Kabar Presiden Amerika Serikat Donald Trump melarang Universitas Harvard menerima mahasiswa asing menggemparkan publik. Meski hingga saat ini belum terbukti secara resmi, isu tersebut sudah cukup untuk menimbulkan kekhawatiran luas, terutama di kalangan akademisi dan mahasiswa internasional.
Munculnya rumor ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Donald Trump memiliki sejarah panjang kebijakan yang keras terhadap imigran dan pengurangan akses warga negara asing ke institusi dan fasilitas di Amerika Serikat. Maka, meski belum ada larangan resmi, kekhawatiran terhadap arah kebijakan tersebut sangat masuk akal.

Universitas Harvard bukan sekadar institusi pendidikan di Amerika. Ia adalah simbol global dalam dunia akademik, tempat bertemunya pemikir dari berbagai latar belakang, budaya, dan negara. Ribuan mahasiswa internasional datang setiap tahun untuk belajar dan berkontribusi di sana, bukan hanya dalam hal akademik, tetapi juga dalam kehidupan kampus yang beragam dan dinamis.
Mahasiswa asing memperkaya diskusi di ruang kelas, membawa perspektif baru dalam penelitian, dan membangun jaringan global yang sangat diperlukan untuk menjawab tantangan dunia modern. Menutup pintu bagi mereka, baik secara langsung maupun melalui kebijakan yang menghambat akses, sama saja dengan mengerdilkan peran Harvard sebagai pusat pemikiran dunia.
Trump pernah mencoba kebijakan serupa pada masa pandemi Covid-19. Pada pertengahan 2020, pemerintahannya mengumumkan bahwa mahasiswa asing yang kuliah secara daring akibat pandemi tidak akan diizinkan tinggal di Amerika. Harvard dan MIT menggugat kebijakan itu ke pengadilan, dan akhirnya berhasil membatalkannya.
Insiden tersebut menunjukkan bahwa di bawah tekanan politik, pendidikan dapat dijadikan alat kontrol imigrasi. Ini bukan hanya soal visa, tapi tentang gagasan bahwa akses ke ilmu pengetahuan bisa dibatasi oleh kepentingan politik nasionalis.
Padahal, ilmu pengetahuan bersifat lintas batas. Ia tidak mengenal kewarganegaraan. Sejarah membuktikan bahwa kemajuan dunia lahir dari kolaborasi antarnegara dan antarbudaya. Dari revolusi sains di Eropa, pertukaran ide di universitas-universitas Islam pada Abad Pertengahan, hingga perkembangan teknologi global hari ini—semua terjadi karena terbukanya ruang pertukaran ilmu dan gagasan.
Mahasiswa asing bukan ancaman, melainkan sumber kekuatan dan energi baru. Mereka datang dengan semangat belajar, berkontribusi dalam riset, membayar biaya pendidikan yang mendukung keuangan universitas, dan membawa pulang nilai-nilai demokrasi, kebebasan berpikir, dan kemajuan ketika kembali ke negara asal mereka.
Jika universitas seperti Harvard tunduk pada tekanan politik yang ingin menjadikannya eksklusif hanya untuk warga negara tertentu, maka Amerika akan kehilangan pengaruh moralnya di dunia pendidikan. Calon mahasiswa dari seluruh dunia akan mencari alternatif ke Kanada, Inggris, Australia, dan negara lain yang lebih terbuka. Reputasi Amerika sebagai pusat pendidikan dunia pun akan merosot. Ini bukan hanya soal nama besar Harvard, tapi tentang arah masa depan pendidikan global yang sedang dipertaruhkan.
Otonomi akademik adalah salah satu prinsip paling fundamental dalam dunia pendidikan tinggi. Pemerintah tidak seharusnya ikut campur dalam menentukan siapa yang layak atau tidak layak untuk belajar. Apalagi jika keputusan tersebut didasari oleh retorika politik yang diskriminatif. Pendidikan harus dibebaskan dari tekanan ideologi sempit. Ketika seorang calon mahasiswa mendaftar ke Harvard, ia membawa harapan. Harapan untuk berkembang, untuk berkontribusi, dan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Harapan itu tidak boleh dihancurkan hanya karena ia lahir di luar batas negara Amerika Serikat.
Maka meski kabar pelarangan mahasiswa asing oleh Trump belum bisa dikonfirmasi, kita tidak boleh diam. Kita perlu bersuara. Kita perlu mempertahankan nilai keterbukaan, keberagaman, dan kebebasan berpikir dalam dunia pendidikan. Sebab ketika universitas mulai menutup diri, yang hilang bukan hanya mahasiswa asing, tapi juga potensi dunia untuk menjadi lebih adil, cerdas, dan beradab.
Selain itu, larangan semacam ini juga bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia. Pendidikan merupakan hak dasar yang seharusnya dapat diakses oleh siapa saja tanpa diskriminasi. Menghalangi mahasiswa asing dari akses pendidikan tinggi adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip ini dan memperkuat praktik diskriminatif yang tidak hanya menyakiti individu, tapi juga melemahkan kemajuan sosial secara umum.
Fenomena globalisasi menuntut keterbukaan, kolaborasi, dan pengakuan atas keberagaman. Pendidikan tinggi adalah salah satu arena terpenting untuk membangun jembatan antarbangsa dan mempersiapkan generasi penerus yang mampu menyelesaikan masalah-masalah kompleks dunia. Isolasi dan pembatasan akses justru akan memperkuat polarisasi dan ketegangan antarnegara yang sedang meningkat saat ini. Maka dari itu, kebijakan yang menghambat mahasiswa asing bukan hanya merugikan universitas dan individu, tetapi juga mengancam stabilitas dan kemajuan dunia secara keseluruhan.
Biarkan Harvard tetap menjadi milik dunia, bukan hanya milik satu bangsa. Sebab ketika kita mulai membatasi siapa yang boleh belajar, kita juga mulai membatasi kemungkinan masa depan yang bisa kita ciptakan bersama.