Aku dan Pesantrenku (3): Ibarat Laboratorium Kehidupan

1,306 kali dibaca

Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Sumenep, Madura, Jawa Timur adalah tempat saya menimba ilmu selama 8 tahun, dari tahun 2000 hingga 2008. Dari pondok inilah saya tidak hanya belajar perkara halal-haram, makruh-mubah. Di pondok itu saya juga belajar hidup sederhana dan disiplin waktu. Kehidupan di pesantren, bagi saya, adalah bagaikan laboratorium kehidupan akhlaqi untuk meraih kesederhanaan hidup.

Kesedernaan dalam kehidupan sebenarnya sudah dikenal sejak dulu. Ulama sufi mendefinikan “kesederhanaan” dengan istilah zuhud. Prinsip zuhud ini didasarkan pasa sebuah hadis Nabi “ازهد فى الدنيا يحبك الله ازهد فيما ايد الناس ويحبك الناس” (Zuhudlah dalam perkara dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berzuhudlah dari apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu).

Advertisements

Maka dengannya, kaum sufi  meniti jalan Tuhan untuk meraih kesederhanaan melalui zuhud. Karena itu tak ayal jika pesantren yang kita kenal sampai detik ini selalu mengajarkan tasawuf sebagai kajian rutinan, sebagaimana di Pondok Pesantren Annuqayah yang mengkaji Kitab Ihya Ulumuddin setiap tiga kali dalam satu pekan, Kitab Minhajul Abidin dua kali dalam satu pekan, bahkan kitab-kitab kecil seperti “al-Minahus Saniyah” juga menjadi kajian rutinan. Itu semua sebagai ikhtiyar pesantren dalam mendidik santri untuk belajar hidup sederhana.

Belajar kesederhanaan hidup di pesantren misalnya bisa diperoleh dari melihat gaya hidup kiai, mulai dari cara berpakaian, cara mengajar, hingga dalam mengarungi seluk beluk kehidupan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Karena itu, kiai dalam lingkungan pesantren termasuk sentral pembelajaran dari berbagai sisi, baik dari keorganisasian maupun akhlak, misalnya. Gerak-gerik kiai menjadi i’tibar yang sangat berharga bagi santrinya.

Maka dengan demikian, saat mondok pada tahun 2000-an saya teringat di dengan kehidupan Kiai Ahmad Basyir yang begitu sederhana dalam berpakaian. Seingat saya, selama berada di Pondok Pesantren Annuqayah, bisa dikatakan tidak pernah melihat beliau dengan pakaian yang beraneka warna. Itu menandakan betapa sederhananya kepribadian kiai, hingga cara berpakaianya pun tidak tampil mewah.

Begitu juga dari sisi kehidupan kesehariannya. Beliau sangat aktif dalam meninjau santrinya, bahkan hampir setiap malamnya digunakan untuk mengontrol santri, mulai dari mengisi air di kamar mandi, menyiram bunga, hingga memeriksa halaman yang masih kotor.

Maka dari situlah nampak bahwa beliau bukan hanya mengajari kesederhanaan, namun juga mengajari kedisiplinan bagi santri. Kedisiplinan yang beliau ajarkan melalui metode  keistikamahan dalam salat berjamaah dalam setiap waktunya yang tidak pernah ditinggalkan. Seingat saya sejak  mondok di Annuqayah, beliau tidak pernah meninggalkan salat berjamaah bersama santri.

Sebenarnya dalam hal keistikamahan Kiai Ahmad Basyir dalam salat berjamaah itu terdapat pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh santri Latee.  Dengan demikian, saya pernah mendapatkan wasiat dari salah satu guru, yaitu KH Ahmad Dumairi, Pengasuh Pondok Pesantren Tanwirul Hija. Beliau mengatakan, “Kunci untuk mendapatkan berkah di Pondok Latee hanya satu, yaitu harus istikamah dalam salat berjamaah selama 40 hari berturut-turut.”

Nasihat Kiai Dumairi itulah yang menjadi pemicu saya untuk meraih keistakamahan dalam salat berjamaah selama 40 hari berturut-turut. Ternyata amaliah ini begitu sulit untuk dilaksanakan. Seingat saya, selama delapan tahun mondok, saya tidak pernah menyelesaikan 40 hari itu secara berturut-turut, karena berbagai halangan dan rintangan di antaranya: karena sakit, tertidur, atau halangan lainnya.

Oleh karena itu, beribu pengalaman hidup di pesantaren, mulai dari menanak bersama, tidur bersama, mengaji bersama, menjadi pengurus pusat, pergi sekolah bersama hingga lari pagi bersama, adalah menjadi pengalaman yang sangat berharga untuk membentuk kepribadian santri yang disiplin waktu, tempat, dan hati. Sehingga, akhirnya akan menjadi santri yang disiplin.

Maka ketercapaian tersebut tidak terlepas dari suri teladan kiai yang menjadi sentral kehidupan di pondok pesantren, utamanya di PP Annuqayah tempat saya mondok. Semoga Annuqayah tetap dijaga oleh Allah sampai akhir hayat. Semoga bermanfaat.

Multi-Page

2 Replies to “Aku dan Pesantrenku (3): Ibarat Laboratorium Kehidupan”

Tinggalkan Balasan