran tersebut baru terwujud setelah satu abad kemudian oleh Fakhr al-Razi dengan karyanya berjudul Mafātiḥ al-Ghaib. Kemudian ada Gharāib Al-Qur’an wa Raghāib al-Furqān karya al-Naysāburī dan juga tafsir al-Baiḍāwī.

Selanjutnya, satu  abad setelahnya muncul seorang tokoh bernama Ṭanṭāwī Jawharī yang memiliki karya berjudul al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’an. Upaya integrasi ilmu sains ke dalam penafsiran sebagaimana yang dilakukan oleh para tokoh tafsir ‘ilmi merupakan suatu bentuk pemahaman konteks Al-Qur’an yang berkembang dan meluas.

Tetapi di dalam tafsir ilmī ini terdapat beberapa kritik dan perdebatan. Perdebatan tersebut dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa tafsir ‘ilmi ini dianggap berlebihan dan keluar dari kaidah tafsir.  Tafsir ‘ilmi yang dapat diterima jika sesuai dengan kaidah tafsir dan tidak bertentangan dengan maksud dasar pada ayat yang ditafsirkan.

Tafsir Jawharī

Ṭanṭāwī Jawharī merupakan sorang mufasir yang lahir di Kairo, Mesir pada tahun 1940 Masehi. Ṭanṭāwī menempuh pendidikan di Al-Azhar. Selain itu Ṭanṭāwī juga gemar mempelajari Bahasa Inggris guna mengkaji keilmuan Barat yang modern.

Saat di Al-Azahar, Ṭanṭāwī bertemu dengan Muḥammad ‘Abduh, seorang tokoh modernis yang banyak mempengaruhi pemikiran Ṭanṭāwī. Ṭanṭāwī kemudian mempunyai inspirasi dengan melakukan pembaharuan Islam.

Hal yang dilakukan oleh Ṭanṭāwī adalah melakukan pendekatan tafsir ‘ilmī. Hal itu dilatarbelakangi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di Barat, sedangkan Islam masih terus berpedoman dengan wacana klasik.

Pada abad ke-19, Mesir dikuasai oleh Inggris. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan perubahan dalam berbagai bidang sosial, politik, dan intelektual.

Tafsir al-Jawāhir termasuk ke dalam tafsir yang menggunakan sumber bi al-r’ayi, yaitu dengan ijtihad pemikiran mufasir. Metode yang digunakan Ṭanṭāwī yaitu dengan menggunakan metode taḥlilī.

Melalui tafsir al-Jawāhir, Ṭanṭāwī berusaha meningkatkan rasa cinta terhadap Islam melalui ilmu pengetahuan. Di dalam tafsirnya, Ṭanṭāwī selalu memaparkan pemikiran ilmiah dalam penjelasannya.

Namun demikian, kitab tafsir al-Jawāhir ini termasuk dalam golongan tafsir yang diperdebatkan oleh beberapa ulama. Salah satu di antaranya, al-Dhahabi mengkritik beberapa penafsiran Ṭanṭāwī Jauharī dalam kitabnya yang berjudul al-Jawāhir fī Tafsīr al- al-Qur’an al-Karīm.

Contoh Penafsiran Ṭanṭāwī Jawharī dan al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’an yang Terindikasi al-Dakhīl

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الأرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

Dalam kitab al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, al- Dhahabi menyoroti penafsiran  Ṭanṭāwī Jauharī yang menafsirkan ayat tersebut dengan menggunakan teori ilmiah kedokteran dari Eropa.

Ṭanṭāwī menjelaskan bahwa model kehidupan orang Badui yang tinggal di pedesaan atau pegunumgan Eropa yang mengkonsumsi makanan yang tidak memiliki efek samping (manna wa salwa). Kemudian dijelaskan bahwa hal tersebut berbeda dengan makanan yang dikonsumsi oleh orang yang tinggal di perkotaan. Mereka yang di perkotaan sering mengkonsumsi makanan instan, daging, dan lainnya disertai dengan kondisi polusi udara yang membahayakan yang tidak lebih baik dari udara di pegunungan.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa gaya hidup di pedesaan jauh lebih baik jika dibandingkan di perkotaan.

Hal yang perlu dikritisi, pendapat tersebut berupa hipotesis yang mencoba mendapat pembenaran dari ayat Al-Qur’an. Ṭanṭāwī memaksakan dan mencocokkan teori tersebut dengan ayat Al-Qur’an. Sebab, pada kenyataannya, pola hidup di pedesaan lebih baik daripada di perkotaan tidak selalu benar.

Jika dilihat dari segi kesehatan, orang pedesaan jika pola hidupnya tidak sehat, maka itu tidak lebih baik dari penduduk di perkotaan. Pola hidup sehat dapat dilakukan oleh penduduk di perkotaan maupun penduduk di pedesaan.

Dari beberapa pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa integrasi ilmu sains dan tafsir tentu saja memiliki perbedaan.Teori sains selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an tidak pernah berubah. Hal tersebut dikhawatirkan dapat memeunculkan anggapan bahwa Al-Qur’an tidak sesuai serta anggapan bahwa ‘ilmi di sini sekadar menyesuaikan dan menyocokkan dengan penemuan yang ada.

Seputar Kitab

Judul         : al-Jawāhir fī Tafsīr al- al-Qur’an al-Karīm.
Pengarang : Ṭanṭāwī Jawharī
Cetakan     : Mesir: Pustaka Muhammad Amin Imran, 1350 H.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan