Saat mengunjungi perpustakaan, tiba-tiba mata saya diperlihatkan dengan satu buku kecil nan tipis. Ia berada di sela buku-buku besar yang tersusun rapi. Laksana batu kecil yang tengah berada dalam tumpukan emas dan permata, seakan ia tidak memiliki nilai sedikitpun.
Tapi kenyataannya, buku ini sangat berharga bahkan bisa mengantarkan seorang hamba yang berlumuran dosa pada kesuksesan di sisi Allah. Buku yang saya maksud itu adalah Pedoman Thariqatul Ulama. Buku ini disusun oleh Syaikh Hasan Ahmad Addari Anwar Syuriah.

Di sampul depan, ada tulisan yang menjelaskan bahwa pada waktu itu, beliau sempat menjabat sebagai pengurus Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Rektor Universitas Islam Tapanuli, Sumatra Utara.
Sementara di balik sampul tersebut ada pengantar dari al-Arif Billah KH As’ad Syamsul Arifin yang pada waktu itu menjabat sebagai Mustasyar NU.
Berikut ini saya kutip pengantarnya dari beliau: “Saya bersyukur kepada Allah Swt, dan menyampaikan terima kasih Kepada Syaikh Ali Hasan Ahmad Addari, anggota Mustasyar PBNU, yang dalam kesibukannya sehari-hari masih sempat menyusun buku yang berjudul “PEDOMAN THARIQATUL ULAMA” ini. Dengan tersusunnya buku ini saya ikut mengharapkan kepada warga Nahdlatul Ulama untuk membaca dan memahaminya, kemudian diamalkan apabila sudah memungkinkan. Semoga buku ini, benar-benar berguna dan manfaat bagi kita sekalian.”
Dari pengantar sang pembawa pesan berdirinya NU ini, sangat jelas, bahwa beliau punya harapan besar agar buku ini menjadi pegangan semua warga NU dalam berzikir.
Dalam prolog dari penulisnya, sedikit diceritakan bahwa dalam proses pembuatan buku ini, beliau mengawali dengan melaksanakan salat istikharah. Salat dilakukan untuk memberikan nama bukunya, susunan bab dan pasalnya, sumber-sumber buku ini, dan lain sebagainya.
Selain itu, diceritakan bahwa beliau merupakan Khirrij lulusan Dar al-Ulum di Makkah. Bahkan beliau juga menjelaskan bahwa buku ini merupakan hasil bacaan dari buku al-Qul al-Jamil karya wali Allah ad-Dahlawi serta hasil ilham dari Allah Swt di waktu berzikir. Masyaallah!
Dan setelah saya hitung, karena buku ini tidak ada daftar isinya, ternyata mengandung sebelas poin. Poin pertama membahas dasarnya Thariqatul Ulama. Dalam pembahasan ini beliau mengutip tiga ayat serta dua bait syair dari kitab al-Adzkiya’. Salah satu dasarnya adalah firman Q. S. (Al-Fatir: 28)
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ
Artinya: “Hanya saja yang paling takut kepada Allah dari hamba-hambanya ialah para ulama.”
Poin kedua adalah Ihda, persembahan dari buku ini. Dalam poin ini beliau menjelaskan bahwa buku ini dipersembahkan kepada para ulama. Di antaranya, pembesar ulama syariat dan tarekat di Indonesia.
Pembahasan keempat berbicara soal etika seorang murid ketika ingin memasuki tarekat. Disebutkan bahwa seorang murid harus punya niat yang tulus dan ikhlas, lalu melaksanakan salat istikharah dua rakaat. Kemudian di rakaat pertama membaca surah al-Kafirun. Sementara di rakaat kedua membaca surah al-Ikhlash. Terakhir ditutup dengan membaca doa salat istikharah, dilanjutkan dengan menundukkan kepala seraya menunggu ilham dari Allah. Lalu menggerakkan hati nurani, jika hati belum bergerak, diulangi lagi sampai tiga kali.
Kemudian di poin kelima dari buku ini, dijelaskan tata cara menerima baiat dari sang mursyid (istilah guru dalam dunia tasawuf). Sementara di pembahasan kelima, beliau menjelaskan tata cara menerima talkinan zikir dari mursyidnya.
Setelah itu, di poin keenam dan ketujuh beliau menjelaskan syarat menjadi murid dan syarat menjadi mursyid. Misalnya, seorang murid diharuskan mengetahui ilmu syariat (ilmu fikih). Sekurang-kurangnya, ia mampu memahami kitab Ghayah at-Taqrib. Sementara bagi mursyid, salah satu syaratnya adalah harus paham ilmu fikih serta mengamalkannya. Dan menimal ia harus menguasai kitab Fath al-Qarib.
Baru di poin kelapan, beliau menjelaskan macam-macam zikir dalam tarekat. Menurut beliau, zikir dalam Thariqatul Ulama terbagi menjadi empat bagian. Pertama, zikir Anfas, yakni zikir yang mengikuti keluar masuknya napas, menahan napas, kemudian dikeluarkan dengan berangsur-angsur. Kedua, zikir murur. Zikir ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu kalimat La Ilaha Illa Allah (zikir Nafi dan Itsbat) dan zikir Itsbat, yaitu lafaz Allah.
Ketiga, zikir al-Jahr, yaitu zikir dengan suara yang tinggi. Zikir ini ada dua macam, yaitu kalimat La Ilaha Illa Allah dan kaliamat Allah.
Keempat, zikir al-Muraqabah, yaitu berzikir dengan mengingat atau menghadirkan zat Allah. Adapun, zikir ini ada tiga bagian, yaitu berzikir di pusat, berzikir dengan suara yang kecil dan tempatnya adalah di antara susu yang kanan dan susu yang kiri. Sementara, yang ketiga adalah berdzikir di bawah susu kiri saja.
Selanjutnya, di poin kesepuluh, beliau menjelaskan ijazah khasshah atau khusus terhadap ulama ahli syariat dan tarekat. Kemudian, poin terakhir ditutup dengan penjelasan silsilah zikir Thariqah Ulama, yang kemudian bersambung kepada Nabi Muhammad, Malaikat Jibril, dan Allah Swt.
Nah, tepat di bagian depan dari sampul belakang, ada penjelasan, bahwa ada tiga buku yang disusun oleh Syekh Hasan Ahmad. Yaitu, buku yang berjudul Berkhalwat Dalam Islam, Tuntunan Berdzikir, dan terakhir adalah buku ini, Thariqatul Ulama.
Tentu, menurut saya, buku ini tak ada bedanya dengan buku lainnya. Bahwa selagi ia ciptaan manusia, mesti mengandung kelebihan dan kekurangan. Mungkin kelebihan dari buku ini adalah berbahasa Indonesia tapi dengan aksara Arab Pegon. Sehingga, buku ini bisa dikomsumsi oleh semua lapisan masyarakat NU atau Nahdliyyin. Dan enaknya, buku ini juga bisa dikhatamkan dalam satu kali duduk. Sebab, isinya hanya berjumlah dua pulu tiga halaman. Dan ini sudah termasuk dua sampulnya.
Tetapi kalau dilihat dari segi kekurangannya, mungkin, adalah dalam buku ini tidak memberikan ijazah Ammah atau umum kepada warga Nahdliyyin. Meskipun, sebenarnya beliau sudah memperkenankan untuk mengamalkan isinya dengan semata-mata membeli bukunya.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah masih ada percetakan yang mencetak buku ini, mengingat buku ini ditulis sekitar tahun 1406 H atau 1986 M. Sehingga, pertanyaan selanjutnya apakah masih ada warga Nahdliyyin yang bisa mendapatkan buku ini? Wallahu a’lam. Semoga tulisan ini bermanfaat. Aamiin. Ta’ammal!