agama cinta

Agama Jibril yang Di-Izrail-kan

962 kali dibaca

Duduk perkara konflik agama adalah tidak bisanya menerima perbedaan. Memaksakan kehendak atas persepsi kebenaran diri. Tujuannya adalah untuk mengalahkan satu dengan yang lain. Sumber keyakinan akan kebenaran diri melalui berbagai jalan seperti pengalaman, pengaruh lingkungan, informasi tokoh idola (taklid), dan fanatisme kelompok.

Agama yang seharusnya dijadikan pijakan untuk kedamaian di bawah harmoni persatuan dan persaudaraan, malah menjadi alasan wajib untuk berkonflik. Teror dan ajakan berjihad adalah salah satu bentuk ketidakmampuan memaksakan kehendak kebenaran kepada yang lain. Pada titik keputusasaan seseorang nekat berperilaku anarkisme hingga melakukan bunuh diri.

Advertisements

Keterbatasan menerima informasi juga menjadi faktor konflik agama di masyarakat. Menolak pendapat (kebenaran) dari yang lain. Berbeda berarti salah. Hingga puncak kegilaan beragama adalah menjadikan simbol dan ornamen agama sebagai penanda kualitas iman seseorang. Label ulama bertebaran dan santri daring begitu masif tersebar di media sosial. Agama menjadi tren berpakaian dan berperilaku dalam berbagai situasi dan kondisi.

Kegelisahan terhadap perang saudara dan kerinduan akan kedamaian yang dijanjikan agama hanya menjadi impian dalam hati yang perlahan terkubur melihat realita konflik agama saat ini. Setiap kelompok memperkuat sumber daya untuk melawan kelompok lain. Agama dijadikan riasan berpolitik, berbisnis, dan mendapatkan popularitas.

Segala cara dilakukan untuk kehendak memenangkan keyakinan atas kebenaran relatif seseorang. Memanipulasi fakta, menggerakan massa, hingga menggunakan ayat untuk kepentingan pribadi. Beragama masih miskin informasi namun terlalu semangat berekspektasi. Berimajinasi tentang kejayaan masa lalu dengan menolak perubahan dan melawan perbedaan. Agama dituntut sama dan berbeda harus dilawan.

Isu agama tetap akan ada selama manusia modern masih sempit menerima perbedaan. Konflik adalah keniscayaan. Agama akan selalu dijadikan kendaraan berkampanye dan berdagang di ruang publik. Label agama lebih mudah mendulang suara politik dan juga efektif mendatangkan konsumen saat digunakan untuk jualan. Keyakinan tidak ternilai dengan harta, bahkan nyawa. Janji agama dianggap lebih valid daripada janji politik saat kampanye.

“Agama Jibril”

Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia kerap dijadikan senjata meraih kekuasaan. Menciptakan konflik dengan narasi politik identitas. Baginya, dengan sistem agama, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan akan tercapai. Tidak peduli siapa tokohnya, asalkan membawa agama dalam cita-cita kekuasaannya akan mudah mendatangkan suara dari pemilih fanatik agama.

Ketika sistem dan tatanan sosial-politik dianggap tidak sesuai dengan kaidah ajaran agama, maka tindakan anarkis sering dilakukan sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum. Memaksa aturan syariah diberlakukan terhadap siapapun, termasuk yang berbeda agama. Pemaksaan kehendak yang berujung konflik antaragama akan meluas jika kedua kelompok tidak ada yang mengalah.

Aksi-aksi anarkis menggunakan label Islam membuat citra Islam sebagai agama yang damai terdegradasi. Islam dikesankan agama yang suka kekerasan. Ketika banyak ulama mengingatkan keburukan dengan kebaikan, kelompok lain malah melakukan tindakan yang jauh dari esensi agama itu sendiri. Anehnya, perilaku kekerasan atas nama agama masih dianggap sebagai kebenaran. Seolah Tuhan dan nabi-nabi memperbolehkan dan bahkan mengajarkan kekerasan.

Padahal dalam Al-Quran, ayat pertama dari surat Alfatihah, jelas menerangkan hakikat kasih sayang dalam beragama. Tuhan mencitrakan diri sebagai yang maha kasih dan sayang, namun dipahami sebagian orang dengan ajakan membenci dan perang. Diksi kata tengah dalam Al-Quran juga menjelaskan serupa walyatalattaf, yang artinya hendaklah bersikap lembut. Jika benar memahami hakikat Al-Quran, tentu tidak ada lagi kekerasan atas nama agama.

Ajaran agama Islam jditurunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui Malaikat Jibril. Tuhan memilih Jibril dan bukan Izrail, sebab agama memang seharusnya diajarkan dengan kasih sayang, bukan kekerasan dan peperangan. Pelaku maksiat dan musyrik masih mungkin diampuni oleh Tuhan sebelum meninggal, namun beberapa orang malah sibuk menjadi Izrail (mencabut nyawa) dengan ajakan peperangan dengan dalih jihad.

Islam seharusnya tampil menarik agar diminati umat lain (menjadi mualaf). Namun ada yang mencitrakan buruk dengan pemahaman paling benar sendiri. Melawan hukum dan pemerintah sebab doktrin agama di atas segalanya. Tuduhan liberal, PKI, Yahudi, dan lainnya kerap dijadikan diksi provokatif untuk mencari massa menciptakan konflik yang lebih nyata.

Islam harus dikembalikan kepada tempatnya. Agama Jibril yang mengedepankan diskusi menghargai perbedaan tanpa kekerasan. Peperangan zaman Nabi pun terjadi sebab keterpaksaan. Sejatinya kekerasan dan peperangan dihindari dalam Islam. Namun sekelompok orang memutarbalikkan narasi agama untuk semangat mengajak berperang. Bahkan membunuh orang yang dituduh kafir pun diperbolehkan. Beragama pun menjadi menakutkan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan