Urgensi Afiliasi dalam Beragama

2,782 kali dibaca

Afiliasi kini jadi poin penting dalam banyak hal. Mulai dari pendidikan, politik, ekonomi, bisnis, bahkan hingga urusan jodoh pun perlu kubangan afiliasi yang jelas.

Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa hanya hidup sebagai dirinya sendiri. Ia akan dinilai dari lingkungan, interaksi, dan kelompok-kelompok sosial tempat ia berafiliasi. Setidaknya, seseorang bisa memberikan penilaian dini terhadap seseorang dilihat dari situasi sosial yang ada di sekitarnya. Misalkan, seorang yang berada di lingkungan penjual daging akan dinilai punya bau badan yang amis. Begitupula seorang yang berada di lingkungan penjual minyak wangi akan dinilai punya bau badan yang wangi.

Advertisements

Di level kesukuan, misalkan. Terlepas dari bebasnya stereotype masyarakat Jawa yang dinilai kalem, ketika seseorang bertemu dengan orang Jawa pasti yang ada dipikiran orang adalah “aku harus sopan.” Ketika seseorang bertemu dengan orang Batak, pasti yang ada di pikiran orang adalah “Aku harus hati-hati dalam bicara.” Dan lain sebagainya. Meskipun validitasnya sudah pasti tidak akurat, namun setidaknya kita akan menilai seseorang dari lingkup dirinya yang lebih luas. Karena afiliasi adalah representasi personal.

Agama pun demikian. Afiliasi paham keagamaan biasanya dicerminkan dari organisasi masyarakat (ormas) berbasis keagamaan yang diikuti seseorang. Di Indonesia, masyarakat Islam memiliki banyak afiliasi yang tentunya punya banyak perbedaan dalam urusan yang bersifat prinsipil. Seperti halnya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, LDII, dan sebagainya. Semuanya punya prinsip masing-masing, berbeda namun tetap punya satu titik poin yang sama, yakni keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, Al-Quran dan Sunnah sebagai pegangan hidupnya, walaupun dengan manhaj pemahaman yang berbeda-beda.

Ada pula beberapa kelompok orang yang menolak afiliasi dalam ber-Islam, dengan berkata bahwa Islam ya Islam saja. Tak perlu melakukan pengkotak-pengkotakan. Orang seperti ini biasanya tidak paham akan dinamika kehidupan sosial keagamaan. Bahkan ketika mereka berkata non-afiliatif, mereka sudah berafiliasi dengan orang-orang non-afiliatif lainnya.

Paradoks yang mereka bangun ini akhirnya menjerumuskan mereka pada inkonsistensi nalar pikir dan mudahnya diombang-ambing ke sana-ke mari. Karena mereka tidak punya pegangan, mereka tidak punya rumah untuk pulang. Tapi yang lebih bahaya lagi adalah mereka merasa paling dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Mereka merasa tidak membutuhkan ulama sebagai “mediator” antara mereka dan kalam-Nya.

Dengan berafiliasi pada ormas tertentu, manusia akan dipertemukan dengan orang-orang yang satu segmentasi dengannya, dengan orang-orang yang punya impian yang sama, sehingga mereka akan saling bantu untuk mewujudkan mimpinya, setidaknya untuk tidak saling menjatuhkan atau menghalangi jalan sesamanya.

Afiliasi identik dengan taqlid. Orang yang punya afiliasi agama akan menjalani kehidupan agama yang lebih aman dan terpercaya. Sebab mereka memiliki orang-orang yang bisa dipercaya secara penuh untuk urusan agama. Taqlid berarti menentukan jalan, ke arah mana dan rute mana yang harus kita tempuh. Sedangkan, orang-orang non-afiliatif akan lebih rentan tersesat dalam perjalanan mereka.

Bahauddin Nursalim, atau yang kita kenal dengan nama Gus Baha’, dalam sebuah forum pengajian pernah bercerita, bahwa suatu hari ia pernah ditanya oleh seseorang. “Gus, Anda ini kan cerdas dan pintar, kenapa masih ikut NU?”

Gus Baha’ pun menjawab, “Justru karena itu saya ikut NU.” Mengapa demikian? Karena semakin luas wawasan dan pengetahuan seseorang, ia akan makin mudah menemukan jati dirinya, dan segera bergabung dengan orang-orang yang punya satu segmen dengan dirinya.

Rasulullah SAW bahkan pernah menyinggung persoalan afiliasi ini. Beliau pernah bersabda, yang kartinya, “Berjamaah (berafiliasi) adalah rahmat, sedangkan memisahkan diri (non-afiliatif) adalah pangkal dari siksaan.”

Rasulullah tidak ingin umatnya berjalan sendiri-sendiri. Beliau ingin umatnya berkumpul dengan orang-orang yang membuatnya bertumbuh bersama orang-orang yang satu koridor dengannya. Karena, inti dari afiliasi adalah saling melengkapi. Orang yang tidak mau berafiliasi akan cenderung mengevaluasi dirinya sendiri, sehingga penilaiannya tidak objektif. Sedangkan, orang-orang afiliatif akan saling bergesekan satu sama lain, sehingga selain punya insting keagamaan yang kuat, orang-orang afiliatif akan cenderung punya kepekaan sosial, rasa kemanusiaan, dan kepedulian yang lebih peka.

Jika seorang memang punya kultur dan pola pikir nahdliyin, maka jangan ragu untuk mengatakan “Saya NU.” Apabila seorang memang punya pola hidup dan kenyamanan dengan dakwah-dakwah Muhammadiyah, maka jangan ragu untuk mengatakan “Saya Muhammadiyah.” Dan lain sebagainya. Karena ketakutan hanya milik orang-orang yang ragu akan pilihan hidupnya.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan