Tradisi “Lekoran” Orang Madura

1,301 kali dibaca

Orang Madura memang selalu menciptakan kultur yang unik dalam bingkai sosial. Sikap solidaritas yang memang sejak dulu dipandang sebagai karakteristik ke-Madura-an bukanlah omong kosong melompong. Faktanya, realitas demikian memang ada bahkan sejak nenek moyang.

Salah satu karakter kemaduraan yang menonjol adalah kekeluargaan dan kekerabatan. Orang Madura biasanya terkenal ulet dengan hal-hal demikian. Nasab dan hubungan kekerabatan dijaga betul, begitu juga dengan sikap tolong menolongnya. Orang Madura, dalam hal ini, akan bersikap ghate (semangat membantu) dengan song-osong lambhung-nya (gotong royong).

Advertisements

Hal itu bisa dilihat dalam gaya hidup (lifestyle) orang Madura setiap harinya dalam lingkup sosial. Apalagi ketika ada acara-acara sosoal kemasyarakatan (baik kecil atau besar). Mulai dari acara rokat (selamatan) sampai hajatan-hajatan besar, bahkan di acara lalabat (takziah). Keluarga mendiang bisa saja tidak mengeluarkan duit besar (banyak). Para tetangga akan saling bahu-membahu menyiapkan pemakaman, makanan untuk tamu-tamu yang ngelayat, dan lain-lainnya.

Fakta tersebut, bahwa solidaritas orang Madura relatif tinggi, juga tercermin ketika bulan Ramadan. Ada beberapa tradisi unik yang melibatkan relasi horizontal (manusia dengan manusia) dan relasi vertikal (manusia dengan Tuhannya) sekaligus. Lebih-lebih pada tanggal lekoran, periode 21 sampai akhir Ramadan. Di tanggal-tanggal tersebut tradisi demikian makin kental tersuguhkan

Palotan

Pada bulan Ramadan kemarin, saya dan beberapa santri Pondok Pesantren Ruhul Islam Almuntaha, Sumenep, selesai melaksanakan kajian kitab Fathul Qarib di masjid. Sebagaimana rutinitas kami setiap Ramadan tiba adalah mendiskusikan dan sama-sama mengaji kitab-kitab kuning ringan dan sederhana.

Tak lama kemudian, kami melihat beberapa gerombolan ibu-ibu membawa berpinggan-pinggan palotan menuju masjid pesantren kami. Masjid yang biasa kami tempati untuk berinteraksi dengan kitab-kitab kuning, masjid tempat warga-warga lokal dan para santri salat tarawih. Mereka terlihat berbaris memanjang ke belakang.

Bagi yang belum tahu, palotan adalah istilah Madura untuk menyebut beras ketan yang sudah ditanak. Biasanya, palotan dilengkapi dengan toping yang khas. Topingnya berupa telur rebus dan parutan kelapa yang sudah disangrai gurih. Setelahnya, palotan ini dihidangkan untuk jemaah tarawih, jemaah tadarus, dan santri.

Sehabis tarawih, para jemaah biasanya tidak langsung beranjak pulang. Beberapa dari mereka memilih bercakap dengan jemaah lain dengan menyantap hidangan palotan tadi. Palotan kian menjadi bingkai perbincangan hangat kekeluargaan.

Pemandangan seperti itu sebenarnya sudah sejak lama berakar di Madura. Di surau-surau sampai masjid, pada tanggal lekoran, hal itu masif dijumpai. Tak hanya di surau-surau dan masjid saja, warga juga akan berkunjung ke tetangga-tetangga mereka untuk mengantarkan palotan-palotan hasil masakannya.

Tentu realitas demikian tidak bisa hanya diinterpretasikan dengan sebatas makanan saja. Lebih dari itu, ada hal yang lebih esensial meliputi kerekatan emosional, solidaritas, dan keramahan yang tercipta. Selain itu, sikap toleransi juga kadang tercitra di dalamnya. Sebab, salah satu tetangga saya yang non-muslim (yang bermukim di desa Mandala, Sumenep) juga kerap menerima palotan tersebut.

Memang, keberadaan palotan bukan menjadi sesuatu yang wajib ada pada setiap bulan ramadhan. Namun, jika boleh dianalogikan, Ramadan di Madura (utamanya pada tanggal lekoran) tanpa palotan bagaikan sayur tanpa garam, bisa dimakan, tapi hambar.

Tradisi unik lain bisa kita temukan di Desa Gedang-gedang, Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep. Ada salah satu tradisi yang secara rutin menjadi warna ketika Ramadan tiba. Tradisi itu adalah saling berkunjung ke rumah-rumah tetangga.

Hal ini biasa dilakukan ketika tanggal 27 Ramadan. Tanpa menunggu lebaran tiba, para warga lokal berbondong-bondong mengunjungi rumah tetangga dekatnya. Mereka akan saling bersilaturrahmi dengan membahas hal-hal apa saja yang sekiranya renyah untuk dibahas. Sebab, esensi vitalnya adalah mempererat tali kekerabatan antartetangga.

Tradisi ini bahkan bisa kita jumpai sampai sekarang, dan akan terus dijalankan pada Ramadan-Ramadan selanjutnya. Ini menjadi bukti kuat bahwa Madura dengan segala kekhasannya bisa menampakkan eksistensi yang sangat eksotik untuk dipandang, baik oleh orang Maduranya sendiri atau oleh orang luar Madura. Wallahu a’lam…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan