Utang Botak dan Gagalnya Efek Jera

19 views

Kata “botak”, di pesantrenku, adalah semacam momok. Serius. Kata itu bisa lebih menakutkan dari “dihukum lari lapangan sepuluh kali” atau “disidang malam hari di mahkamah santri.” Terutama buat santriwan, kehilangan rambut di kepala seperti kehilangan separuh harga diri.

Makanya, hukum botak jadi senjata pamungkas. Tak jarang, bagian keamanan, kesehatan, bahkan bagian bahasa, memilih botak sebagai sanksi final untuk pelanggaran yang dianggap serius.

Advertisements

Telat salat berjamaah tiga kali berturut-turut? Botak.

Kamar kotor tiga hari? Botak.

Nama muncul tiga malam di mahkamah bahasa? Botak.

Pulang terlambat habis liburan? Botak, sudah pasti.

Dan karena hampir setiap bidang punya otoritas menjatuhkan hukuman botak, muncullah istilah unik di kalangan kami: “utang botak.”

Bayangkann, ada santri yang udah divonis botak oleh bagian keamanan. Eh, belum sempat eksekusi, datang lagi vonis baru dari bagian kesehatan. Lalu bagian bahasa juga tak mau kalah: satu kali botak juga. Rambut belum tumbuh, utang botak sudah berlapis-lapis. Seperti cicilan, tapi dalam bentuk rambut.

Awalnya, hukuman ini cukup ampuh. Banyak yang benar-benar jaga sikap. Tapi lama-lama, ya gitu. Hukuman yang terlalu sering dipakai akhirnya kehilangan efek kejutnya. Beberapa santri mulai mikir: “Yah, paling juga botak. Toh saya juga masih punya utang botak dua lagi.”

Kehilangan rasa takut ini membuat efektivitas hukuman menurun. Aturan yang seharusnya membuat santri lebih tertib justru makin sering diacuhkan. Rasa malu sudah kalah oleh rasa pasrah. Rambut bisa tumbuh, gengsi bisa disimpan dulu.

Fenomena ini membuat para pengurus—biasanya santri kelas lima yang menjabat di organisasi santri—mulai berpikir ulang: Apakah hukuman itu harus selalu dalam bentuk yang sama? Apa benar potong rambut bisa membuat orang tobat? Ternyata tidak selalu.

Maka mulailah dicoba beberapa hukuman baru. Salah satu yang cukup menarik dan sedikit jenaka adalah hukuman “towaf bawa kasur.” Ini terjadi kalau ada yang telat salat Subuh berjamaah. Pagi harinya, si terhukum harus keliling lapangan sambil menggendong kasur sendiri.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan