Tumbal Barata Yudha

1,630 kali dibaca

Malam sepekan menjelang Barata Yudha, kegelisahan kurawa menyelimuti Negeri Astina. Seakan kabut pekat hitam menenggelamkan Astina Pura. Durna mulai kehabisan akal untuk mengatur srategi perang. Karena, tiap kali menunjuk kesatria dari Kurawa untuk maju perang, pasti ciut nyali untuk maju di perang Barata Yudha. Tiba-tiba terbesitlah ingatan Durna,

“Aku pernah dengar Batara Dewasrani turun di Pasetran Ganda Mayit. Setiap orang yang memujanya terkabulkan permintaanya.”

Advertisements

“Apa kebuntuan pikiran Kakang Durna membuat hilang semua ingatan tentang kisah-kisah bertapanya para Kurawa. Kapan pernah berhasil membawa wahyu ketika mereka bertapa?” sanggah Sengkuni.

“Dinda Sengkuni, kali ini berbeda. Pertapa ini memiliki cara yang berbada. Dia penganut ajaran Dewasrani, Dewa Kesenangan Duniawi. Jika ingin bertapa dengannya, justru melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti minuman keras, judi, zina dan sebagainya.”

“Ha-ha-ha… Aku ingin saja yang bertapa, Bapa,” celetuk Dursasana. “Karena semua hal tadi yang disebutkan, aku sanggup melakukannya.”

“Aku juga bisa Kakang. Hampir setiap hari aku berjudi bersama perajurit keraton. Aku juara minum arak se-Astina. Kalau perlu, Batara Dewasrani kuajak mabuk bersama. Ha-ha-ha….” sembur Durmagati.

“Tidak bisa. Kalian berdua itu clometan, nanti justru membayakan. Karena, bisa-bisa, ketika Dewasrani menyuruh menyebutkan permintaan, kalian akan meminta hal yang bukan-bukan. Biarkan Anak Prabu Duryudana saja bertapa di sana.”

“Ha-ha-ha…. Pandita Durna mesti tidak suka melihat kami bersenang-senang,” kata Durmagati.

***

Bersama melunturnya cahaya jingga matahari di cakrawala, Duryudana memasuki hutan Pasetran Ganda Mayit. Dari tengah keremangan hutan, pasukan Buta Cakil menyambut kedatangan Duryudana dengan tarian pethakilan.

“Ada satria gagah perkasa akan memasuki Hutan Pasetran Ganda Mayit, siapakah gerangan?” sambil menari pethakilan tetua Cakil bertanya.

“Aku Prabu Duryudana, Raja Astina.”

“Perlu apa Prabu ke sini?” tanya Cakil lainnya.

“Aku ke sini atas petunjuk Pandita Durna, bahwa Batara Dewasrani sedang bersemayam di sini. Aku berniat untuk memujanya.”

“Ha-ha-ha… Prabu tidak berhak memasuki hutan Pasetran Ganda Mayit sebelum mengalahkan kami.”

Meloncatlah Tetua Cakil, kemudian mengarahkan tendangan ke arah Duryudana. Kemudian, kelima Cakil ikut mengeroyok Duryudana. Pukulan dan tendangan para Cakil dijatuhkan ke tubuh Duryudana. Sementara, Duryudana mencoba menangkis dan sesekali membalas. Karena kemampuan perang tanding Duryudana tidak pernah diasah, ia pun akhirnya takluk.

Melihat Duryudana tersungkur, Dewasrani meninggalkan singgasananya, kemudian menampakkan diri di hadapan Duryudana.

“Siapakah Anda, Kesatria, berani membuat keonaran hutan Pasetran Ganda Mayit?” tanya Dewasrani. Melihat sosok menyerupai Dewa, Duryudana berusaha menguatkan diri untuk bersujud.

“Mohon ampun, Pikulun. Saya Duryudana, Raja Astina, sekaligus murid Pandita Durna. Saya ke sini untuk bertapa memuja Batara Dewasrani agar menang di Barata Yudha melawan Pandawa.” Duryudana menajawab sambil berusaha membangunkan tubuhnya yang lemah-lebam untuk bersujud.

“Aku Dewasrani yang kamu cari. Apa benar Prabu mau mengalahkan Pandawa? Aku punya dendam kesumat dengan Pandawa, waktu aku sudah berhasil merebut takhta Raja Kayangan Kaideran dan hampir berhasil menikahi Dewi Supraba,  anak Pandawa, Gatot Kaca dan anak-anak pandawa lainnya mengalahkanku. Setelah kalah, Semar mengutukku menjadi celeng! Prabu tidak perlu bertapa memujaku, cukup bawa Semar ke sini hidup atau mati. Tanpa adanya Semar di pihak Pandawa, pasti Barata Yudha akan dimenangkan oleh Kurawa.”

“Di sekeliling Semar juga ada Pandawa yang digdaya. Bukankah Semar sakti, lantas bagaimana aku bisa membawa Semar kemari?”

“Aku akan menghadap Ibunda, Batari Durga, akan mencari akal muslihat mengalahkan Semar. Tunggulah aku sampai kembali dengan bersemedi.” Seketika Dewasrani sirna dari singgasananya.

***

“Kanjeng Ibu Batari, aku akan membalasakan dendam kesumat kepada Semar melalui Duryudana. Berikan kanugrahan ilmu atau senjata agar bisa mengalahkan semar,” pinta Dewasrani Kepada Durga.

“Kanugerahanku tidak sedigdaya kanugerahan Ayahandamu, Batara Guru. Anakanda mari ke Jonggring Saloka menghadap Ayahanda, Batara Guru, untuk meminta kanugerahan.”

Tak sampai mata berkedip, sampailah mereka ke Jongring Salaka. Sembah dihaturkan mereka kepada raja para dewa, Batara Guru.

“Anakada mengahaturkan sembah bakti kepada Ayahanda.”

“Begitupula hamba, menganturkan sembah bakti kepada Kakanda.”

“Sembah bakti kalian kuterima, restuku terimalah,” jawab Batara Guru.

“Restu Ayahanda hamba terima.”

“Begitu pula hamba, Restu suami hamba, hamba terima.”

“Kalian berdua ganjil benar datang bersama ke Jongring Salaka. Pasti ada keperluan yang penting. Coba terangkanlah.”

Karena Batara Guru mempersilakan mereka untuk menerangkan bahwa ada kesempatan bagus membalas dendam kesumat kepada Semar yang telah mengutuk Dewasrani menjadi celeng. Nurani Batara Guru menolak keinginan nafsu dendam kesumat Dewasrani dan Batara Durga. Tetapi karena rayuan dan muslihat mereka, akhirnya nafsu kemanusian Batara Guru mengalahkan sifat kadewatannya sehingga memberikan Cis Jaludara kepada Dewasrani untuk sarana membalas dendam. Beribu sembah dan ucapan terima kasih dihaturkan mereka kepada Batara Guru karena telah merestui pembalasan dendam kesumat Dewasrani.

***

Embusan angin pertanda kedatangan Dewasrani dan Durga memecahkan meditasi Duryudana.

“Bangunlah dari meditasi Satria Astina,” perintah Durga kepada Duryudana. Melihat wajah buta perempuan bertaring tajam di hadapannya, Duryudana sontak terkaget hingga terjatuh.

“Tenanglah Prabu, beliau adalah Kanjeng Betari Durga, ibuku,” kata Dewasrani berusaha menenangkan ketakutan Duryudana akan wajah buta yang menakutkan.

“Aku akan memberikanmu Aji Pangembaran, ajian kesaktian yang bisa mememusnahkan siapa saja yang dikehendaki hanya dengan mengheningkan rasa dan pikir. Kamu bersiaplah Prabu, bersemedilah, heningkan pikir dan ragamu.”

Duryudana berhening, aliran energi panas mulai merasuki tubuhnya. Ia sebenarnya merasa sudah tak kuat lagi, tetapi karena dendam rasa hausnya terhadap tahta Astina dan Amarta ditahanlah rasa panas api yang membakar raganya.

“Tahanlah Prabu, demi ilmu yang akan membuatmu sakti mandraguna bisa membunuh musuhmu hanya dengan mengheningkan pikir dan ragamu,” perintah Betari Durga.

***

Sementara, di Kelurahan Karangkadempel, Semar sudah berfirasat buruk. Ia mengumpulkan ketiga anak-anaknya.

“Reng, Gareng, kamu adalah anak tertuaku. Jika aku tiba-tiba mati kamu harus mampu menggantikanku. Petruk… Bagong… patuhi Kakangmu, hindari pertikaian,” nasihat Semar kepada ketiga anaknya.

“Hati kecilku merasa pasti akan ada apa-apa dengang Rama. Sebenarnya ada apa, Ma?” celetuk Bagong.

“Tidak ada apa-apa, Gong. Di dunia ini tidak ada yang kekal, segala yang hidup pasti merasakan kematian.”

“Orang tidak akan tahu kapan akan mati, Ma. Kalau Rama mengetahui kapan akan mati, pasti itu bukan kematian karena takdir dari Pencipta Alam. Aku yakin, ini ada orang jahat yang akan mencelakai Rama seperti dulu-dulu. Siapa Ma yang berniat jahat kepada Rama?” kata Bagong dengan nada meninggi.

“Sudah, Gong. Rama tahu yang terbaik bagi kita. Kita patuhi saja nasihat Rama Semar.”

“Benar kata Gareng, Gong. Rama lebih waskita tentang apa yang akan terjadi,” tambah Petruk.

“Kalian bertiga sekarang aku perintahkan ke Dwarawati temui Prabu Kresna, tanyakan apa yang akan terjadi kepadaku dan bagaimana solusinya.”

Karena Bagong lahir dari bayang-bayang Semar, ia juga memiliki kewaskitaan walaupun tak sesempurna kewaskitaan Semar.

“Aku tidak akan pergi dari Karangkadempel. Aku akan di sini menemani Rama Semar. Walaupun…”

Tanpa banyak bercakap, Semar menyentuhkan telunjuknya ke dahi Bagong. Seketika Bagong tak sadarkan diri.

“Kalian bawa Bagong ke Dwarawati, jangan lupa pesanku tadi, kalian harus rukun dan sampaikan salam sembah baktiku kepada Sinuwun Krisna. Lekas berangkat sekarang sebelum terlambat!”

“Injih, Ma. Ngestuaken Dawuh,” jawab mereka kompak.

Tak berselang lama dari kepergian Gareng, Petruk, dan Bagong, Duryudana datang.

“Kita memang berjodoh, ketemu kamu di sini Semar. Aku tak perlu mencarimu sampai ke lubang semut.”

“Iya, Prabu. Ada apa perlu apa mencari rakyat kecil seperti hamba ini?”

“Kamu akan aku pakai tumbal untuk kemenagan Kurawa saat Barata Yudha. Sekarang kamu ingin mati dengan cepat atau lambat? Ha-ha-ha…”

“Tumbal-menumbal itu tidak diperlukan dalam perang, Sinuwun Prabu. Perang Barata Yudha Jaya Binangun itu perang antara kebaikan melawan kejahatan. Dalam sejarah dunia belum pernah tertulis dan tidak akan pernah tertulis kejahatan itu menang. Prabu tentu pernah mendengar cerita Ramayana, Perang antara Rahwana yang nista merebut Dewi Sinta dari Sri Rama. Ia akhirnya kalah dari Sri Rama. Prabu tentu juga pernah mendengar Perang Gojali Sutha..…”

“Tidak perlu kamu banyak nasihat, jika kamu tidak menyerahkan nyawamu dengan sukarela, berarti kamu minta mati dengan menyakitkan.”

Sembari berkata Duryudana mengeluarkan Cis Jaludara, kemudian dijatuhkan ke leher Semar. Semar pun tersungkur.

“Apa kamu sudah mati Semar?” Duryudana melemparkan pertanyaan.

“Gusti telah disesatkan oleh seserorang yang memberikan senjata dewata yang Gusti bawa. Ingatlah Gusti… Bertobatlah sebelum telanjur.”

“Sudah jangan banyak bicara, aku muak dengan lanturanmu itu.”

Duryudana kemudian merapalkan mantra aji pangembaran sehingga tubuh Semar terbakar dalam api.

***

Sementara, penerawangan Dewasrani, memperlihatkan Duryudana telah berhasil membunuh Semar. Ia segera menemui Durga.

“Kanjeng Ibu, Semar berhasil disirnakan oleh Duryudana. Lantas apa yang harus kita lakukan?”

“Mari kita temui Duryudana, suruh Duryudana membuang jasad Semar di tepi Pasetran Ganda Mayit agar mudah kita awasi. Jangan lupa, ubahlah wujud semar menjadi celeng atau hewan yang lain agar tidak dikenali jika ada orang yang mencarinya,” perintah Durga.

***

“Saya menghaturkan sembah bakti, Sinuwun Krisna.”

“Begitu juga saya menghaturkan sembah bakti, Sinuwun.”

“Iya Gareng-Petruk, kuterima. Terimalah restuku.”

“Iya, saya terima Sinuwun,” sahut Gareng dan Petruk bersamaan.

“Mohon maaf, Sinuwun Prabu Krisna. Tadi saya diperintahkan oleh Rama untuk menanyakan musibah yang akan menimpa Rama Semar. Rama mengatakan bahwa Sinuwun mengetahui akan musibah itu.”

“Iya, Gareng. Aku juga menadapatkan firasat bahwa Semar akan dicilakai oleh Dewasrani dan Betari Durga. Semar sengaja menanggung semua rencana jahat Dewasrani agar tidak menyusahkan orang lain.”

Krisna menyentuh kepala Bagong tak berselang lama ia siuman. Bagong melanjutkan keras kepalanya untuk tetap ingin bersama Semar apa pun yang akan terjadi.

“Ini di mana, Truk?”

“Di pendopo, Dwarawati, Gong.”

“Rama Semar di mana? Bagaimana keadaannya, Truk?”

“Rama Semar masih di Karangkadempel. Kita tadi diminta ke sini untuk menanyakan permasalahan yang akan dihadapi Rama dan bagaimana jalan keluar terhadap permasalahan itu,” Jawab Gareng.

Tanpa berpikir panjang, Bagong pun meloncat dari Pendopo Dwarawati untuk pergi ke menemui Semar.

“Lho, Gong….. sabar Gong…. Jangan terburu nafsu….” rayu Gareng agar tetap bersabar menunggu jalan keluar dari Krisna.

“Sudah biarkan saja Bagong pergi. Sebenarnya Ramamu masih hidup. Dia hanya pura-pura mati untuk memuaskan nafsu Durga dan Dewasrani. Petruk, kamu temui Antasena Sapta Pertala dan Gareng kamu temui Wisanggeni di Daksinapati. Sampaikan pesanku, untuk membantu kalian mencari Semar,” kata Krisna.

ilustrasi: semar mesem, chryshnanda dl.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan