Tantangan Seabad NU dan Pondok Pesantren

912 kali dibaca

Kita perlu menyepakati bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisai masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Meski lebih muda dari saudara tuanya Muhammadiyah, NU punya basis masa yang cukup fanatik, khususnya di lingkup pondok pesantren. Bahkan sekarang aktif merambah dunia pendidikan formal dan kesehatan.

Peran politis NU sebagai jembatan pemerintah dan rakyat juga menjadi daya tawar pengurus mengembangkan sayap dominasi keagamaan di Indonesia. Konsep pribumisasi Islam relevan dengan budaya bangsa terkait praktek ibadah. Sementara Islam puritan yang mulai berkembang di media sosial kembali mendapat tantangan dari intelektual muda NU.

Advertisements

Berbagai sektor coba disasar NU untuk mempertahankan tujuan menjaga NKRI dan keberagaman. Tantangan intoleransi, radikalisme, dan terorisme dijawab secara ilmiah oleh kemunculan ulama-ulama muda NU. Keanggunan NU dalam belantika keagamaan dan kemasyarakatan Indonesia menarik minat generasi milenial di daerah urban dengan mendirikan berbagai organisasi atau komunitas yang berafilisasi dengan NU.

Bangunan konsep keaswajaan yang selaras dengan jati diri bangsa membawa seabad NU konsisten memfasilitasi kebutuhan spiritual masyarakat. Pesantren bukan lagi satu-satunya poros kekuatan NU, namun lebih berkembang ke berbagai lembaga pendidikan dan kajian ilmiah. Menawarkan kajian yang progresif dan mengikuti minat generasi milenial yang aktif bermedia sosial.

Perekrutan generasi muda dalam kepengurusan PBNU menjadi langkah brilian menghadapi tantangan perubahan zaman. Menyiasati berbagai ancaman yang menyasar budaya masyarakat, doktrinasi melalui media digital, dan strategi “mengislamkan” Indonesia. Fitnah, penggiringan opini, dan sebaran informasi hoaks untuk menjatuhkan NU menambah kokoh organisasi sepanjang waktu.

Jelang seabad NU, pengurus punya tantangan menjadi stabilitator politik dan mewujudkan cita-cita bangsa. Menguatkan ideologi agar tidak mudah dipengaruhi iming-iming kekuasaan di pemerintah dan konsisten berada di belakang kelompok minoritas sebagai aktualiasi dari karakter tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh.

Pondok Pesantren

Sebagai pilar organisasi, pondok pesantren memunculkan cendikiawan muslim yang bakal meneruskan perjuangan NU. Berdasarkan data dari Kemenag, per bulan April 2022, jumlah pesantren di Indonesia ada 26.975 unit. Meski tidak bisa diklaim seluruhnya berafiliasi dengan NU. Namun citra pesantren sebagai simbolisasi NU menegaskan tentang kekuatan organisasi dari nilai pendidikan, politik, dan sosial kemasyarakatan.

Tantangan berikutnya bagaimana NU bisa memberikan fasilitas bagi pondok pesantren agar tetap diminati masyarakat. Eksplorasi dunia digital tanpa meninggalkan pedoman dasar kepesantrenan. Menawarkan inovasi yang tidak bisa ditawarkan teknlogi dengan kecerdasan buatannya. Solusi mempertahankan pesantren dari gencaran sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan terbuka.

Diketahui bersama bahwa banyak pesantren yang menerapkan sistem kaku memperlakukan santrinya. Batasan akses informasi, sosialisasi di luar pesantren, dan aktualisasi keahlian menjadikan santri jenuh dan tidak betah. Tidak ada tawaran lain selain penguasaan ilmu keagamaan dan pembentukan karakter santri. Meski beberapa sudah berevolusi menuju pesantren modern, masih banyak pondok pesantren salaf yang mempertahankan nilai-nilai kepesantrenan generasi sebelumnya.

Tentu tidak bisa disimpulkan bahwa keterbukaan akses punya dampak positif bagi santri di pesantren. Perilaku amoral anak-anak sekarang disebabkan karena tidak adanya kontrol dari yang berkepentingan. Ketidaksiapan mental menerima kecangihan teknologi mengubah karakter anak. Pesantren seharusnya punya daya tawar mencetak generasi berkualitas yang bermoral. Apalagi Indonesia bersiap menghadapi periode generasi emas di tahun 2045.

Penataan pesantren juga harus menjadi fokus NU agar tidak menimbulkan citra buruk. Kasus asusila dan kekerasan di pondok pesantren yang dipotret media dan disebarluaskan akan mereduksi kualitas pesantren. Kekhawtiran orang tua menyekolahkan anaknya di pesantren akan menurunkan sumber daya NU di masa depan.

Satu-dua kasus pesantren berdampak pada pandangan miring masyarakat yang ingin memasrahkan (santri mukim) anggota keluarganya (tanpa kontrol orang tua). Tidak adanya filterisasi pembangunan dan pengembangan pesantren di lingkungan masyarakat secara tidak langsung mencederai NU.

Semua punya hak mendirikan pondok pesantren meski bukan dari kalangan NU atau alumni santri. Konsep swadaya masyarakat yang kemudian berkembang dengan memanfaatkan internet sebagai media promosi. Labelisasi ulama atau kiai juga tidak jelas standarisasinya. Pondok pesantren berkembang, kualitasnya diperdebatkan. Belum lagi kepentingan ideologi di luar NU yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat menidentifikasi ajaran pondok pesantren.

Apa pun itu, seabad NU merupakan pijakan menuju perubahan yang lebih baik. Pondok pesantren perlu kesadaran tentang pentingnya citra dengan tetap berinovasi dari sistem pengelolaan pesantren dan cara pengajaran yang menarik bagi santri. Keberadaan pesantren dan NU masih menjadi benteng NKRI dari segala intrik perpecahan atau perang saudara, bukan hanya tentang perselisihan praktik keagamaan, namun juga intrik politik.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan