Agama yang Disalahpahami dan Bagaimana Solusinya

1,686 kali dibaca

Di zaman modern saat ini, umat beragama dihadapkan pada problem kemanusiaan universal yang semakin kompleks. Anarkisme, ekstremisme, kegaduhan berbalut agama adalah problematika konkret yang terjadi di sejumlah negara –khususnya negara agamais.

Polemik tersebut memunculkan pertanyaan besar: Apa fungsi agama bagi bangsa? Apa yang salah: tafsir rigid atas doktrin agama, militansi yang berlebih, media yang memprovokasi atau boleh jadi, negara sengaja melakukan pembiaran? Bukankah semua agama mengajarkan hidup rukun penuh kasih sayang?

Advertisements

Uraian di atas menunjukkan adanya hal yang kontradiktif. Realitas negara dengan mayoritas masyarakat beragama justru melahirkan kejahatan ekstrem dan sikap anarkisme. Padahal setiap agama menekankan aspek humanisme, perdamaian, welas asih, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan nilai luhur lainnya. Premisnya, negara yang memiliki tingkat religiusitas tinggi mempunyai tendensi ideal menciptakan kehidupan yang tentram, damai, dan adil. Sebab, hal tersebut selaras dengan ajaran agama yang memerintahkan itu semua.

Ini yang pada gilirannya memantik dialektika baru. Negara Skandinavia dan negara-negara maju lain yang berkecenderungan sekuler hingga atheis mampu mengembangkan bangsanya menuju level peradaban maju serta mampu memangkas tingkat kriminalitas, ekstremitas menjadi rendah. Negara yang mayoritasnya pemeluk agama tulen, bukannya membuatnya maju dan tentram, tapi malah melahirkan kubangan api dalam sekam.

Hakikat Agama

Sebelum melangkah lebih jauh, penting kiranya kita mendedah istilah agama terlebih dahulu sebagai pijakan pemahaman awal. Agama memiliki arti sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma yang dirasakan antara jiwa manusia dengan suatu kekuatan Yang Mahadahsyat guna mendorong jiwa manusia untuk mengabdi (menyembah) kepada-Nya.

Di dalamnya, terdapat ritus-ritus dan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhannya (Amran Suadi, 2021). Jumhur cendekiawan lintas agama berpendapat, setiap agama mengusung misi esoteris yang sama, yakni menjunjung tinggi kemanusiaan dan menciptakan perdamaian.

Agama akan mengarahkan serta menata kehidupan umat menjadi lebih teratur (tidak kacau) dan saling keterpaduan. Permasalahannya, dalam perkembangan agama tidak sesimpel dan semudah apa yang dibayangkan. Ia selalu bermutasi secara bebas dan meluas. Predisposisi agama yang tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri menjadikan ia ketika membumi sangat plastis (subjektif), di mana selalu direpresentasikan oleh orang yang membawanya. Dalam Islam, misalnya, kita mengenal ada firkah-firkah seperti Mu’tazilah, Ahlussunah wal Jama’ah, Wahabi, Salafi, dan lain sebagainya.

Kesemuanya itu merupakan hasil tafsiran manusia. Tidak ada yang paling benar dan tidak pula ada yang salah. Ketika bingung mau memilih aliran yang mana, cukup ikuti ulama/kiai setempat. Ulama/kiai setempat lebih tahu aliran mana yang cocok untuk diterapkan lingkungan tempat tinggalnya.

Tapi apapun itu, kita sebagai hamba diperintahkan untuk meningkatkan kualitas pada aspek kesalehan. Tipologi kesalehan yang dituntut mencakup kesalehan ritual, kesalehan sosial, dan kesalehan publik. Kesalehan tersebut bermuara pada aspek hakikat kemanusiaan di segala zaman.

Setiap agama selalu autentik dalam segala kondisi zamannya (shalih likulli zaman wa makan). Agama menghendaki untuk selaras dengan perkembangan zaman. Peran agama di zaman modern hakikatnya dapat menjaga stabilitas serta mengontrol personal supaya tidak kebablasan melampaui batas. Sebab di era digital, kita sering mendapati orang dengan mudahnya berujar hate speech, hoax, umpatan, dan agitasi. Dengan sikap fanatismenya, menganggap dirinya paling benar dan menyalahkan orang yang tidak sepaham dengannya. Seringkali juga mewajibkan perkara yang sebenarnya sunnah.

Mereka yang bersikap ghuluw (melampaui batas) adalah penganut yang gandrung akan formalisme, tekstualis, menjebak agama dalam simbol dan hitungan matematika–untung-rugi, pahala-dosa, hitam-putih.

Pada titik ini, umat yang berada di negara agamais acapkali memperlihatkan sikap ghuluw seperti itu. Pergolakan yang terjadi di dalam negara pun masih berkubang pada persoalan tafsir-tafsir ideologis, fikih halam-haram. Ini yang kemudian menjadikan negara agamais sulit berkembang, sebab tidak mau membuka diri pada realitas perkembangan zaman modern.

Padahal jika disadari, cara berpikir konservatif dan bersikap ghuluw (melampaui batas) itulah yang pada akhirnya membuat negaranya mengalami kemunduran, membuka keran konflik horizontal dan membuat umat tidak lagi tertarik pada ajaran agama karena penuh dengan kebencian, kajahatan, dan varian konflik.

Dari sini dapat menjadi autokritik bagi kita semua. Beragama harus dikembalikan pada bejana yang menampilkan citra positif dan kedamaian. Beragama aspek esoteris dapat menjadi basis dibanding secara eksoteris. Sebab, aspek esoteris menjalankan ajaran agama secara substansif, di dalamnya pasti termuat cinta kasih, kedamaian dan humanisme.

Pemahaman mendasar tentang hakikat agama perlu dijadikan tolok ukur dalam berperilaku personal di tengah masyarakat agar dalam beragama menjadi kukuh. Metodologi seperti ini menjadi mutlak guna meminimalisasi persepsi terhadap agama yang disebut sebagai suatu ironi lajur penghambat kemajuan peradaban hingga identik dengan penyakralan kekerasan.

R20: Mencari Solusi

Posisi agama saat ini dinilai hanya sebatas eksistensi minim substansi. Banyak tudingan yang menyebut agama sekarang menjadi sumber konflik berkepanjangan. Di samping itu, perannya dalam mengawal realitas perkembangan zaman dinilai telah alpa.

Berbagai tindakan konsolidasi dan diskusi telah diupayakan tapi acapkali gagal. Hingga kemudian, menemukan momentumnya dengan adanya forum Religion of twenty (R20) sebagai rangkaian dari penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20. Ide ini suatu hal yang prestisius. Sebab, skala partisipannya melibatkan seluruh pemuka agama dari penjuru dunia guna merefleksikan secara jujur terhadap problem antaragama yang dialami.

Forum ini memberikan ruang diskusi untuk membahas isu-isu keagamaan internasional hingga menuju titik temu. Tidak hanya itu, wacana yang dilakukan juga membenahi reposisi agama dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat global. Pergeseranpun dilakukan dari persekutuan pro-eksistensi menuju ko-eksistensi.

Jika selama ini agama hanya diterapkan sebagai salah satu instrumen pembangunan, forum R20 secara spesifik akan membicarakan berbagai permasalahana agama dalam pergaulan dunia, termasuk upaya rekonsiliasi. Dimulai dari pembenahan politik identitas, hingga merumuskan kebijakan mediasi dalam rangka menghentikan segala peperangan yang telah menghancurkan makna kemanusiaan.

Segala tindakan ikhtiar ini tentu dalam rangka mengembalikan marwah agama untuk sigap merespona modernisasi dengan tetap menjaga esensi. Agama dicita-citakan untuk selalu mampu berdialog, merangkul dengan kemajuan peradaban, dan meleburkan nilai-nilai luhurnya guna menjadi motor perubahan global. Peradaban global ini diorientasikan pada gerakan nilai moral dan spiritual manusia yang dapat membangun kemanusiaan.

Inilah arti agama sesungguhnya pada spektrum yang mencerahkan. Bukan sumber masalah melainkan berfungsi sebagai maslahah atas berbagai problem global. Wallahu’alam.

Multi-Page

4 Replies to “Agama yang Disalahpahami dan Bagaimana Solusinya”

Tinggalkan Balasan