Ziarah Kubur

Aku menuju arah yang ditunjukkan penjaga pos. “Terus saja ke arah barat,” demikian ia berkata ketika kutanya di mana makam Gus Dur. Ekspresinya datar. Bahkan tidak sedikit pun menoleh ke arahku. Padahal aku lagi kebingungan. Aku baru pertama kali berkunjung ke makam Gus Dur.

Aku menyusuri lorong ke arah yang ditunjuk tadi. Tiba-tiba banyak sekali orang berlalu lalang. Bukan hanya santri Tebuireng. Tetapi juga yang lainnya. Aku berdesak-desakan di antara lalu lalang orang banyak. Terbentur ke arah sana. Terpental ke arah yang entah. Aku sudah bertekad harus sampai di makam Gus Dur. Sekadar tafakur. Meski hanya membaca beberapa ayat Al-Qur’an.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Saat berikutnya, aku terpental bagitu jauh. Di sudut area. Di bawah rimbun pohon yang aku tidak tahu namanya. Seorang santri lewat. Aku sempatkan untuk bertanya.

“Dik, kalau ke makam Gus Dur di mana?”

“Itu Pak, ada pintu masuk,” jawab santri itu sambil menunjuk.

“Terima kasih, Dik.”

Aku menuju ke sebuah pintu. Daun pintu yang tidak begitu lebar. Semacam teralis besi. Terbuka. Hingga aku bisa masuk begitu saja. Tiba-tiba suasana hening. Sunyi. Senyap. “Kemana orang-orang yang berdesakan tadi?” Pikiranku heran. Padahal sebelum sampai di pelataran makam, ada ribuan orang peziarah. Mengapa tiba-tiba lenyap. Ke mana mereka pergi?

Aku memasuki pelataran makam Gus Dur. Sebuah area yang dibatasi oleh pagar besi. Peziarah hanya bisa mengamati dari jauh. Tidak bisa benar-benar mendekat. Dan bukan hanya makam Gus Dur. Di sana ada juga makam-makam lainnya. Sepertinya pemakaman untuk keluarga. Ada juga makam yang ditandai dengan bendera merah putih. Ada bacaan “pahlawan.” Tapi aku tidak bisa membaca tulisan yang ada di nisan. Mataku terbatas. Mataku rabun. Bahkan memakai kacamata pun kurang jelas.

Di makam Gus Dur ditanami rumput hijau. Ada juga tanaman khas makam. Tidak jauh dari makam tersebut ada pohon kamboja. Cukup besar dan rindang. Jauh di sebelah sana, ada beberapa tanaman bunga yang sedang mekar. Warna merah menyala. Tapi aku tidak tahu nama bunga tersebut.

Aku duduk bersila di tempat peziarah yang telah ditentukan. Ada bacaan “Peziarah Laki-lalki” ditempel di tembok sebelah selatan. Aku duduk. Masih sendiri. Sunyi dalam sepi. Bahkan semilir angin pun serasa terhenti. Meski sedikit merinding, aku membuka hikal untuk membaca Yasin.

Suasana sunyi semakin menjadi. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Terkesiap. Terkejut tiada tara. Gus Dur begitu saja berdiri di hadapanku. Entah dari mana Beliau datang. Tersenyum kecut ke arahku.

“Lagi apa kamu di sini?” Sinis bertanya. Aku terkesiap. Sekujur tubuhku serasa lenyap.

“Sedang membaca Yasin,” jawabku apa adanya.

“Hahh,,, buat apa?” Gus Dur membentak. Suaranya lumayan keras. Seperti marah.

“Kenapa Gus?” Aku bertanya melas.

“Tidak perlu….!”

Suara Gus Dur menggelegar. Bagaikan halilintar. Hingga aku terpental. Entah di mana aku saat itu. Sebagian ruangan retak. Bagaikan gempa bumi. Lindu yang begitu dahsyat.

Aku terentak. Antara tidur dan jaga. “Aku bermimpi,” desahku lirih. Keringat bercucuran. Aku menoleh ke sana ke mari. Aku masih sendiri. Tidak ada siapa-siapa. Kuraih hikal yang sempat terjatuh. Lalu aku kembali khusyuk. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Tafakur dalam kesunyian.

Entah sudah berapa lama aku duduk. Tafakur, membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Detik berikutnya, kumandang azan dari pengeras suara. Masjid berada tepat di belakangku. Suasana kembali normal. Lalu lalang santri memasuki masjid. Sebentar lagi akan salat zuhur. Mereka memasuki masjid dengan rapi.

Aku beranjak dari tempat duduk. Aku juga akan ikut salat jamaah zuhur. Aku sudah puas berziarah. Meski ini pertama kali, tapi aku tidak ingin ini yang terakhir kali.

“Mau kemana Nak?”

“Salat Gus.”

“Oh, baiklah,” kali ini suara Gus Dur begitu lembut. Membuat sejuk hatiku.

“Terima kasih, Gus.”

“Ya, sama-sama. Pulanglah, tapi kalau ada kesempatan kembalilah ke sini,” suara yang begitu indah.

“Insyaallah, Gus,” lalu aku mencium tangan Gus Dur yang lembut dan harum.

Selepas salat, aku duduk bersila. Menadahkan tangan. Berdoa. Memohon berkah. Semoga ziarah ini menjadi pengikat hubungan antara aku dan Gus Dur. Allahu Akbar!

Pusara Gus Dur, 22 Agustus 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan