Aku menuju arah yang ditunjukkan penjaga pos. “Terus saja ke arah barat,” demikian ia berkata ketika kutanya di mana makam Gus Dur. Ekspresinya datar. Bahkan tidak sedikit pun menoleh ke arahku. Padahal aku lagi kebingungan. Aku baru pertama kali berkunjung ke makam Gus Dur.
Aku menyusuri lorong ke arah yang ditunjuk tadi. Tiba-tiba banyak sekali orang berlalu lalang. Bukan hanya santri Tebuireng. Tetapi juga yang lainnya. Aku berdesak-desakan di antara lalu lalang orang banyak. Terbentur ke arah sana. Terpental ke arah yang entah. Aku sudah bertekad harus sampai di makam Gus Dur. Sekadar tafakur. Meski hanya membaca beberapa ayat Al-Qur’an.

Saat berikutnya, aku terpental bagitu jauh. Di sudut area. Di bawah rimbun pohon yang aku tidak tahu namanya. Seorang santri lewat. Aku sempatkan untuk bertanya.
“Dik, kalau ke makam Gus Dur di mana?”
“Itu Pak, ada pintu masuk,” jawab santri itu sambil menunjuk.
“Terima kasih, Dik.”
Aku menuju ke sebuah pintu. Daun pintu yang tidak begitu lebar. Semacam teralis besi. Terbuka. Hingga aku bisa masuk begitu saja. Tiba-tiba suasana hening. Sunyi. Senyap. “Kemana orang-orang yang berdesakan tadi?” Pikiranku heran. Padahal sebelum sampai di pelataran makam, ada ribuan orang peziarah. Mengapa tiba-tiba lenyap. Ke mana mereka pergi?
Aku memasuki pelataran makam Gus Dur. Sebuah area yang dibatasi oleh pagar besi. Peziarah hanya bisa mengamati dari jauh. Tidak bisa benar-benar mendekat. Dan bukan hanya makam Gus Dur. Di sana ada juga makam-makam lainnya. Sepertinya pemakaman untuk keluarga. Ada juga makam yang ditandai dengan bendera merah putih. Ada bacaan “pahlawan.” Tapi aku tidak bisa membaca tulisan yang ada di nisan. Mataku terbatas. Mataku rabun. Bahkan memakai kacamata pun kurang jelas.
Di makam Gus Dur ditanami rumput hijau. Ada juga tanaman khas makam. Tidak jauh dari makam tersebut ada pohon kamboja. Cukup besar dan rindang. Jauh di sebelah sana, ada beberapa tanaman bunga yang sedang mekar. Warna merah menyala. Tapi aku tidak tahu nama bunga tersebut.