Tafsir Lintas Rezim dan Islam Orde Baru

891 kali dibaca

Di universitas, khususnya jurusan ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, biasanya sering ada debat tentang gugatan bahwa tafsir ayat X dan hadis Y mengandung bias rezim kekhalifahan (Umayyah, Fathimiyyah, Ayyubiah, dll), bias gender, ataupun bias konteks budaya (Timur Tengah, Barat, Asia Tenggara, dll). Namun belum pernah ada suara debat sampai menggaung di publik tentang bias rezim politik di Indonesia terhadap tafsir ayat X atau hadis Y.

Yang belakangan disebut, justru lebih banyak didiskusikan oleh jurusan komunikasi dan sosiologi, tentu dengan ‘bahasa’ yang sepenuhnya berbeda dengan apa yang bergulir di jurusan tafsir. Mereka menyinggung pengaruh rezim politik terhadap bias tafsir ayat dan hadis lewat analisa wacana, bahasa, dan jejak afiliasi si penafsir, baik itu ustaz, pemimpin agama, dan lain sebagainya.

Advertisements

Perbedaan di dua jurusan itu jelas ada. Jurusan ilmu Al-Qur’an dan Tafsir lebih dekat dengan pembahasan soal orientalisme, dialektika ilmuan Islamic Studies produk Barat/Timur/Asia, dan pembahasan soal politik pengetahuan di masa kekhalifahan silam. Mereka menaruh perhatian pada bagaimana transmisi pengetahuan dan hubungan tafsir Indonesia dengan sejawat pemikir ideolog Islam maupun ilmuan tafsir di Timur Tengah ataupun Barat.

Sedangkan, jurusan komunikasi, sosiologi, dan ilmu sosial umum lainnya, telah terbangun dalam orientasi ‘nasionalistik’ sejak lama. Perbendaharaan teorinya memang banyak dari Barat, namun diarahkan untuk ‘melihat’ Indonesia. Sehingga, tumbuh satu hal yang disebut sebagai ‘inward-looking’, alias kegemaran melihat diri sendiri.

Objeknya tentu adalah kondisi sosial politik Indonesia, mencakup lika-liku kelas, bongkar pasang birokrasi, manuver antaraktor, praktik wacana, perilaku kelompok masyarakat (muslim utamanya), dan lain-lain.

Fokus pembedahan hubungan ayat dan perilaku sosial kemudian dibahasakan dalam perbendaharaan seperti: pengaruh pasar, kebangkitan kelas menengah, keakraban kelas menengah Indonesia dengan Islam transnasional, kebutuhan katalis wacana dari ayat suci untuk agitasi politik, dan peran tafsir ayat ataupun hadist dalam kaitannya dengan nasionalisme, keutuhan bangsa, dan lain hal yang berpihak pada fungsi sosial yang telah disepakati beberapa dekade silam di Indonesia.

Sulit untuk menyelenggarakan telaah kritis atas bentuk tafsir apa yang selama ini telah mapan di Indonesia, cara framing ayat yang dominan terjadi kalangan pendakwah, dan bagaimana kecenderungan potret Al-Qur’an dan Hadis di Indonesia, saat keterbelahan fokus antara ilmuan tafsir dan ilmuan sosial masih ada.

Sebagian besar suara-suara penafsir otoritatif (terlepas dari tingkat sepak terjang maupun afiliasi mereka) masih melihat ayat dan hadis dalam kerangka perbandingan Indonesia dan Timur Tengah, dan belum membandingkan dalam kerangka perbandingan peralihan rezim: Orde Lama, Orde Baru, dan Pasca-Reformasi.

Ketika memperinci soal pengaruh sosial-budaya, maka yang muncul adalah uraian sosial-etnografis atas pengaruh perbedaan alam dan struktur sosial masyarakat gurun tribalistik dan masyrakat plural di lintang tropis terhadap makna kata dalam ayat dan hadis yang dibayangkan oleh masing-masing masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, hal ini berkaitan dengan hilangnya rincian soal bagaimana politik sosial-budaya masing-masing rezim memengaruhi makna kata tertentu dari sebuah ayat maupun hadis secara tidak langsung melalui konstruksi masyarakat yang dikehendakinya.

Di antara tiga babak politik yang pernah terjadi di Indonesia, Orde Baru adalah rezim ‘penentu’ lantaran pada satu sisi ia telah melakukan penghapusan dan manipulasi kesadaran sejarah rezim sebelumnya, dan di lain sisi juga sambil memproyeksikan ‘sejarah baru’ menurut versinya.

Proyek kesadaran tersebut mengalir pada perbendaharaan kata, praktik diskursif, konstruksi sosial, dan politik budaya yang merentang dari pagelaran wayang, layar tancap, acara televisi, buku pelajaran sekolah, dan tidak luput juga mimbar masjid.

Di samping itu, penjinakan umat Islam sebagai salah satu langkah politik yang pernah ditempuh Orde Baru dalam mencegah potensi huru-hara agenda pembangunannya yang dijustifikasi lewat Pancasilaisme militer pun penting untuk diperhitungkan sebagai faktor mengapa membandingkan kerangka tafsir dari satu rezim ke rezim lainnya perlu dilakukan.

Contoh paling gamblang dari distorsi Orde Baru terhadap imajinasi tafsir misalnya dapat ditemukan pada tema ekonomi dan gender. Bila membandingkan, misalnya, ceramah-ceramah pendakwah era 1980-an sampai akhir 1990-an, akan tersirat satu garis dominan di mana neoliberalisme sangat memengaruhi imajinasi penafsir waktu itu dalam memaknai ayat tentang rezeki.

Tuntunan berupa ‘makin banyak ibadah, makin banyak rezeki’ bergandeng-tangan dengan tren bisnis investasi syari berbetuk, misalnya, MLM produk-produk halal dan kearab-araban. Dalam konteks ini, ada satu pembatasan politis secara tidak langsung di mana imajinasi ekonomi umat Islam dibatasi pada jalur langit, dan mengabaikan apa yang oleh sosiolog sebut sebagai struktur pasar, enklav komunitas, dan jejaring ekonomi-politik kebijakan makro.

Oleh karena itu, bahkan sampai saat ini, kita masih bisa menemukan di sejumlah mimbar bagaimana salat selalu dikaitkan dengan peningkatan pendapatan, ibadah sunnah sering digarisbawahi nominal pahalanya secara kuantitatif, dan dalil ‘orang beruntung adalah mereka yang selalu lebih baik dari hari ke hari’ dimaknai dalam perbendaharaan kata ‘rencana’ dan ‘target’―dua diksi dari rahim meritokrasi neoliberal di mana kehidupan serba kompetisi, kompetensi, dan akumulasi. Tidak luput juga, penekanan tentang keikhlasan terhadap kemiskinan, tanpa edukasi soal bagaimana kemiskinan terjadi.

Mengapa khazanah proses terjadinya kemiskinan, khazanah struktur masyarakat, dan khazanah pengerukan kekayaan oleh segelintir orang sebagai fenomena yang lumayan intens di Indonesia tidak menjadi imajinasi dominan yang melatarbelakangi kita dalam menafsirkan ayat/hadis? Sebab rezim otoritarian manapun di Asia Tenggara sangat takut terhadap analisis kelas yang berpotensi mengungkap ketidak-adilan penguasaan kekayaan oleh skema kebijakan dan jejaring elite mereka.

Orde Baru melihat, kemayoritasan jumlah umat Islam di Indonesia bisa berbahaya bagi ekonomi-politik di balik pembangunan nasional bila tidak direduksi kesadaran ekonominya. Inilah mengapa Orde Baru mengambil langkah domestifikasi Islam lewat penuntutan setia terhadap pembangunan dan Pascasila menurut versi rezim militeristik-kapitalistik Orde Baru.

Dalam tema gender, hierarki paternalistik yang dikukuhkan oleh militer pun secara tidak langsung ikut merembes pada bagaimana konstruksi dan imajinasi tafsir saat itu memaknai ayat tentang gender. Kontrasnya akan sangat terasa, misalnya, jika kita membandingkan antara bagaimana rezim Orde Lama Soekarno dan rezim Orde Baru Soeharto memperlakukan perempuan.

Dalam Sarinah, Soekarno secara eksplisit mengakui peran sentral perempuan bagi pembangunan dan perawatan semangat revolusi. Sederhananya, era Soekarno tidak mengarah pada domestifikasi perempuan. Ini berbeda dengan rezim Orde Baru. Pembentukan Dharma Wanita dan PKK di masa Orde Baru telah menandai peralihan arah prospek keterlibatan dan peran sosial perempuan.

Dharma Wanita dan PKK memainkan peran inti dalam reduksi makna perempuan sebagai ‘orang rumah’, ‘pelayan suami’, ‘pengayom’, dan sebagai pemilik kesetimbangan ekstrem antara moralitas dan imoralitas lewat kategori sosial berupa ‘pulang malam’, ‘pelacur’, ‘kerja’, ‘vokal’, ‘kritis’, dan ‘pemimpin’.  Konstruksi itu umum ditemukan pada narasi pendakwah lain generasi 1980-1990-an. Dalam wawancara terbitan Mizan, Dakwah & Politik (1997), Dai kawakan Zainuddin MZ, dengan lugas mengatakan:

“Tentang istri yang bekerja, saya melihat istri adalah milik suami, apapun yang dihasilkannya itu di bawah kekuasaan suami. Biarpun istri itu seorang sarjana dan suami tamatan SD, imam tetap suami … akan halnya wanita yang tak mau hamil karena karir, itu salah besar, karena mengingkari kodratnya sebagai wanita. Ketahuilah bahwa pahala paling besar bagi wanita adalah mereka yang berbakti kepada suaminya.”

Sebagai perbandingan tambahan, tentu dapat terbayang andai, misalnya, aktifis gender Kalis Mardiasih maupun Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebagai promotor kawakan keadilan gender masa kini hidup di zaman Orde Baru. Besar kemungkinan mereka menerima konsekuensi keselamatan tertentu lantaran narasi yang dibawanya berlawanan dengan strukturalisme dan hierarki militeristik yang diarus-utamakan oleh Orde Baru mulai di tingkat birokrasi hingga rumah tangga.

Sementara ini, kita belum memiliki kajian terpadu tentang evolusi dan perubahan makna dan kecenderungan tafsir antara Orde Lama, Orde Baru, dan Pasca-Reformasi soal konsep sosial kunci seperti ekonomi, gender, politik, dan imajinasi rasial yang determinan bagi navigasi sosial masyarakat Muslim. Selain itu, kita juga belum memiliki kajian maupun pemetaan bagaimana konstruksi dan keberpihakan tafsir dari para ulama yang menjadi figur berpengaruh dalam membantu masing-masing rezim memapankan konstruk sosial-budaya melalui tafsir ayat dan hadis sebagai katalisnya.

Studi perbandingan tafsir lintas rezim di Indonesia bisa memberikan angin segar, lantaran selama ini misalnya, saat membincang masyarakat dan pluralisme dalam tafsir, sering kali rujukannya mengarah pada masyarakat agraris dan imajinasi pluralisme era Wali Songo. Dan saat membincang fungsi tafsir kepada kehidupan sosial-politik pun seringkali rujukannya terbatas pada peran yang pernah diambil tafsir untuk mengukuhkan konsensus nasional era menjelang kemerdekaan. Dua babak itu hanyalah sebagian dari rangkaian babak besar lain yang pernah terjadi di Indonesia.

Jika studi perbandingan itu telah tersedia, maka kita bisa menginterogasi diri kita sendiri, apakah cara beragama kita merupakan konstruksi rezim tertentu? Kalau merupakan campuran, maka persentasenya berapa persen? Apa implikasi sosialnya? Dan konsep dasar apa yang perlu dievaluasi dan dikoreksi bila memang disinyalir mengandung bias rezim yang begitu kental?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan