Tinta Emas di Lauhul Mahfudz di Bulan Dzulhijjah

71 views

(Sebuah catatan perjalanan menuju Ciamis)

Gue kira semua yang menulis di media duniasantri dibayar dari hasil Adsense atau minimal dari traffic viral medsos. Tapi, makin lama gue bergaul dan menyimak geliat gerakan ini, makin gue sadar: ternyata bukan. Bukan itu karakteristik mereka.

Advertisements

“Bukan begitu cara alam semesta bekerja, Bro,” tukas salah satu pendiri duniasantri sambil ngelepus Djanger cerutu favoritnya.

Di balik komisi (honor) untuk para penulis, tidak ada iklan berseliweran, tidak ada konten-konten clickbait, tidak ada juga model monetisasi yang menjadikan santri sekadar alat. Yang ada justru patungan diam-diam, sumbangan seikhlasnya, dan ketulusan yang susah banget dijelaskan dengan logika kapitalisme.

Kekaguman gue makin dalam ketika tahu bahwa para penggerak duniasantri dan para donatur yang tak pernah mau disebutkan namanya, sebenarnya sedang membangun peradaban kecil, pondasi baru bagi lahirnya kembali semangat menulis ala santri—yang jujur, dalam, kritis, dan tetap spiritual.

Mereka menolak iklan-iklan yang mengganggu ruh laman, walaupun bisa saja menghasilkan uang besar. “Kita gak mau pembaca terganggu sama iklan obat kuat, pembesar penis, atau judol,” kata salah satu pendiri duniasantri itu sambil ketawa miris. Tapi dalam tawa itu ada prinsip yang kokoh. Ada etika yang dijaga. Ada nilai yang dikurbankan demi menjaga maqam kemuliaan kata.

Dan di situlah gue merasa: mereka adalah potret nyata dari orang-orang yang berkurban bukan dengan kambing, bukan dengan sapi, tapi dengan waktu, uang, tenaga, bahkan ketenangan pribadi. Mereka tidak mencolok, tidak menjual kesalehan, tapi diam-diam menjadi kendaraan Tuhan untuk menjaga naskah-naskah santri tetap hidup. Ternyata, keikhlasan yang diajarkan dalam agama gue, hidup dalam gerak mereka. Mereka tidak banyak bicara, tapi tulus memberi ruang agar setiap tulisan bisa hidup, dan setiap suara bisa didengar.

Dalam semangat Idul Adha ini, kisah mereka mengingatkan kita pada kisah kurban Nabi Ibrahim. Saat diminta menyembelih Ismail—atau dalam sebagian riwayat, Ishaq—bukan darah yang diuji Tuhan, tapi keikhlasan. Bukan tentang tajamnya pisau, tapi tentang seberapa dalam manusia mampu menyerahkan ego, rasa memiliki, dan keinginannya di altar perintah Ilahi.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan