Ahmad Tohari: Santri yang Menjadi Sastrawan

4,056 kali dibaca

Ahmad Tohari dikenal sebagai pengarang trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1985), dan Jantera Bianglala (1986). Dilahirkan di Banyumas pada 13 Juni 1948, Kang Tohari, panggilan karibnya, merupakan anak keempat dari pasangan Mardiyat dan Saliyem. Kini, Ahmad Tohari menetap di Desa Tingarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. Bersama adiknya, KH Ahmad  Sobri, Kang Tohari mengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama (NU) Al Falah.

Kang Tohari memang hidup dalam keluarga santri. Ayahnya, Madiryat, pernah nyantri dan bekerja sebagai pegawai Kantor Urusan Agama. Ia merupakan tokoh NU terkemuka di desanya. Mardiyat sempat menjabat sebagai ketua NU setingkat cabang kala itu. Ibunya, Saliyem, merupakan wanita mandiri, ikut membantu suami melalui bertani dan berdagang kain.

Advertisements

Diryat dan Saliyem berhasil mengantar kedua belas anaknya ke kehidupan mapan. Besar dalam lingkungan keluarga santri dengan lingkungan keluarga yang hangat. Keluarganya sudah menanamkan nilai kegamaan, kasih sayang, kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan, dan keharmonisan dalam kebiasaan sehari-hari. Nilai itu juga yang mendekatkannya ke masyarakat. Kang Tohari menikah pada 1970 dengan Siti Syamsiah yang bekerja sebagai guru SD. Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai lima orang anak.

Kang Tohari mengantingi ijazah SMAN II Purwokerto, kemudian kuliah di Fakultas Ekonomi Unversitas Jenderal Sudirman (UNSUD), Purwokerto tahun 1974-1975. Selanjutnya, ia pindah ke Fakultas Sosial Politik (1975-1976) juga hanya dijalaninya selama satu tahun, lalu pindah lagi ke Fakultas Kedokteran YARSI, Jakarta, tahun 1967-1970, tetapi tidak tamat.  Selain itu, pernah juga menjadi santri di Pesantren Kempek (Cirebon), Lirboyo (Kediri), dan Krapyak (Yogyakarta).

Kang Tohari ialah salah satu tokoh Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lesbumi PBNU). Ia juga seorang santri berjiwa nasionalis sejak dulu. Dunia jurnalistik pernah dijajaki sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia didengungkan oleh Presiden Soekarno. Hingga kini, Kang Tohari terus berperan dalam pembangungan.

Kedekatannya dengan lingkungan kiai, NU, dan santri membuatnya memiliki banyak koleksi cerita kiai mulai kesabaran, politik, ilmu, poligami, NU, rokok, pesantren, hingga humor. Kang Tohari pernah memiliki cerita unik dengan Kiai Fuad Hasyim Butet. Pada 1960-an, Kiai Fuad Hasyim Butet akan beceramah di kampungya. Yang masih berkesan dalam hatinya adalah kehebatan Kiai Fuad. Masih muda, pandai, ganteng, ceramahnya bagus dan berani. Pengajian inilah yang membuatnya semakin dekat dengan NU.

Salah satu kisah yang berkesan itu, yaitu saat pesantren yang diasuh adiknya hendak dapat bantuan dari keluarga Cendana. Saat itu keluarganya tidak satu suara. Bantuan menjadi persoalan di keluarganya. Sebagian anggota keluarganya ada yang mau menerima dan sebagian lagi menolak. Dalam hal tersebut, beliau termasuk yang berpendapat menolak. Karena tidak menemukan titik temu, keluarganya memutuskan untuk meminta pertimbangan KH Abdurrahman Wahid.

Apa jawaban KH Abdurrahman atau Gus Dur ini? “Terima sajalah. Nanti kalau ada urusan, saya yang menghadapi,” ujar Kang Tohari menirukan Gus Dur. Di hadapan Gus Dur, kata Tohari, soal yang yang diperdebatkan berhari-hari di keluarga bisa selesai dalam lima menit.

“Pertemuan di Ciganjur dilanjutkan dengan cerita-cerita, makan-makan, dan tertawa-tawa. Saya yang tidak setuju duit Cendana, harus legawa menerima duit Cendana untuk pesantren,” cerita Kang Tohari. Ia punya banyak cerita tentang kiai-kiai yang pernah mampir makan dan tidur di rumahnya. Jika sudah bicara kiai, tiba-tiba dia jadi asyik diajak ngobrol. Emosinya −baik gembira, sedih, atau marah− tiba-tiba muncul.

Santri Menjadi Sastrawan

Karier sastranya diawali dengan keikutsertaan dalam sejumlah sayembara menulis. Namanya muncul sebagai pengarang pada pertengahan 1970-an ketika cerpennya yang berjudul Jasa-Jasa Buat Sanwirya masuk sebagai salah satu dari dua belas cerpen terpilih untuk diterbitkan bersama tiga cerpen pemenang lain hasil Sayembara Kincir Emas 1975.

Salah satu novelnya yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak juga memperoleh hadiah Sayembara penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 1979. Namanya kian menjulang setelah ceritanya Di Kaki Bukit Cibalak dan Ronggeng Dukuh Paruk dimuat bersambung dalam harian Kompas dan kemudian dibukukan. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala yang boleh dikatakan merupakan adi karyanya, memperoleh perhatian serius para pengamat sastra dan menempatkannya sebagai salah seorang novelis penting di Indonesia.

Novel ini bercerita bagaimana huru-hara berlangsung pada peralihan politik tahun 1965 yang berdampak pada sebuah pedukuhan kecil. Srinthil, penari ronggeng yang jelita, dengan segala kultur dan pandangan dunia yang dipeluknya, yang menjadi tokoh utama novel itu, adalah personifikasi dari rakyat kecil yang menjadi korban utama dari perubahan berdarah tersebut. Novel ini merupakan salah satu novel yang berhasil mengangkat latar peralihan politik 1965 dengan cara yang subtil tetapi menohok.

Cerpennya Pengemis dan Shalawat Badar yang pernah dimuat dalam bulanan Warta NU pada Februari 1989, memperlihatkan ilustrasi menarik bagaimana orang kecil dan pandangan dunianya itu dihadirkan. Cerpen ini berkisah tentang seorang pengemis yang mendendangkan shalawat badar di dalam bus yang penuh jejalan penumpang. Tak ada seorang pun yang memperhatikannya dan sebagian besar bahkan mengabaikan dan mencibirnya. Ketika kemudian bus itu mengalami kecelakaan dan penumpang banyak yang terluka bahkan tewas, si pengemis itu dengan menakjubkan melenggang keluar dari bus tanpa sedikit pun terluka sembari melantunkan lagi shalawat badar. Alur cerita tampak sederhana, tetapi muatannya jelas sangat dalam. Antara kemiskinan, formalisme keagamaan, kepekaan sosial, dan lain-lain berjalin berkelindan dalam sepersekian menit kehidupan di dalam bus yang kencang melaju itu.

Kang Tohari termasuk penulis yang cukup produktif. Boleh dikata sejak awal kepengarangannya, rata-rata setahun sekali mengeluarkan karya baik berupa novel, antologi cerpen, maupun kumpulan esai. Beberapa dari karyanya terus mengalami penerbitan ulang.

Berikut daftar karyanya dan tahun pertama kali terbitnya: Kubah (novel, 1980); Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982); Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985); Jantera Bianglala (novel, 1986); Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986); Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989); Bekisar Merah (novel, 1993); Mas Mantri Gugat (Kumpulan Esai, 1994); Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995); Mas Mantri Menjenguk Tuhan (Kumpulan Esai, 1997); Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000); Belantik (novel, 2001); Orang Orang Proyek (novel, 2002); Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004); dan Mata yang Enak Dipandang (kumpulan cerpen, 2013).

Berbagai Penghargaan

Kang Tohari kian bersemangat menulis ketika karyanya yang berjudul Jasa-Jasa buat Sanwirya menjadi pemenang Hadiah Harapan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (pada 1977). Salah satu novelnya yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak  juga memperoleh hadiah Sayembara penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1979. Novel Kubah mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai bacaan terbaik bidang fiksi pada tahun 1980.

Sementara itu, Novel Jantera Bianglala dinobatkan sebagai fiksi terbaik (pada 1986). Dia mendapat hadiah berupa uang Rp 1 juta (angka yang sangat besar saat itu). Hadiah tersebut diserahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan. Lalu, Novel Bekisar Merah mengantarkan Kang Tohari untuk meraih Hadiah Sastra ASEAN pada tahun 1995. Dalam kegiatannya sebagai penulis, Kang Tohari mengikuti berbagai kegiatan penulisan internasional antara lain International Writing Program di Lowa, Amerika Serikat, pada 1990. Novel Ronggeng Dukuh Paruk versi Banyumasan (2006) meraih Hadiah Sastera Rancagé tahun 2007.

Sembari menjadi sastrawan dan pengasuh pesantren, Kang Tohari menjadi aktivis sosial yang mendorong peningkatan ekonomi dan kehidupan harmoni masyarakat, serta memberikan banyak lokakarya menulis kepada kalangan anak muda dan prasaran seminar ke berbagai kota di Indonesia. Besama Lesbumi, Kang Tohari sering mengisi acara-acara diskusi di kampus-kampus.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan