Jika disuruh pilih antara adab atau ilmu, kita akan menjatuhkan pilihan yang mana? Benarkah adab lebih tinggi dari ilmu? Atau sebaliknya?
Kita sering mendengar banyak orang memilih adab jika menghadapi pertanyaan seperti itu. Biasanya hal tersebut didasarkan pada ungkapan yang populer ini: Al-Adab fauqal ilmi.

Bahkan, di pondok pesantren saya, pepatah itu terpampang jelas dalam poster besar. Tapi benarkah adab lebih tinggi dari ilmu? Ada argumen yang bisa mematahkan pepatah tersebut. Berikut penjelasannya.
Tingginya Ilmu
Hal pertama, dari sisi apa ilmu dianggap lebih rendah dari ada ? Kalau pernah membaca kitab Ihya’ Ulumuddin, Fawaid al-Mukhtaroh, dan se-genre itu, kita akan menemukan bab ilmu paling awal.
Di kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menyertakan 14 ayat dan banyak sekali hadis yang menjunjung ilmu tinggi-tinggi. Yang paling masyhur, misalnya, العلماء ورثة الأنبياء, para ahli ilmu adalah pewaris para Nabi. من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين ويلهمه رشده.
Artinya: Barang siapa dihendaki baik oleh Allah maka Allah akan menjadikannya ahli dalam (ilmu) agama dan mengilhamkannya petunjuk-Nya.
Masih banyak lagi hadis lain yang mengutamakan ilmu. Secara naql, saya belum menemukan nash yang merendahkan ilmu.
Coba kita perhatikan dalam kehidupan masyarakat, kewajiban pertama yang dipikul orangtua adalah mengajari anak makrifatullah (mengenal Allah). Sebelum mengajari anak teori konspirasi, orangtua akan mengajarinya dulu 20 sifat Allah dan 4 sifat Rasul bersamaan dengan kewajiban mengajari salat. Dari sini jelas, mengenal Allah itu ilmu, bukan adab.
Perhatikan pula di saat Nabi Muhammad menerima wahyu pertama kali. Kenapa yang beliau terima adalah kalimat اقرأْ (bacalah!). Padahal Nabi Muhammad tak bisa membaca dan beliau sudah mengatakannya pada Jibril ما انا بقارئ (aku bukanlah pembaca).
Namun Jibril mendekap beliau lalu mengatakan kalimat itu lagi, اقرأْ. Nabi menjawabnya sama ما انا بقارئ. Kejadian dramatis ini berulang sampai tiga kali. Hingga akhirnya Jibril meneruskan ayat اقرأْ بسم ربك الذي خلق…الخ. Berarti ada empat kali اقرأ dan tiga kali ما انا بقارئ.
Kenapa perintahnya harus membaca dulu? Seolah-olah Allah mengajarkan kalau hal penting yang pertama itu belajar, membaca, memperhatikan, dan memahami.
Awal-awal manusia hendak diciptakan, Allah menceritakan rencana bahwa Dia akan menciptakan khalifah di muka bumi. Namun malaikat mempertanyakan rencana itu, أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ. Allah pun menyadarkan para malaikat, ‘Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian tak tahu’.
Singkat cerita, Adam tercipta dan Allah mengajarkannya asma’ kullaha (semua istilah). Di hadapan para malaikat, Adam disuruh menyebutkan istilah-istilah. Adam lancar. Tidak seperti malaikat yang sebelumnya juga disuruh. Di titik ini Adam mendapat penghormatan, para malaikat sujud kepadanya. Penghormatan tersebut bukan lain karena Adam punya ilmu.
Adab Memang Penting, Tapi…
Hal kedua dari sisi apa adab dipandang lebih tinggi dari ilmu? Sayyidina Ali pernah bilang, “Aku budaknya orang yang mengajariku walau hanya satu huruf…”
Sebenarnya ungkapan beliau ini hendak melukiskan sikap takzim mendalam kepada guru. Bukan berarti menyiratkan bahwa adab mengalahkan ilmu dari aspek keutamaannya.
Imam Malik bin Anas pernah memberi wejangan kepada seorang pemuda, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم (pelajarilah adab sebelum kau belajar ilmu). Wejangan ini bukan memosisikan adab lebih tinggi. Justru, beliau mengedepankan ilmu dengan menyuruh belajar. Nabi Muhammad pun tidak pernah merendahkan keilmuan. Kalau pun ada, itu peringatan bagi orang berilmu untuk mengamalkan ilmunya dan tidak sombong.
Allah mengutus Nabi Muhammad untuk menyempurnakan akhlak terpuji. Karena بعثت لاتمم مكارم الاخلاق berarti akhlak itu paling penting dari program kenabian.
Dengan demikian, apakah itu berarti ilmu masih kalah penting? Apakah betul pernyataan ‘adab di atas ilmu’? Tidak. Itu salah. Orang-orang banyak keliru tentang adab dan akhlak. Dikiranya adab dan akhlak itu sama, padahal keduanya berbeda.
Akhlak itu segala hal yang berkaitan dengan hati. Akhlak mempersoalkan tentang apa yang orang pikirkan, rasakan, dan bagaimana menanggapinya. Jika seseorang sedang sombong, iri, dengki, marah, benci atau bahkan cinta, maka kajian yang membahasnya adalah akhlak.
Sementara, adab membahas bagaimana orang bertindak, berkata, dan bersikap. Adab tidak berurusan dengan apa yang orang pikirkan dan rasakan. Segala hal yang diperbincangkan dalam forum adab adalah tentang gerak-gerik fisik. Jika seorang murid tidak sopan saat berbicara dengan guru, karena urakan misal, itu baru tugasnya adab untuk menegurnya.
Ada kalanya seseorang beradab, tapi di waktu bersamaan dia tidak berakhlak. Gerak-gerik hati memang tak selalu selaras dengan tindakan. Adab itu bisa di-setting. Tinggal sesuaikan dengan siapa berinteraksi, lalu kita akan mengatur semua perkataan dan tindakan. Di kondisi itu, kita tidak lebih hanya sedang berakting. Pura-pura sopan, pura-pura senang, pura-pura yang lain lagi. Jelaslah bahwa yang dipentingkan adalah akhlak, bukan adab.
Di lain sisi, adab sebenarnya refleksi budaya suatu masyarakat. Konsep adab sama dengan moral. Ia memiliki relativitas dalam skala komunal dan bersifat dinamis. Dalam arti bahwa adab itu bervariasi antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Namun yang menjadi poin, adab merupakan produksi budaya. Budaya itu produksi manusia. Tolak ukur yang jadi patokan adab adalah konsep-konsep manusia. Adab mempersoalkan baik buruknya tindakan. Sementara tiap individu dan tiap masyarakat memiliki tolok ukur baik-buruknya masing-masing.
Tidak ada patokan resmi mengenai adab universal. Di suatu daerah, seorang santri yang keluar tanpa atribut kesantrian akan dicap non-adab. Kalau seorang santri jalan-jalan tanpa memakai songkok, maka akan hilang adab di mata mereka. Padahal tutup kepala itu salah satu serpihan budaya. Tidak menggunakannya bukan berarti menentang agama.
Di pesantren saya, ketika seorang santri membaca Al-Qur’an, minimal harus bersih, pakai songkok, bersila, lebih bagus lagi hadap kiblat dan pakai parfum. Mengabaikan itu semua dianggap meninggalkan adab. Padahal, syarat baca Al-Qur’an hanya jangan hadas besar. Selain itu yang penting diperhatikan adalah tajwid dan fashahah. Kadang-kadang sebagian ustaz lebih mementingkan kostum daripada performa bacaan. Sangat disayangkan.
Salah satu yang juga sering disorot mengenai adab adalah perbandingannya dengan kehormatan. Bahwa orang beradab biasanya identik dengan status sosial rendah. Otomatis membuat lawan interaksinya seolah berstatus sosial tinggi. Beberapa kiai, ustaz, umana’ ma’had hingga bahkan satpam, mereka gila adab—ingin diperlakukan terhormat oleh santri. Namanya santri ya mau-mau saja, toh memang kewajiban mereka menjunjung adab.
Kabar buruknya, kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian oknum untuk melancarkan aksi syaitonirrojim. Terbetiklah berita santri dilecehkan, santri dibuli, senior menyiksa junior hingga bahkan ada yang tewas. (“‘beradab’ bisa membunuhmu”).
Dengan penjelasan ini, bukan berarti kita boleh suul adab, sungguh sama sekali tidak. Yang ingin disampaikan sejak awal adalah bahwa saya tidak setuju kalau adab dianggap lebih tinggi daripada ilmu. Kita bisa berdalih bahwa dengan hierarki semacam itu tidak lantas mengabaikan ilmu tetap di posisi penting. Sekilas bisa diterima, tapi jelas di sana mengandung beberapa kesalahan.
Pertama, adagium ‘adab di atas ilmu’ tidak bermaksud merendahkan ilmu atau meninggikan adab. Sebenarnya itu adalah bentuk didikan ulama kepada para santri bahwa sombong itu tercela, misalnya.
Kedua, adagium itu tidak berarti membolehkan orang bodoh. Ketiga, tak ada ruang bagi santri malas untuk berdalih “Mengabdi saja, tak perlu mengaji. Toh, adab lebih penting dari ilmu”.
Yang haru selalu diingat adalah bahwa orang bodoh tak pernah sebanding dengan alim, bahkan meski si bodoh ini beradab. Katakanlah, apakah setara orang-orang berilmu dan yang tidak berilmu…(Q.S az-Zumar : 9).
Daftar Pustaka
- Al-Qur’an Kareem
- Imam Ghazali, Al-Ihya’ Ulumuddin, Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2022, Beirut-Lebanon.
- Syeikh az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, Gerbang Andalus, Sampang-Madura.
- Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in, Gerbang Andalus, Sampang-Madura.
- Abu Bakr Utsman Syatha ad-Dimyati, Hasyiyah I’anatut Thalibin, Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2021, Beirut-Lebanon.
- Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, Fawaidul Mukhtaroh, Ma’had Darul Lugah wad Dakwah, 1429 H.
- Abul Qasim Muhammad bin Abdullah Ibnu Juzai, At-Tashil li Ulumil Qur’an, Dar Ibnu Juzai, 1431 H.
- Redaksi Tempo, Santri Meninggal di Pesantren Lampung, Keluarga Ungkap Korban Sempat Alami Perundungan, https://www.tempo.co/hukum/santri-meninggal-di-pesantren-lampung-keluarga-ungkap-korban-sempat-alami-perundungan-1275516, 28 April 2025.