Utang Botak dan Gagalnya Efek Jera

74 views

Kata “botak”, di pesantrenku, adalah semacam momok. Serius. Kata itu bisa lebih menakutkan dari “dihukum lari lapangan sepuluh kali” atau “disidang malam hari di mahkamah santri.” Terutama buat santriwan, kehilangan rambut di kepala seperti kehilangan separuh harga diri.

Makanya, hukum botak jadi senjata pamungkas. Tak jarang, bagian keamanan, kesehatan, bahkan bagian bahasa, memilih botak sebagai sanksi final untuk pelanggaran yang dianggap serius.

Advertisements

Telat salat berjamaah tiga kali berturut-turut? Botak.

Kamar kotor tiga hari? Botak.

Nama muncul tiga malam di mahkamah bahasa? Botak.

Pulang terlambat habis liburan? Botak, sudah pasti.

Dan karena hampir setiap bidang punya otoritas menjatuhkan hukuman botak, muncullah istilah unik di kalangan kami: “utang botak.”

Bayangkann, ada santri yang udah divonis botak oleh bagian keamanan. Eh, belum sempat eksekusi, datang lagi vonis baru dari bagian kesehatan. Lalu bagian bahasa juga tak mau kalah: satu kali botak juga. Rambut belum tumbuh, utang botak sudah berlapis-lapis. Seperti cicilan, tapi dalam bentuk rambut.

Awalnya, hukuman ini cukup ampuh. Banyak yang benar-benar jaga sikap. Tapi lama-lama, ya gitu. Hukuman yang terlalu sering dipakai akhirnya kehilangan efek kejutnya. Beberapa santri mulai mikir: “Yah, paling juga botak. Toh saya juga masih punya utang botak dua lagi.”

Kehilangan rasa takut ini membuat efektivitas hukuman menurun. Aturan yang seharusnya membuat santri lebih tertib justru makin sering diacuhkan. Rasa malu sudah kalah oleh rasa pasrah. Rambut bisa tumbuh, gengsi bisa disimpan dulu.

Fenomena ini membuat para pengurus—biasanya santri kelas lima yang menjabat di organisasi santri—mulai berpikir ulang: Apakah hukuman itu harus selalu dalam bentuk yang sama? Apa benar potong rambut bisa membuat orang tobat? Ternyata tidak selalu.

Maka mulailah dicoba beberapa hukuman baru. Salah satu yang cukup menarik dan sedikit jenaka adalah hukuman “towaf bawa kasur.” Ini terjadi kalau ada yang telat salat Subuh berjamaah. Pagi harinya, si terhukum harus keliling lapangan sambil menggendong kasur sendiri.

Berat? Lumayan. Tapi yang bikin malu itu bukan kasurnya. Yang bikin malu adalah ketika santri putri yang pulang dari masjid usai salat Subuh. Mereka lewat lapangan pas si terhukum sedang “towaf” sambil ngos-ngosan. Dan tentu saja, mereka lihat, lengkap dengan senyuman geli yang susah ditahan.

Efeknya? Ampuh. Beberapa santri yang tadinya susah bangun Subuh tiba-tiba jadi rajin bangun bahkan sebelum lonceng pertama berbunyi.

Daya Magis Santriwati

Kadang yang bikin jera itu bukan hukumannya, tapi siapa yang nonton saat dihukum.

Towaf sambil menggendong kasur mungkin terdengar biasa saja. Tapi jadi luar biasa kalau ada santri putri yang lewat sambil ngelirik setengah geli. Itu semacam tamparan sosial yang lembut tapi dalam. Meninggalkan jejak bukan cuma di pundak, tapi juga di hati.

Ternyata, santri putri punya semacam “daya magis ” yang tak dimiliki oleh petugas keamanan pondok, apalagi oleh pengumuman-pengumuman kaku di mading.

Satu lirikan dari balik mukena atau senyum tipis di ujung perjalanan Subuh bisa bikin para ikhwan mikir: Besok harus bangun sebelum bel berbunyi. Masa iya diliat dia pas gendong kasur lagi.”

Dari situ aku sadar, dalam dunia pesantren, kadang efek sosial lebih kuat dari efek hukum. Bukan karena kita takut dihukum, tapi karena tak mau kehilangan martabat di depan orang yang diam-diam kita kagumi.

Ini bukan soal cinta-cintaan. Tapi lebih ke rasa ingin menjaga citra. Karena meskipun di pondok tak ada pacaran, citra tetap dijaga. Apalagi di hadapan mereka yang bisa membuat dada deg-degan hanya dengan satu kalimat: “Eh, itu bukan yang kemarin bawa kasur, ya?”

Jadi ya, kadang yang bisa membuat manusia berubah itu bukan cambuk keras, tapi getaran halus. Bukan hukum botak yang mencukur rambut, tapi rasa malu yang mencukur ego.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan