Tanwirul Hija, Kharisma Pesantren Tua

2,190 kali dibaca

Pondok Pesantren Tanwirul Hija Desa Cangkreng, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur termasuk dalam catatan pesantren tertua di Sumenep. Dengan kesederhanaannya, salah satu Pesantren Tanwirul Hija telah melahirkan banyak kiai atau ahli agama.

Seperti lazimnya pondok pesantren lainnya, Pesantren Tanwirul Hija juga menganut sistem pengajaran klasik yang mengutamakan pengajaran keagamaan atau sering dikenal sistem salafiyah.

Advertisements

Terletak di Desa Cangkreng, berjarak sekitar 15 km dari ibu kota kabupaten, pesantren ini didirikan oleh KH Khotib Bin Abdurrahem bersama istri tercintanya Nyi Hj Raudlah Binti H pada 1950. Saat itu, santrinya cuma lima orang. Dan mereka akhirnya menjadi kiai disegani. Mereka adalah KH Moh Ikhsan (Lembung), KH Abdurrahman (Poreh), KH Suwaid Pinggir (Papas), KH Abdul Gani (Poreh), dan K Abdul Bari Poreh.

Selain mengasuh pesantren yang dirintisnya, KH Khotib Bin Abdurrahem oleh masyarakat setempat dipercaya untuk mengurus sebuah masjid yang berada di area Dusun Pocang, Desa Cangkreng. Dulu namanya masih Masjid Raudlatul Jannah, kemudian sekarang bermetamorfosis menjadi masjid At-Taqwa Cangkreng.

KH Khotib memberi nama pesantrennya Tanwirul Hija, yang berarti “Pencerahan Akal”, bukan tanpa maksud. Saat itu, banyak masyarakat setempat yang masih berpegang kuat pada tradisi kepercayaan lama. Di saat yang sama, juga masih trauma akibat kejamnya penjajahan. Melihat situasi demikian, KH Khotib menganggap perlu adanya gerakan “pencerahan akal”. Tekatnya adalah agar lebih masyarakat memahami agama Islam secara benar dan meninggalkan tradisi nenek moyang. Untuk itu, jalan yang ditempuh adalah pendidikan, dengan mendirikan Pesantren Tanwirul Hija itu.

Meski santrinya sangat sedikit, KH Khotib dengan sabar dan tekun membimbing murid-muridnya. Berkat ketekunan dan kesabarannya, lima tahun kemudian jumlah santrinya mulai bertambah banyak, sekitar 30 orang. Tak hanya berasal dari Pulau Madura, beberapa santri juga datang dari Jawa.

Tanwirul Hija semakin berkembang, dan pondok pesantren ini terus mencoba memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Karena itu, selain ngaji kitab dengan sistem tradional,  sorogan dan atau bandongan, pesantren ini mulai mengadopsi sistem kelas. Pada 1961, misalnya, didirikanlah pendidikan keagamaan berupa Madrasah Diniyah dan Muallimin. Dan setahun kemudian didirikan juga lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Ibtidaiyah (MI). Orang pertama yang menjadi kepala MI adalah KH Zaidi Hasan yang berasal dari Desa Poreh dan merupakan santri Pesantren Tanwirul Hija sendiri.

Di bawah kepemimpinan KH Khotib bin Abdurrahem, yang juga dikenal sebagai Kiai Anom,  pondok pesantren kian mengalami kemajuan yang pesat. Berkat kegigihannya, Madrasah Ibtidaiyah itu terus berjalan sampai sekarang.

Tanwirul Hija memasuki masa sulit ketika pada 1977 KH Khotib bin Abdurrahem wafat. Memang, sebelum wafat, KH Khotib masih sempat mengumpulkan dewan guru dan tokoh masyarakat untuk memilih dan menunjuk penggantinya. Dalam musyawarah tersebut, KH Asy’ari bin Mustafa dipercaya sebagai pengganti Kiai Khotib dengan dibantu KH Imam Mawardi bin H Muhtar sebagai wakilnya. Keduanya adalah menantu dari keponakan istrinya.

Namun, meskipun begitu, setelah wafatnya KH Khotib bin Abdurrahem, satu per satu santri pamit pulang untuk meneruskan jejak-jejak perjuangan menyiarkan agama Islam di daerahnya masing-masing. Karena itu, saat itu nyaris tak ada lagi di pondok.

Namun hal tersebut tidak mematahkan semangat para penerus yang telah ditunjuk. KHAsy’ari dan KH Imam Mawardi terus berjuang mengembangkan Pesantren Tanwirul Hija, apalagi dengan adanya MI yang saat itu sudah maju pesat. Jumlah santri/siswa MI tergolong lumayan banyak meski bukan santri mukim seperti sebelumnya. Bahkan, pada 1980 didirikan Raudlatul Athfal (RA) untuk pendidikan formal anak-anak di bawah umur.

Seiring perjalanan waktu, untuk mengkukuhkan keberadaan Pesantren Tanwirul Hija, pada 1989 dibentuklah Yayasan Tanwirul Hija. Setelah ada yayasan, pada 1990 didirikan pula lembaga pendidikan formal dengan jenjang yang lebih tinggi, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Tanwirul Hija.

Pendirian MTs ini juga tak lepas dari usulan masyarakat setempat. Sebab, saat itu MTs hanya ada di kota kecamatan yang jarak tempuhnya sangat jauh, sekitar 4 km kurang lebih dari Desa Cangkreng. Dipimpin Kiai Moh Muhdar, putra dari KH Imam Mawardi, tercatat ada 20 orang sebagai santri/siswa pertama MTs ini.

Setelah itu, Tanwirul Hija terus mengalami kemajuan pesat. Pada 1997 berdiri pula TKA/TPA yang diprakarsai oleh putra pertama KH Asy’ari, yaitu Kiai Ahmad Dumairi Asy’ari sepulangnya dari dari  menimba ilmu di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kiai Ahmad Dumairi yang kemudian menggantikan KH Asy‟ari yang wafat pada 2002.

Kiai Ahmad Dumairi, yang merupakan putra pertama, juga pernah mondok di Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk. Setelah lulus dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan dibantu beberapa saudara dan dewan guru, Kiai Ahmad Dumairi membawa Pesantren Tanwirul Hija semakin maju. Pada 2006, misalnya, di lingkungan pesantren ini didirikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Yang menarik, setelah vakum selama 33 tahun tidak ada santri mukim, atau setengah abad berlalu dalam hitungan dari berdirinya Pondok Pesantren Tanwirul Hija, kini pesantren ini mulai diramaikan dengan keberadaan santri mukim. Kiai Ahmad Dumairi mampu menghidupkan kembali keberadaan santri mukim di Pondok Pesantren Tanwirul Hija.

Melihat kemajuan yang terus meningkat, masyarakat kembali memasrahkan putra-putrinya mondok di Pesantren Tanwirul Hija. Sehingga pada 2010, secara resmi Pondok Pesantren Tanwirul Hija seakan hidup kembali saat banyak santri mukim.

Setelah banyak santri yang kembali mondok, K Ahmad Dumairi Asy’ari pun mulai menerapkan sistem pendidikan khas pesantren, baik untuk para santri mukim atau seantri nonmukim. Selain itu, guna memenuhi kebutuhan pendidikan bagi santri mukim secara khusus, maka didirikanlah Madrasah Diniayah Awwaliyah dan Wutsha. Diniyah ini memprioritaskan pembelajaran kitab kuuning, selain  pengajian-pengajian kitab khusus yang biasa diselenggrakan pada malam hari di lingkungan pondok bagi santri mukim.

Pondok Pesantren Tanwirul Hija pun siap kembali untuk melahirkan ulama-ulama yang mumpuni.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan