168 Jam Pertama di Pondok

951 kali dibaca

Masih di tempat yang sama seminggu yang lalu ketika pertama kali aku memutuskan masuk pondok. Ketika itu aku duduk di depan poskestren menunggu petugas penerimaan santri baru untuk menunjukkan kamar dan lemari bagi santri baru.

Namun, sama tidaklah selalu sama. Mengutip perkataan Heraklitos, yaitu panta rhei kai uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap). Dia menganalogikannya dengan aliran sungai. Kita tidak akan turun ke aliran sungai yang sama. Sebab, air sungai yang mengalir saat ini tentu berbeda dengan air sungai yang mengalir beberapa menit kemudian.

Advertisements

Ya, seperti aku yang duduk di depan poskestren seminggu lalu, juga berbeda dengan sekarang. Letak barang dan orang yang berlalu lalang pun berbeda. Pun kali ini, aku bukan menunggu petugas PSB, tetapi sedang menuliskan mengenai keputusanku masuk pondok pesantren.

Perihal memutuskan mondok di umur 24 tahun adalah sebuah perang batin. Tuhan dan setan berperang di sana, dan medan perang mereka adalah hati manusia. Kalimat itu merupakan kutipan dari Fyodor Dovtoesky, seorang sastrawan besar Rusia.

Memang benar begitu adanya bagiku. Di paro usia menyentuh silver age, seperti orang-orang lain sebayaku menghadapi yang quarter life crisis, aku pun merasakannya. Namun, sedikit berbeda dengan mereka yang seumuranku itu. Ketika pemuda-pemudi di luar sana masih mengerjakan tugas akhir kuliah atau bagi yang sudah selesai sedang menimbang pilihan untuk langsung bekerja atau melanjutkan studi S2, atau menjalani kehidupan baru dengan pernikahan, aku memutuskan untuk mondok. Setelah tugas akhir atau skripsiku di jenjang S1 selesai aku memutuskan untuk mondok di sebuah pondok pesantren yang tak jauh dari tempat tinggalku, yaitu Pondok Pesantren Fadlun Minallah. Hanya butuh semenit saja untuk jalan kaki menujunya.

Mengapa memutuskan mondok bagiku adalah sebuah perang batin? Coba pikirkan ketika manusia sebayaku sedang senang-senangnya meniti pendidikan selanjutnya, meniti karier maupun menjalin asmara, maka manusia lain yang mereka hadapi mayoritas usia dan pengetahuan di atas mereka. Sehingga, untuk menghormati yang lebih di atas itu cenderung mudah dilakukan.

Sementara, ustaz-ustaz di pondok tempatku mengais ilmu mayoritas berumur sebaya, bahkan beberapa tahun di bawahku. Gejolak nafsu di dalam diriku cukup sulit untuk beradaptasi. Namun, setelah menghabiskan kurang lebih 168 jam pertamaku di pondok, ada beberapa pembelajaran yang kudapatkan.

Dalam sesi khitobah pertama yang aku ikuti sebagai peserta, kala itu petugas khitobah merupakan seorang remaja kira-kira berumur 14 tahun menurut taksiranku, karena kata seseorang santri lain, petugas khitobah itu duduk di bangku kelas 2 SMP. Umur yang terpaut 10 tahun dariku, tetapi dia sudah berani menjadi petugas khitobah. Menyampaikan nasihat-nasihat kebaikan yang dibacakannya dari sebuah kitab akhlak. Dengan bahasa Jawa yang halus alias karma inggil pula. Materi yang dibawakan pun cukup lancar bagi anak seusianya di depan audiens yang banyak.

Hal ini sedikit menyadarkanku bahwa untuk menghormati seseorang itu jangan memandang usia. Karena ternyata ada, bahkan banyak, orang yang lebih muda dari kita memiliki ilmu serta pengetahuan yang lebih tinggi. Mungkin di sisi lain, aku memiliki pengetahuan lebih dari anak itu, tetapi dalam konteks pondok pesantren ini, aku benar-benar seorang santri baru yang masih cethek ilmunya.

Saat itu, kitab yang digunakan untuk menyampaikan materi khitobah oleh petugas adalah Taisirul Khollaq karangan Syeikh Abu Hasan Ali Al Husayn bin Abdullah Al Mas’udi. Ini  merupakan kitab yang membahas akhlak. Dan kebetulan sekali ketika itu membahas mengenai adab seorang murid terhadap dirinya sendiri. Murid di sini dapat diartikan sebagai santri, juga untuk konteks pondok pesantren.

Adab seorang murid terhadap diri sendiri terdapat lima perkara. Pertama, meninggalkan ‘ujub, yaitu sifat membanggakan diri. Kedua, bersifat tawadlu, yaitu rendah hati. Mengamalkan adab ini sebagai santri berumur 24 tahun nyatanya cukup berat. Bagaimana tidak sulit? Ketika mengaji dengan ustaz yang berumur sebaya atau bahkan lebih muda membuat diri kita merasa bisa dan terbesit rasa bangga dalam hati. Sehingga sulit untuk merendahkan hati menerima nasihat yang disampaikan oleh ustaz belia tersebut. Namu, itulah tantangannya mencari ilmu untuk mendapatkan rida Allah.

Ketiga, bersikap waqar atau tenang dan santai saat berjalan. Keempat, memejamkan mata dari perkara-perkara haram. Dan kelima, harus menjadi orang yang dapat dipercaya atas ilmu yang disampaikan kepadanya.

Itulah adab murid terhadap dirinya sendiri. Sebenarnya masih ada pembahasan lanjutan mengenai adab murid terhadap diri sendiri dan temannya. Namun, karena waktu yang terbatas khitobah dicukupkan.

Mungkin bagi sebagian orang keputusan yang aku ambil merupakan keputusan aneh, terlebih karena aku hanya mondok sangat dekat dari rumahku, bahkan berada di satu wilayah RT. Mengapa tidak ikut ngaji saja tanpa mondok alias ngalong atau sekalian mondok di tempat yang jauh saja?

Pasti ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun, keputusan sudah diambil dan ada sebuah pesan yang sering disampaikan oleh para kiai, yaitu barang siapa mencari akhirat, dunia juga pasti didapat.

Selain itu, aku juga memiliki tujuan tersendiri untuk masuk pondok pesantren walaupun hanya dekat dari rumah. Terutama karena kualitas Pondok Pesantren Fadlun Minallah dalam bidang kitab memang sudah tidak diragukan lagi. Semoga aku bisa krasan dan dapat bermanfaat bagi keluarga ndalem, pondok, dan masyarakat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan