Takwa itu Bukan Tak Takut Covid-19

877 kali dibaca

Setiap hari kita mendengar kabar kematian di kanal-kanal media dan televisi: orang-orang meninggal terpapar Covid-19. Rumah sakit kehabisan oksigen, juga kehabisan ruang karena pasien yang terpapar Covid-19 karena membeludak setiap harinya. Sudah ada 2,3 juta kasus masyarakat di Indonesia yang terpapar Covid-19, sebanyak 1,96 juta di antaranya sembuh, dan 61.868 meninggal dunia.

Namun, masyarakat kita ini masih saja bebal dan ngeyel dengan kebijakan pemerintah. Bahkan mereka berdalih bahwa Covid-19 adalah konspirasi demi kepentingan bisnis untuk menguras uang rakyat.

Advertisements

Marilah, saudara-saudaraku, kita lupakan dugaan-dugaan itu sebentar! Mari bersimpuh di hadapan Tuhan, berdoa agar wabah ini segera diangkat dari bumi.

Banyak ulama dan mubaligh menyalahgunakan kata “takwa” dan “yakin” sebagai “pembenar” untuk tidak mematuhi protokol kesehatan atau memakai masker, misalnya. Mereka memprovokasi ruang publik agar orang tidak perlu takut kepada wabah Covid-19. “Takutlah kepada Allah,” begitu kata mereka.

Padahal, sesungguhnya, takwa tidak bisa dijadikan sebagai tendensi kita untuk tidak mematuhi protokol kesehatan. Kita memang harus bertawakal kepada Allah, tapi harus paham dan mengikuti ketentuan syariat.

Tawakal harus dilakukan setelah kita bersungguh-sungguh dalam berikhtiar. Muhal (tidak mungkin) bagi setiap orang bisa mencapai makrifat sebelum tuntas memahami esensi syariat. Wabah menjangkit manusia selaras dengan keputusan-Nya. Mawa lakum min dunihi min waal, manusia tidak memiliki otoritas sedikitpun untuk mengintervensi hak prerogatif Tuhan.

Memang benar adanya, bahwa Nabi pernah menegaskan dalam sebuah hadis: “Tidak ada penularan (penyakit), dan tidak ada reinkarnasi ruh orang mati pada burung hantu.”

Atas dasar hadis itu, Ibnu Sholah mengatakan, bahwa pada hakikatnya penyakit tidak bisa menular, tapi Allah-lah yang membuatnya menular. Namun, Imam Ghazali juga menjelaskan, bahwa “tidak menularnya penyakit” adalah ketentuan yang bersifat universal dan masih umum. Sementara menjauhi orang untuk mencegah terjadinya penularan adalah perintah syariat dalam rangka syaddud dzara’i, yaitu mencegah terjadinya perkara yang merusak.

Di dalam kaidah ushul fikih diterangkan, bahwa meninggalkan perkara yang merusak itu lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan orang banyak (dar’u hadzihil mafasid muqaddamun a’la jalbil masholih). Bahwa memakai masker dan menjaga jarak itu lebih diutamakan, untuk menghindari penularan wabah, daripada berjabat tangan, atau saling tatap muka, tapi ada potensi untuk tertularnya wabah.

Nabi Muhammad sendiri pernah bersabda dalam sebuah hadis: “Menjauhlah kalian dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa.” Perkara social distancing atau pembatasan mobilitas masyarakat sebenarnya adalah upaya untuk menghindari penyebaran wabah, juga ikhtiar meminimalisasi merebaknya wabah.

Kita memakai masker dan menghindari kerumunan, di samping untuk diri sendiri, adalah juga untuk kemaslahatan orang lain. Siapa tahu, di dalam diri kita ini ada virus yang tidak kita sadari?  Sehingga, beberapa kali Kiai saya mengatakan, bahwa hal yang paling diutamakan saat ini adalah hifdzun nafs, menjaga kesehatan.

Jangan menjadi manusia yang egois, yang tidak patuh dengan kebijakan pemimpinnya. Allah menegaskan di dalam surat An-Nisa, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul- (Nya), dan taatilah juga ulil amri di antara kalian.” Rasulullah. bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan taat kepada seorang pemimpin, walaupun ia seorang hamba habasyah.”

Di masa pandemi ini, tidak ada yang lebih ditekankan oleh pemimpin kecuali menjaga diri, dengan memakai masker, menjaga jarak, atau arus lalu lintas yang dibatasi. Pada intinya, semua peraturan dan kebijakan pemerintah sudah dipertimbangkan secara matang oleh mereka.

Semoga iman dan imun kita tetap stabil. Semoga wabah ini sesegera mungkin diangkat oleh Allah dari muka bumi, dengan dan bagaimanapun caranya, min haistu la yahtasib, secara tidak nyono (tiba-tiba). “Robbana idfa’ al-bala’ wal waba’ wa virus corona, ‘an baladina Indonesia hadza khossoh, wa sairil buldanil muslimin ‘ammah. Amin, ya Robbal ‘alamin..”

Wallahu a’lam bisshowab…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan