Tetap Jernih di Tengah Keruhnya Media Sosial

685 kali dibaca

Diakui atau tidak, akhir-akhir ini kehidupan kita memang dimanja oleh telepon pintar. Dari kisah para leluhur, dulu mereka balik ke rumah meski sudah sampai separo perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki jika lupa tak membawa Al-Quran. Beda dengan kita saat ini. Ketika sedang bepergian, terasa ada yang tertinggal bila tak bersanding smartphone —dan kita bisa putar balik untuk mengambilnya.

Beragam aktivitas kita dalam men-tasaruf-kan smartphone. Ada kalanya demi tuntutan pekerjaan, gaya hidup, iseng, hiburan, biar tak kalah saing dari teman, dan segudang alasan lainnya.

Advertisements

Disadari atau tidak, dengan hadirnya smartphone di genggaman kita, berita semakin gesit berseliweran di depan kita. Ngainum Naim dalam bukunya Menipu Setan (2015), menyatakan, era sekarang ini menjadikan manusia tidak bisa memisahkan hidupnya dari media informasi dan komunikasi. Prinsip pokoknya adalah teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ibarat pedang bermata ganda. Ia bisa memberikan manfaat yang besar buat kehidupan kita sekaligus mencelakakan diri kita.

Hal ini bermakna bahwa bermanfaat atau berbahaya bergantung kepada pemegangnya. Jika pemegangnya menggunakannya untuk tujuan positif, tentu akan banyak manfaat yang direngkuh. Namun, jika menggunakannya untuk tujuan negatif, tentu hal negatif juga yang akan diperolehnya.

Bijak Bermedia Sosial

Semua media sekarang telah hadir dalam kehidupan kita. Tentu bukan sikap bijak jika memposisikan diri untuk menolak kahadirannya. Sikap semacam ini justru membuat kita semakin terasing dari kehidupan. Akan tetapi, hanyut dan ikut arus tanpa filter juga bukan sikap hidup yang bijak. Silakan lihat, betapa banyak korban media. Hidup mereka rusak karena terpengaruh media.

Nur Rohmad (NU Online, 03/12/2020) mengatakan, “Di era medsos seperti saat ini, kita tidak hanya dituntut untuk menjaga lidah. Namun kita juga dituntut agar menjaga jempol dan jari-jari kita. Karena apa yang kita tulis dengan tangan sejatinya sama dengan apa yang kita ucapkan dengan lisan.”

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin berujar: “Innal qalama ahadu lisanain. Sesungguhnya pena (tulisan) adalah salah satu dari dua lisan.”

Tak jarang, demi ingin disebut sebagai pihak pertama yang menyampaikan berita, seseorang dengan mudahnya membagikan kabar tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu tentang kebenarannya. Berita itu dengan cepat menyebar dari satu grup percakapan ke grup lainnya, bahkan seringkali menyebar hingga ke berbagai media sosial.

Puluhan bahkan mungkin ribuan orang dengan cepat memperoleh berita tersebut. Jika yang disebar adalah berita yang benar, tentu tak jadi soal. Akan menjadi masalah ketika berita tersebut tidak benar dan bahkan cenderung ke arah fitnah dan mengadu domba. Akibatnya bisa sangat fatal.

Informasi yang kita sampaikan, jika ia adalah hoaks, maka tidak hanya menjatuhkan pelakunya pada dosa bohong. Akan tetapi juga dapat menjerumuskannya pada dosa-dosa yang lain. Di antaranya adalah dosa namimah (mengadu domba).

Nur Rohmad menambahkan, para ulama mendefinisikan berbohong dengan makna “Menyampaikan perkataan yang berbeda dengan kenyataan, padahal ia tahu bahwa perkataannya itu memang berbeda dengan kenyataan.”

Berbohong hukumnya bisa dosa kecil, dosa besar, bahkan bisa menjerumuskan kepada kekufuran. Jika sebuah kebohongan tidak mengandung bahaya yang mengenai seorang muslim, maka ia termasuk dosa kecil. Namun demikian, dosa kecil tidak boleh diremehkan karena gedung pencakar langit pada hakikatnya adalah tumpukan dari batu-batu bata yang kecil.

Refleksi dan Jalan Keluar

Kondisi kehidupan yang semakin rumit seperti ini, mengharuskan kita melakukan refleksi. Refleksi memberikan peluang untuk memahami dan membaca realitas secara lebih jernih. Refleksi juga sering dilakukan oleh para tokoh besar sebelum mereka melakukan transformasi kepada masyarakat. Kita bisa mengambil hikmah atas apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika beliau bertafakur di Gua Hira sebelum mendapatkan wahyu dari Alllah.

Dr Nadisyah Hosen dalam bukunya yang inspiratif, Mari Membaca Iman (2011), menyuguhkan  beberapa pelajaran penting yang layak untuk diteladani. Pertama, saat moralitas dan hati nurani tidak menjadi keindahan suatu masyarakat, kita harus menyingkir untuk memikirkan kondisi masyarakat. Kedua, di tengah masyarakat yang berlumur maksiat, kita harus menghela napas sejenak dan mencoba menyucikan diri terlebih dahulu sebelum menyucikan masyarakat luas. Ketiga, di tengah “kesendirian”, kita bertafakur untuk mencari solusi terbaik dari persoalan yang dihadapi.

Sejarah menginformasikan kepada kita untuk sesering mungkin bertafakur. Semestinya kita berikan kesempatan kepada diri kita untuk mendamaikan hati dengan keheningan, ketenangan dan membangun komunikasi dengan Allah Swt agar kita selalu mendapatkan keberkahan dan petunjuk-Nya sehingga bisa bijak dalam menghadapi hidup ini.

Di era yang penuh fitnah ini, memperbanyak diam sembari mengolah pikir adalah sikap bijak yang dapat kita lakukan. Kita tahan lisan dan jari jemari kita agar tidak banyak bicara dan banyak berkomentar agar kita selamat.

Marilah kita amalkan hadis Rasulullah Saw: “Man shamata naja. Barangsiapa diam, maka ia selamat.”

Wallahu a’lam bi shawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan