Tahun Baru Islam: Filosofi Hijrah

Tiap kali kalender Hijriyah berganti dan angka 1 Muharam muncul, banyak dari kita menyambutnya dengan doa awal dan akhir tahun, pawai obor, hingga tausiyah malam Muharam. Namun, di balik perayaan itu, ada pertanyaan mendalam yang sering luput: apa sebenarnya makna Tahun Baru Islam bagi jiwa kita yang terus bertumbuh? Apakah ia hanya ritus tahunan atau momentum spiritual yang membawa kesadaran baru?

Sebagai santri, kita diajarkan bahwa segala sesuatu memiliki makna. Bahkan waktu—yang tampak berlalu begitu saja pun bisa kita baca sebagai ayat. Dan dalam konteks itu, filsafat dapat menjadi alat bantu tafsir, membantu kita memahami Tahun Baru Islam bukan hanya sebagai fakta sejarah, tetapi sebagai pesan eksistensial tentang perjalanan manusia.

Advertisements

Simbol Transformasi

Peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah memang nyata secara historis. Tapi dalam pandangan filosofis, hijrah adalah simbol perubahan batin, semacam titik balik dalam perjalanan eksistensi manusia. Ia mengisyaratkan bahwa untuk menuju kehidupan yang lebih baik, kita harus berani meninggalkan zona nyaman—baik itu kebiasaan buruk, ketergantungan duniawi, bahkan mungkin cara berpikir yang sempit.

Dalam pemikiran filsafat eksistensial, manusia bukan makhluk yang statis, melainkan terus “menjadi” (becoming). Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, yakni makhluk yang sadar bahwa ia ada, dan bahwa keberadaannya bisa otentik atau justru terjebak dalam rutinitas tanpa makna.

Hijrah, dalam kerangka itu, adalah seruan untuk menjadi Dasein yang otentik: manusia yang hidup sesuai nilai-nilai kebenaran, bukan sekadar mengikuti arus atau tuntutan sosial.

Filosofi Waktu

Dalam filsafat klasik, waktu sering dianggap sirkular—berulang seperti musim. Tapi Islam memandang waktu sebagai garis lurus, bergerak dari awal penciptaan menuju akhir kehidupan. Setiap detik adalah langkah menuju perjumpaan dengan Allah.

Karenanya, 1 Muharam bukan sekadar angka baru, tapi tanda bahwa hidup kita telah bergerak sejauh ini dan harus terus bergerak.

Filsuf Muslim seperti Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, bahwa siapa yang harinya hari ini sama seperti kemarin, maka ia tergolong merugi. Ini sejalan dengan prinsip filsafat bahwa waktu adalah ruang aktualisasi diri.

Sebagai santri, kita tidak hanya belajar kitab atau menghafal nazam. Kita juga belajar mengenali diri: man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu. Dan Tahun Baru Islam adalah waktu terbaik untuk kembali menyelami pertanyaan-pertanyaan lama: Siapa aku? Untuk apa aku hidup? Apa yang perlu aku ubah dalam diriku?

Praktik Filosofis

Tradisi muhasabah di malam pergantian tahun bukanlah ritual kosong. Ia adalah bentuk praksis filsafat Islam—merenung, memeriksa diri, dan menyusun ulang arah hidup. Dalam dunia Barat, Socrates pernah berkata, “Hidup yang tidak direnungkan tidak layak dijalani.” Dalam Islam, muhasabah adalah bagian dari takwa.

Di pesantren, kita sering diajak guru-guru untuk “mengevaluasi niat.” Bahkan sebelum belajar, niat adalah syarat sahnya ilmu. Maka, awal tahun adalah waktu muhasabah besar: bukan hanya niat dalam ibadah, tapi niat hidup kita secara keseluruhan. Apakah kita masih berjalan di jalan yang lurus? Ataukah kita justru sedang jauh dari makna?

Menjadi Manusia Hijrah

Dalam banyak hadis, Nabi memuji orang yang berhijrah bukan hanya secara fisik, tapi secara batin. “Seorang muhajir adalah yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.”

Maka Tahun Baru Islam adalah ajakan untuk menjadi manusia hijrah: bukan hanya berpindah, tapi berubah. Dari malas menjadi rajin. Dari dendam menjadi pemaaf. Dari egois menjadi rendah hati.

Bahkan bisa jadi, hijrah terberat hari ini adalah hijrah dari keriuhan dunia digital menuju kesunyian untuk merenung. Dari keterikatan sosial media menuju pengendapan makna. Dari gawai ke gubuk ilmu. Dari trending ke tafakur.

Panggilan Jiwa

Tahun Baru Islam, jika dipahami dalam kedalaman filsafat dan spiritualitas, adalah panggilan. Ia bukan hanya perubahan kalender, tapi perubahan diri. Ia mengajak kita tidak hanya untuk hidup, tapi menghidupi kehidupan dengan sadar, jujur, dan bertanggung jawab.

Sebagai santri, kita tidak hanya diwarisi tradisi ilmu, tapi juga warisan kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan itu sering hadir bukan di ruang kelas, tapi dalam kesunyian renungan di malam Muharam. Mungkin, tahun ini kita tidak perlu banyak janji. Cukup satu tekad: menjadi manusia yang berhijrah, setiap hari, menuju kebaikan yang lebih dalam dan lebih hakiki.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan