Di sudut pesantren, seorang santri muda dengan wajah sumringah mengangkat kitab Fathul Izar ke kamera. “Alhamdulillah, akhirnya khatam!” tulisnya di media sosial.
Ratusan likes dan komentar mengalir: “Mantap, Akang! Lanjut ngajinya!”.

Kebanggaan itu terasa wajar—bagaimana tidak? Kitab kuning telah lama dinaknai sebagai simbol kesalehan, warisan leluhur yang dianggap sakral. Tapi di balik sorak-sorai itu, ada pertanyaan yang jarang terungkap: Benarkah kebanggaan mengkhatamkan kitab kuning selalu sejalan dengan kebijaksanaan?
Kitab kuning—seperti Fathul Izar atau Qurrotul Uyun— bukanlah wahyu yang diturunkan dari langit. Mereka adalah hasil ijtihad ulama masa lalu, ditulis dalam konteks zaman, budaya, dan keterbatasan ilmu yang mungkin asing bagi kita hari ini.
Ambil contoh klaim dalam Fathul Izar bahwa “hubungan intim di malam tertentu bisa melahirkan anak buta”. Di satu sisi, ini dianggap sebagai “hikmah”, tapi di sisi lain, ia bertabrakan dengan sains modern yang memahami kebutaan sebagai persoalan genetika atau kesehatan, bukan “kutukan waktu”.
Lebih memprihatinkan lagi, beberapa bagian kitab ini memuat narasi yang —jika dibaca tidak dibaca secara kritis—berpotensi mereduksi martabat perempuan, seperti penyamaan wajah dengan alat kelamin.
Lalu, mengapa banyak santri tetap memujanya? Jawabnya mungkin terletak pada cara kita memperlakukan kitab kuning: sebagai dogma, bukan dialog. Kita lupa bahwa para ulama penulisnya adalah manusia —brilian, tapi tak luput dari salah.
Imam Syafi’i sendiri pernah berkata: “Pendapatku benar, tapi mungkin keliru. Pendapat orang lain keliru, tapi mungkin benar.” Sayangnya, pesantren kerap mengajarkan kitab-kitab ini tanpa membekali santri dengan ilmu alat —nahu, saraf, ushul fikih— yang justru menjadi kunci untuk membedahnya. Akibatnya, santri menghafal teks tanpa mampu menelisik: Dari mana ulama ini mengambil pendapatnya? Apa dalilnya? Masih relevankah untuk zaman sekarang?
Ini seperti membangun rumah tanpa fondasi. Tanpa ilmu alat, klaim-klaim dalam kitab kuning diterima mentah-mentah, bahkan yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam.