Tubuh, Viralitas, dan Absennya Negara

29 views

Masyarakat akar rumput, remaja pedesaan, pedagang kecil, buruh tani, buruh lepas, hingga orang miskin perkotaan kini seolah mendapat “angin harapan” di tengah arus digitalisasi.

Platform-platform media sosial, seperti: YouTube, Facebook, Tiktok, dan Instagram, menjadi wadah untuk mengekspresikan diri. Bukan hanya mengekspresikan diri, lebih dari itu bahkan sampai “mendagangkan diri”. 

Advertisements

Apa yang saya maksud “mendagangkan diri” adalah, menjadikan diri sendiri atau mengekspos urusan privat (domestik) ke ruang publik, untuk meraup pendapatan. Tubuh menjadi alat komoditi. Viralitas dianggap sebagai jalan pintas, untuk keluar dari lingkar kemiskinan.

Fenomena ini, disebut oleh Byung Chul Han, sebagai The Transparency Society (masyarakat transparansi). Kaburnya batas, antara ruang privat dan ruang publik dalam masyarakat.

Viralitas dan Jeratan Kemiskinan

Tentu saja, persoalan ini tidak berdiri sendiri. Ia terkait satu sama lain. Mulai dari keterbatasan akses pendidikan, kurangnya lapangan kerja, hingga jeratan kemiskinan.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, diketahui bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 9,36% atau sekitar 26,36 juta jiwa. Kemudian, sebanyak 7,45 juta jiwa yang tidak mendapatkan pekerjaan (pengangguran). Serta sekitar 3,98 juta jiwa mulai usia 16 sampai 24 tahun tidak melanjutkan pendidikan maupun bekerja (BPS, 2024). 

Di tengah ketidakpastian hidup tersebut, negara seolah lepas tangan dari persoalan rakyatnya. Pada saat yang sama, media sosial hadir menawarkan ilusi, bahwa viralitas dapat mengangkat derajat ekonomi mereka. 

Maka, tontonan seperti: prank merendahkan diri, konflik keluarga, aib suami istri, joget-joget vulgar, dan sebagainya, menjadi ramai memenuhi beranda-beranda media sosial kita hari-hari ini.

Prinsipnya, semakin ramai pemirsanya, maka semakin besar pula penghasilan yang akan didapatkan. Sebab, logika ekonomi-kapitalisme tidak membayar berdasarkan kualitas, tapi berdasarkan kuantitas atau viralitas. Dan algoritma media sosial cenderung lebih mengarusutamakan konten-konten kontroversial daripada konten-konten yang bersifat edukatif.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan