Al-Fatah dan Para Santri Lansia

1,423 kali dibaca

Ada wajah-wajah yang tak biasa di Pondok Pesantren Al-Fatah Banjarnegara selama bulan Ramadan ini. Ya, mereka adalah santri yang tak muda lagi. Ada puluhan kakek dan nenek yang nyantri di pesantren ini. Layaknya santri, selama 20 hari dalam bulan suci ini, orang-orang yang sudah sepuh ini memperbanyak ibadah dan mengaji agar memperoleh berkah dan rida Ilahi.

Di Pondok Pesantren Al-Fatah yang terletak di Parakancanggah, Banjarnegara, Jawa Tengah, ini para santri lanjut usia (lansia) datang dari berbagai daerah. Selain Banjarnegara, ada yang datang dari Batang, Purbalingga, Wonosobo, Temanggung, dan lainnya. Layaknya santri, mereka juga membawa bekal sendiri seperti pakaian, alat memasak, dan sebagainya.

Advertisements

Seperti santri pada umumnya, selama mondok mereka juga tidur bersama di lantai, beralaskan kasur seadanya. Dan sudah rutin, berlangsung selama bertahun-tahun, Pondok Pesantren Al-Fatah ini dijadikan pondok oleh para orang-orang lanjut usia. Selama masa pandemi ini, mereka juga harys mengikuti protokol kesehatan selama menjadi santri.

Selama di pondok, para santri lansia ini mengikuti pengajian yang diadakan pesantren tentang fikih. Selebihnya, mereka diajak bersama-sama memperbanyak ibadah, terutama zikir bersama atau suluk. Biasanya, kegiatan suluk diadakan tiga kali dalam setahun, yakni pada bulan Ramadan, Muharram, dan Rajab. Jika selama Ramadan suluk berlangsung 20 hari, untuk bulan Muharram dan Rajab berlansung selama 40 hari.

Di kalangan para santri lansia ini, Pondok Pesantren Al-Fatah memang dikenal pesantren suluk. Selain menyelenggarakan pendidikan layaknya pesantren salaf dengan pengkajian kitab kuning, sejak berdiri pada 1901 pesantren ini memang rutin menyelenggarakan suluk dari amaln tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah. Kini, Pesantren Al-Fatah diasuh oleh generasi keempat.

Pendiri Pondok Pesantren Al Fatah adalah KH Abdul Fatah. Sepulang dari belajar di Mekkah, sahabat dari KH Hasjim Asy’ari ini berniat mengambangkan dakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah melalui jalur pendidikan di masa penjajahan Belanda. Maka, didirikanlah Pondok Pesantren Al-Fatah. Saat itu namanya Balai Pendidikan Al-Fatah.

Pada masa awal pendiriannya, KH Abdul Fatah menitikberatkan pendidikannya pada kajian kitab kuning dengan sistem salaf. Selain itu, pesatrennya juga digunakan untuk mengamalkan dan mengembangkan ajaran tasawuf dari Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah. Di pesantren yang dirintisnya ini pula KH Abdul Fatah menanamkan jiwa nasionalisme kepada para santri untuk mencintai Tanah Air ketimbang bersekutu dengan penjajah.

KH Abdul Fatah wafat pada 1941. Saat itu, situasi serba sulit karena Indonesia sedang dalam cengkeraman penjajah. Apalagi, kedua putra KH Abdul Fatah, yaitu Hasan Fatah dan Ridlo Fatah, sedang menjadi tentara Barisan Hisbullah untuk berjuang melawan penjajah. Karena itu, sepeninggal KH Abdul Fatah, kegiatan di Pesantren Al Fatah mengalami kemunduran.

Setelah keadaan membaik pasca-kemerdekaan, Pesantren Al-Fatah kemudian mulai dihidupkan kembali oleh putra-putranya, yakni KH Hasan Fatah dan K Ridlo Fatah serta K A Dailimi —sekembalinya dari uzlah menghindari tekanan penjajah.

Saat itu, secara bertahap bangunan masjid maupun pondok pesantren yang mengalami kehancuran akibat perang diperbaiki kembali. Barulah pada 1975 balai pendidikan peninggalan KH Abdul Fatah ini menyandang nama resmi Pondok Pesantren Al-Fatah yang berada di bawah Yayasan Al-Fatah.

Seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman, pada dekade 1980-an, pesantren salaf dan tarekat ini mulai mengadopsi sistem pendidikan modern. Tujuannya untuk membekali santri dengan ilmu pengetahuan umum. Maka, didirinkanlah Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah. Bahkan, pada 1992 didirikan Sekolah Teknik Menengah (STM) Al-Fatah. Kini, pesantren yang berdiri di atas lahan seluas 3 hektare ini jumlah santrinya sudah mencapai ribuan.

Meskipun begitu, Pesantren Al-Fatah ini tetap mempertahankan ciri khas sebagai pesantren yang mengutamakan pengajaran kitab-kitab kuning. Juga tetap mengembangkan ajaran dan amalan Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah yang diwariskan KH Ahmad Fatah.

Tradisi tarekat inilah yang mengundang para santri lansia untuk datang dan nyantri di Pondok Pesantren Al-Fatah selama bulan Ramadan ini. Bahkan, para santri sepuh ini menjalani puasa yang tak biasa. Mereka dilarang mengonsumsi makanan yang bernyawa, seperti daging, telur, dan semacamnya. Lalu, sepanjang waktu mereka diajak bertaubat, juga mengaji, beribadah, dan bersuluk agar semakin dekat dan akrab (taqarrub) dengan Sang Ilahi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan