Kiai Bisri Musthofa selama ini dikenal sebagai ulama yang produktif menulis kitab atau buku. Berbagai judul kitab, baik versi terjemahan makna gandul ataupun risalah kecil, telah ditulis oleh beliau.
Salah satu karya beliau yang hingga kini masih dikaji oleh kiai-kiai dusun adalah Tafsir Al-Ibriz.

Kali ini, kita akan mengupas tiga kitab karya Kiai Bisri tentang tuntunan manasik haji yang beliau tulis secara ringkas dan periodik.
Pertama, Kitab Tuntunan Ringkas Manasik Haji. Kitab ini ditulis oleh beliau menggunakan bahasa Jawa beraksara arab pegon. Pada mukadimah, disebutkan bahwa kitab tersebut ditulis pada tanggal 01 Rabius Tsani 1382 H/31 Agustus 1962 H dan dicetak di Percetakan Menara Kudus.
Selain memuat berbagai keperluan seputar haji, seperti menata niat, fikih haji, hingga bekal apa saja yang perlu dipersiapkan pada pelaksanaan haji kala itu yang masih menggunakan kapal laut. Kemudian, di dalam kitab ini, disertakan pula tuntunan doa yang dibaca oleh para jemaah haji ketika berada di beberapa tempat, seperti doa ketika melihat Kakbah, doa ketika tawaf, doa sai tatkala masuk wilayah berlampu neon hijau, dan lain-lain.
Penulisan kitab ini pada dasarnya sebagai penyempurna kitab tuntunan ibadah haji beliau sebelumnya yang diterbitkan oleh Percetakan Salim Nabhan, Surabaya. Namun untuk kitab sebelum ini, penulis masih belum mendapat naskah aslinya.
Kedua, Kitab Mudzakiratu Juyubi Al–Hujjaj. Kitab ini permulaan penulisannya bertanggal 02 Syawal 1382 H/26 Februari 1963. Kitab yang berukuran saku ini merupakan kitab ringkas berisikan tuntunan doa-doa yang dibaca dalam ibadah haji.
Adapun, corak bahasa yang digunakan dalam penulisan kitab ini ialah bahasa Indonesia lengkap dengan aksara arab pegon. Kemudian kitab ini diselesaikan oleh Kiai Bisri pada tanggal 11 Dzulqa’dah 1383 H/05 April 1963.
Kedua buku yang beraksara arab pegon tersebut penulis temukan di kediaman Almaghfurllah KH Syamsul Mu’in Cholid, Pendiri Pondok Pesantren Darul Amien, Gembolo, Purwodadi, Gambiran, Banyuwangi. Di masa itu, kedua kitab tersebut digunakan bekal ibadah haji pertama beliau di tahun 1981.
Ketiga, Rafiqul Hujjaj atau Pengantar Haji dalam Bahasa Indonesia. Kitab ini ditulis menggunakan aksara latin dan dengan bahasa Indonesia yang penulisannya dimulai pada tanggal 01 Januari 1972 dan selesai pada tanggal 01 Januari 1975. Kitab ini diterbitkan Penerbit Menara Kudus.
Kitab tersebut lahir karena banyak permintaan dari kolega Kiai Bisri untuk menuliskan kembali kitab Manasik Haji dalam bahasa Indonesia beraksara latin. Hal itu diperlukan untuk mengimbangi pemahaman ilmu agama seputar haji bagi kalangan awam. Uniknya, kitab ini mendapat kata pengantar (taqdim) dari Rais Amm Syuriah PBNU KH Abdul Wahab Hasbullah dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU DR KH Idham Chalid kala itu.
Dalam pengantarnya, Kiai Wahab mengatakan bahwa naskah manasik tersebut baik, ringkas, dan mencukupi kebutuhan. Adapun, Kiai Idham dalam pengantarnya mengatakan bahwa kitab manasik haji tersebut cukup praktis, singkat, komplit, dan banyak sekali gunanya bagi saudara-saudara yang akan menunaikan ibadah haji. Bahkan, juga sangat berguna bagi petugas haji yang ditunjuk pemerintah untuk memberikan pengertian seputar manasik kepada calon jemaah haji.
Yang menarik, kitab ini juga dilengkapi muhadasah (percakapan) singkat yang diperlukan oleh jemaah haji ketika berkomunikasi dengan orang Arab yang ada di Tanah Suci.
Kemudian, Kiai Bisri dalam kitabnya ini merevisi beberapa istilah yang disesuaikan dengan kondisi Tanah Suci kala itu. Seperti, bab Bani Syaibah yang kala itu (1972) sudah tidak ada lagi atau kondisi makam Ibrahim yang diperkecil karena untuk perluasan area tawaf/mataf.
Sebagaimana di kitab yang terdahulu, Kiai Bisri di akhir pembahasan juga menyertakan barang-barang yang wajib dibawa, yakni kain mori putih sebanyak dua lembar. Hal tersebut sebagai antisipasi jika para jemaah haji sewaktu-waktu wafat di perjalanan.
Waba’du, demikian sekelumit tentang tiga kitab tuntunan manasik haji yang ditulis oleh Kiai Bisri. Ketiga kitab tersebut, apabila kita telaah secara dalam, materinya menyiratkan bahwa ibadah haji tempo dulu sangat penuh perjuangan. Berbeda dengan kondisi pelaksanaan ibadah haji di zaman ini yang sudah dilengkapi beberapa fasilitas dan dicukupi kebutuhannya oleh pemerintah melalui Kementrian Agama. Wallahu A’lam…