Absurditas Agama dan Logika Kemanusiaan

1,685 kali dibaca

Viral dan menjadi polemik yang melahirkan kegaduhan di media sosial dan pemberitaan, sebuah video yang memperlihatkan seseorang menendang dan menumpahkan sesajen di area Gunung Semeru. Seseorang yang masih belum diketahui identitasnya itu melakukan persikusi agama atau keyakinan seseorang di atas keyakinannya sendiri. Artinya, sebuah pemaksaan sekaligus pemerkosaan terhadap sebuah pilihan keyakinan orang lain.

Diketahui sebelumnya, beredar sebuah video yang menampilkan aksi seorang pria menendang sesajen di kawasan Gunung Semeru viral di media sosial pada Sabtu, 8 Januari 2022. Pria berjenggot, berpeci hitam, dan memakai rompi melakukan perusakan sambil mengatakan bahwa hal itu yang mengundang murka Allah.

Advertisements

“Ini yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari, bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah (sesajen), hingga Allah menurunkan adzabnya,” kata pria itu sebagaimana dilansir dari pikiran-rakyat.com.

Terkait dengan kasus tersebut, Alissa Wahid, putri dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menyayangkan terjadinya penghinaan dan perusakan sesajen tersebut. “Meyakini bahwa sesajen tidak boleh, monggo saja. Tapi memaksakan itu kepada yang meyakininya, itu yang tidak boleh,” kata Alissa Wahid. “Repot memang kalau ketemu yang model begini. Susah banget memahami bahwa dunia bukan milik kelompoknya saja,” ujar Alissa Wahid melanjutkan seperti dilansir Pikiran-Rakyat.com dari Twitter @AlissaWahid.

Hakikat beragama (Islam) adalah sebagaimana ajaran Rasulullah saw dan pesan yang disampaikan Al-Quran, bahwa setiap perbuatan harus bermuatan rahmatan lil’alamin, yaitu kasih sayang untuk semesta alam. Jika ini yang dijadikan pegangan, maka tidak akan ada perusakan dan penghinaan terhadap kepercayaan orang lain sebagimana terjadi perusakan terhadap sesajen yang ada di kawasan Gunung Semeru.

Absurditas Beragama

Setiap agama mengajarkan kebaikan meskipun tidak semuanya mendedikasikan kebenaran. Pada tataran kebenaran tentu saja memiliki relatifitas personal. Setiap orang memiliki hak untuk mengatakan bahwa agamanya benar sekaligus baik. Argumentasi terhadap kebenaran dan kebaikan pun akan beragam dan tidak sama. Kecenderungan terhadap sebuah agama merupakan hak asasi setiap orang. Dalam bahasa Al-Quran, “La ikraha fiddin, tidak ada paksaan di dalam agama,” (QS. Al-Baqarah: 256).

Pemahaman terhadap agama tidak akan pernah mencapai hakikat kebaikan, jika hanya merasakan kebenaran pada diri sendiri. Pemahaman absurd dalam beragama akan lahir dari logika yang dikebiri oleh egoisme semata. Kita boleh mengkavling kebenaran terhadap agama sendiri tanpa memaksakan kehendak kepada orang lain. Kita boleh tidak sepaham dengan budaya orang lain, tetapi merusak dan menghina kebiasaan orang lain adalah cacat kemanusiaan. Sebagai makhluk sosial sudah seharusnya kalau kita saling menghargai dan menahan emosi terhadap hal-hal yang tidak kita inginkan.

Absurditas adalah kemustahilan dan tidak masuk akal. Logika kemanusiaan kita tidak menerima jika ada seseorang yang merasa benar sendiri, kemudian melakukan langkah “kriminal” di dalam sebuah hubungan kemanusiaan. Realitas ini semakin jelas bahwa etika kemanusiaan kita harus diperbaiki. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus yang mencoba mengebiri keyakinan orang lain.

Logika Kemanusiaan

Di dalam Al-Quran, Allah swt berfirman, “Bagimu agamu dan bagiku agamaku,” (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini secara teks menyatakan bahwa agama merupakan pilihan individual. Sementara itu, secara kontekstual ayat ini menjadi dasar pemahaman bahwa agama bukan dipaksakan. Tetapi diupayakan untuk disadari bahwa kebenaran agama itu logis dan ilmiah.

Kemanusiaan dan agama tidak dapat dipisahkan. Agama dijadikan pedoman hidup oleh manusia, dan kemanusiaan merupakan logika dalam beragama. Penganut agama apapun, harus memahami bahwa kepercayaan agama itu berujung pada kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan. Kelompok penganut agama (termasuk Islam) harus bersikap eksklusif sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan kemasyarakatan. Inklusivisme agama tidak akan berkembang baik di lingkungan pluralis sebagaimana terjadi di Indonesia.

Memanusiakan manusia adalah menjadikan logika di atas kemanusiaan. Kecenderungan untuk menafikan keyakinan orang lain adalah sebuah kekeliruan. Oleh karena itu kita tidak seharusnya memaksakan kehendak (keyakinan) kepada orang lain karena hal ini bertentangan dengan logika kemanusiaan dan bahkan dengan Islam itu sendiri.

Bisa jadi perbuatan menesta dan menghina sesajen sebagaimana terjadi di kawasan Semeru itu hanya karena khilaf semata. Atau mungkin juga karena keperluan konten dan lain sebagainya. Akan tetapi, apapun tujuannya yang jelas telah melukai hati orang lain. Hal paling baik adalah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut. Karena tindakan itu telah menyakiti orang atau kelompok tertentu. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan