Beberapa hari yang lalu, saat mengikuti perkuliahan Pascasarjana Studi Islam dengan topik Isu-Isu Kontemporer yang diasuh oleh Profesor Abdul A‘la (Pengasuh Pesantren Annuqayah, Sumenep), saya berkesempatan mempresentasikan paper yang membahas tema “Pesantren dan Citra Feodalisme.”
Menarik, dalam sesi diskusi, beberapa teman mengajukan pertanyaan yang cukup menggugah: apakah bentuk kepatuhan santri terhadap kiai bisa dianggap sebagai praktik feodalisme?

Pertanyaan itu cukup menohok dan membuat saya terdorong untuk merespons lebih jauh soal makna kepatuhan itu sendiri. Apakah ia sekadar ketundukan secara pasif, atau justru punya makna yang lebih dinamis dalam konteks relasi etika dan spiritual di pesantren?
Pesantren memang kerap dicitrakan sebagai institusi pendidikan Islam tradisional yang menjunjung tinggi struktur sosial yang bersifat hierarkis, terutama dalam relasi antara kiai dan santri. Pandangan ini tidak jarang berujung pada penyamaan struktur relasional tersebut dengan praktik feodalisme yang menempatkan otoritas kiai secara mutlak dan tidak terbantahkan.
Akan tetapi, anggapan semacam ini perlu ditinjau kembali secara lebih kritis dan kontekstual. Relasi antara kiai dan santri dalam pesantren sejatinya tidak dibangun atas dasar dominasi kekuasaan, seperti halnya tradisi feodalisme di Eropa, melainkan merupakan manifestasi dari nilai-nilai spiritual, etis, dan kultural yang telah mengakar dalam tradisi Islam klasik.
Kepatuhan santri terhadap kiai dalam tradisi pesantren tidak sekadar merupakan bentuk ketaatan vertikal yang pasif. Hal tersebut lebih merupakan perwujudan dari prinsip takzim, yakni penghormatan mendalam terhadap guru sebagai sosok pengemban ilmu sekaligus teladan akhlak.
Dalam perspektif Islam, guru atau kiai dipandang sebagai figur yang menjembatani proses transmisi ilmu sekaligus nilai-nilai keutamaan moral. Oleh sebab itu, relasi ini berlandaskan pada kesadaran spiritual, keikhlasan, dan pengabdian, bukan pada relasi kuasa yang timpang.
Zamakhsyari Dhofier dalam karya klasiknya, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, menegaskan bahwa struktur sosial pesantren memang terlihat hierarkis. Tetapi, hal itu bukan berarti feodalistik dalam makna sosiologis yang represif.
Justru, hierarki dalam tradisi pesantren ini didasarkan pada penghormatan yang tulus kepada ilmu dan guru sebagai bagian dari etos keilmuan Islam.
Menurut Dhofier, struktur tersebut dihidupi oleh nilai-nilai spiritualitas yang mendalam serta etika kesantunan yang menjadi ciri khas kultur pesantren (Dhofier, 1994: 37–39).
Dengan demikian, kepatuhan dalam dunia pesantren harus dipahami sebagai bagian dari sistem etika yang mengedepankan kedalaman spiritual dan integritas moral. Ia merupakan ekspresi dari relasi transformatif antara kiai dan santri yang tidak hanya berfungsi mendidik secara intelektual, tetapi juga membentuk karakter, adab, dan tanggung jawab sosial yang tinggi.
Dalam hal ini, kepatuhan bukanlah bentuk keterbelakangan atau hegemonik, melainkan jalan menuju pembentukan insan kamil—manusia paripurna yang memiliki dimensi intelektual dan spiritual yang seimbang.
Penafsiran bahwa kepatuhan santri dalam pesantren merupakanbentuk feodalisme seringkali didasarkan pada pendekatan sekular terhadap relasi sosial, yang kurang mempertimbangkan konteks religius dan kultural pesantren. Pendekatan ini cenderung melihat hubungan antara kiai dan santri sebagai hierarki kekuasaan yang statis, tanpa memahami nilai-nilai spiritual dan tradisi yang melandasi hubungan tersebut.
Penelitian terbaru oleh Haris dkk (2024) mengungkap bahwa hubungan antara kiai dan santri dalam pesantren tradisional dibangun di atas dasar nilai-nilai religius dan kultural yang kuat. Kiai berperan sebagai pemimpin spiritual dan guru, sementara santri menempatkan diri sebagai murid yang patuh dan hormat.
Relasi tersebut ditandai dengan hierarki yang jelas, di mana kiai memiliki otoritas signifikan terhadap santri. Namun, hubungan ini tidak bersifat dominatif-hegemonik. Sebaliknya, terdapat dinamika kompleks yang mencakup negosiasi dan bahkan perlawanan dari santri terhadap otoritas kiai. Hal itu menunjukkan bahwa relasi tersebut lebih bersifat pedagogis daripada politis.
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang intelektual dari kalangan pesantren, menegaskan bahwa pola pendidikan dalam pesantren mampu membentuk individu yang beradab dan demokratis. Dalam pandangannya, nilai-nilai kepatuhan dalam pesantren bukanlah bentuk penghambaan, melainkan proses pembelajaran yang menekankan moralitas dan kesalehan sosial. Gus Dur berpendapat bahwa pesantren memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai demokrasi melalui pendidikan yang menghargai perbedaan dan mendorong pemikiran kritis.
Karena itu, penting untuk membedakan antara kepatuhan yang membebaskan dan kepatuhan yang menindas. Di lingkungan pesantren, kepatuhan berfungsi sebagai sarana pembentukan etika diri dan penguatan integritas santri. Kepatuhan ini bukan alat kekuasaan kiai, melainkan bagian dari proses transformasi moral yang berkelanjutan.
Reaksi pesantren terhadap tudingan feodalisme seharusnya dipahami sebagai upaya melawan generalisasi budaya luar yang tidak memahami akar epistemologis dan spiritual lembaga ini. Dengan demikian, pesantren bukanlah benteng feodalisme, melainkan pusat etika sosial Islam yang telah membentuk karakter bangsa sejak berabad-abad berlalu.
Referensi
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994. h. 37–39.
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1999. h. 122–123.
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: Wahid Institute, 2006. h. 89–90.
Haris, Ahmad, dkk. “Dismantling the Relationship between Kiai and Santri: A Critical Review of Traditional Authority in Islamic Boarding Schools.” Journal of Research and Thought on Islamic Education, Vol. 7, No. 1 (2024): 14–27.