Roadshow jejaring duniasantri (JDS) untuk pelatihan kepenulisan kembali digelar. Kali ini, yang menjadi tuan rumah adalah Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari, Kamis-Jumat, (29-30/5/2025), ini terbilang sangat sukses. Bahkan, seorang peserta menyebutnya sebagai pelatihan terbaik yang pernah dia ikuti.
Tentu saja suksesnya pelatihan kepenulisan tersebut menghadirkan kelegaan. Tapi tak banyak yang tahu jika kegiatan ini justru berawal dari hal-hal yang tak masuk akal. Sebab, hingga saat itu, pelatihan kepenulisan di Cipasung memang belum ada dalam agenda jejaring duniasantri.

Semuanya berawal ketika suatu hari, tanpa sengaja, saya bertemu dan berkenalan dengan seseorang yang bernama Chandra Wijaya. Hari itu, Minggu, 15 Desember 2024, saya diundang menghadiri diskusi tentang “Literasi Keagamaan atas Kekerasan terhadap Perempuan” yang diselenggarakan komunitas Buku Senior di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Saya tergolong sangat jarang menghadiri acara sejenis itu. Tapi hari itu, ndilalah, saya nawaitu berangkat bersama Cak Tarno. Di tengah diskusi yang dijeda oleh hujan deras, muncul seseorang yang tak hanya sendirian, tapi juga tampak terasing. Setelah disapa Cak Tarno, seseorang yang kemudian kami panggil Bro Chan itu nimbrung di meja kami. Mulailah kami saling berkenalan dan bercakap. Setelah itu, beberapa kali kami janjian untuk ngopi-ngopi.
Kita lupakan tentang agama yang dipeluknya. Tapi, Bro Chan ini orang yang gandrung menziarahi makam-makam keramat, terutama makam para wali dan kiai atau ulama di berbagai pelosok negeri. Dia akan mengunjungi makam-makam tersebut sesaat setelah merasa memperoleh panggilan atau bisikan. “Itu ketika radar saya bergetar,” katanya.
Dalam satu obrolan, Bro Chan bercerita, suatu hari dia menyusuri daerah Jawa Barat. Di bawah hujan yang ditudung gelapnya malam, tiba-tiba mesin motor yang dia dikendarai berhenti sendiri. Persis di depan tempat orang jualan bakso di persimpangan jalan. Dia tak tahu nama tempat tersebut. Setelah berhenti beberapa lama, mesin motornya bisa hidup kembali, dan dia langsung meneruskan perjalanan pulang ke Jakarta. Baginya, itu adalah sebuah isyarat. Tapi dia belum tahu isyarat tentang apa.
Keesokan harinya, melalui aplikasi, dia mengecek titik koordinat di mana mesin motornya mati dan perjalanannya terhenti. “Ternyata itu hanya beberapa langkah dari Pondok Cipasung,” katanya setelah menceritakan peristiwa yang pernah dialaminya tersebut.
“Ayo bro, kita ke sana, pasti ada tempat yang harus diziarahi,” ajaknya, ketika saya mengobrol dengannya, juga bersama Bro Daniel. Menurut Bro Chan, itulah isyarat kenapa motornya mati di sana ketika itu.
Kami bertiga akhirnya menetapkan rencana untuk jalan-jalan ke Tasikmalaya, dan tempat pertama yang akan kami tuju adalah Pondok Pesantren Cipasung. Di sana, kami akan ziarah ke makam KH Ilyas Ruhiat, Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1992-1999.
Namun, hingga saat itu kami belum memiliki contact person di Cipasung. Saya tahu ada KH Acep Zamzam Noor yang kondang itu, tapi saya belum pernah kenal secara pribadi. Saya kemudian mengontak Mas Hilmi Faiq, Redaktur Harian Kompas itu, untuk meminta nomor telepon Kang Acep, sapaan akrab KH Acep Zamzam Noor.
Akhirnya, ketika orang-orang usai merayakan tahun baru, pada 2 Januari 2025, kami bertiga — saya, Bro Daniel, dan Bro Chan– meluncur ke arah Cipasung. Dalam perjalanan, niat untuk lebih dulu menelepon Kang Acep saya urungkan. Justru, jika saya jadi menelepon, rencana tersebut bisa jadi batal atau berubah haluan. Tekad kami sudah bulat: diterima atau tidak, tempat pertama yang harus kami datangi adalah rumah Kang Acep.
Dan benar saja. Kang Acep tampak begitu terkejut ketika kedatangan tamu yang tak dikenal. Namun, setelah kami memperkenalkan diri, dan mengutarakan maksud kunjungan kami, Kang Acep mulai terlihat bungah. Kami pun segera terlibat obrolan yang menyenangkan.
Obrolan di Makam
Malam itu, Kang Acep meminta salah satu putranya, Diwan Masnawi, untuk menemani kami ziarah ke makam para masyayikh Pondok Cipasung. Sebelum beranjak ke makam, kesempatan itu saya gunakan untuk wawancara khusus dengan Kang Acep yang hasilnya sudah dirilis di sini.
Saat ziarah ke makam Kiai Ilyas Ruhiat, kami juga ditemani para cucunya, Diwan Masnawi dan Muhammad Thoriq Aziz, serta Ajang M Abdul Jalil. Usai ritual ziarah, kami masih terlibat obrolan panjang nan syahdu di samping pusara Kiai Ilyas Ruhiat hingga tengah malam. Namun, hingga saat itu, belum ada yang bisa disimpulkan dari obrolan tengah malam di tengah makam itu. Yang sudah pasti, kami akan segera datang lagi.
Purnama di Galunggung
Sehabis Lebaran, persisnya pada 12 April 2025, kami kembali ke Cipasung. Persis malam purnama. Sehabis sowan ke pengasuh Pondok Cipasung, kami menghabiskan purnama di lereng Galunggung sembari berendam di kolam air panas dari mata air gunung.
Pada perjalanan yang kedua inilah, dari pengasuh pondok kami memperoleh restu untuk menyelenggarakan pelatihan penulisan kreatif dan jurnalistik yang dijadikan bagian dari rangkaian kegiatan Pra-Haul ke-2 Masyayikh Cipasung. Setelah itu dibentuk panitia bersama. Panitia dari “Geng Cipasung” bertugas menyiapkan teknis pelaksanaan, dari duniasantri menyiapkan seluruh materi dan narasumbernya. Sastrawan Putu Fajar Arcana, Redaktur Kompas Hilmi Faiq, Ngatawi Al-Zastrouw alias Kang Zastrouw, dan peneliti Dahris Siregar langsung mengosongkan waktu begitu kami menyodorkan jadwal pelatihan akan digelar pada 29-30 Mei 2025.
Kick Off Pra-Haul
Sejak itu kami sering mengadakan rapat secara online sampai persiapan benar-benar matang. Dan hari yang sangat dinanti itu akhirnya tiba juga. Di hari pertama, pelatihan dengan materi penulisan opini dan dasar-dasar jurnalistik diikuti lebih dari 50 peserta dengan narasumber Hilmi Faiq dan Mukhlisin. Peserta tidak hanya datang dari Pondok Cipasung, tapi juga dari daerah-daerah sekitarnya, termasuk Ciamis dan Bandung.
Malam harinya digelar kick off Pra-Haul yang luar biasa meriah tapi penuh hikmah. Disajikan pagelaran musik dari para santri dan pembacaan puisi. Kick off ini juga diisi orasi budaya oleh Kang Zastrouw. Sampai pelaksanaan haul pada 12 Juni 2025 nanti, di Pondok Cipasung akan disibukkan oleh berbagai kegiatan beraneka ragam.
Pada hari kedua, dengan materi penulisan cerpen dan metodologi riset, jumlah pesertanya tak berkurang. Narasumber Putu Fajar Arcana dan Dahris Siregar bahkan tak menduga peserta akan seantusias itu.
Bahkan, dalam sesi praktik penulisan, peserta tak hanya menulis menggunakan laptop atau handphone. Banyak peserta yang menulis secara manual, dengan pena dan kertas. “Ini luar biasa. Bisa jadi modal yang bagus,” ujar Dahris Siregar.
Kembali ke Galunggung
Kegiatan pelatihan kepenulisan akhirnya ditutup dengan sesi testimoni dari para peserta. Luar biasa! Itulah kesimpulan dari testimoni mereka. Mereka ingin ada lagi pelatihan lanjutan karena merasa waktunya terbatas. Meski begitu, di waktu yang terbatas, mereka mengaku bisa menyerap banyak ilmu yang sangat penting.
Bahkan, beberapa peserta mengaku pelatihan penulisan ini merupakan yang terbaik dari beberapa kegiatan sejenis yang pernah mereka ikuti. “Ini pelatihan penulisan terbaik yang pernah saya ikuti,” ujar Upy, panggilan salah seorang peserta.
Kami, terutama saya, juga merasakan hal demikian. Dari beberapa pengalaman jejaring duniasantri menyelenggarakan pelatihan kepenulisan di beberapa pesantren, di Cipasung menjadi salah satu yang terbaik, dan terbilang sangat sukses.
Malam hari, seusai penutupan, kami bersama panitia, kembali naik ke lereng Galunggung. Seusai berendam lagi, kami melakukan beberapa evaluasi minor. Memang tak ada yang sempurna, tapi kerja keras panitia layak memperoleh acungan dua jempol.
Saya, mewakili jejaring duniasantri, menyampaikan apresiasi yang tinggi atas kerja keras panitia hingga seluruh acara berjalan dengan sukses.
Tapi siapa nyana, semua berawal dari hal-hal yang tak masuk akal: saat “radar” Bro Chan bergetar. Namun, sesungguhnya, yang paling membuat kegiatan pelatihan kepenulisan tersebut berlangsung sukses karena ini: Keluarga Cipasung menerima kami, duniasantri, selaik keluarga sendiri.
Karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam, kami menghaturkan berjuta terima kasih.