Tafsir merupakan jembatan utama bagi umat Islam dalam memahami firman Allah. Di antara karya tafsir yang paling luas digunakan dalam dunia Islam, khususnya dalam pendidikan tradisional, adalah Tafsiral-Jalalain. Disebut jalalain yang berarti dua orang, karena tafsir ini merupakan karya dua ulama, yaitu Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.
Tafsir ini menjadi rujukan utama dalam banyak madrasah dan pesantren karena penyajiannya yang ringkas dan padat.
Namun, dalam perkembangan wacana pemikiran Islam kontemporer, muncul kritik terhadap keberadaan unsur mistis dan mitologis dalam Tafsir Jalalain, terutama dalam penafsiran kisah-kisah Al-Qur’an.

Kepercayaan terhadap hal-hal gaib, seperti makhluk aneh, burung yang membawa nabi, atau peristiwa supernatural yang tidak memiliki pijakan rasional atau historis yang kuat, kerap dipertahankan tanpa proses klarifikasi kritis.
Fenomena ini dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya kejumudan intelektual di kalangan umat Islam, yakni ketika daya kritis, nalar ilmiah, dan semangat ijtihad tergantikan oleh sikap taqlid buta dan pengagungan terhadap teks klasik secara ahistoris.
Mistis dalam konteks ini merujuk pada unsur spiritual atau supranatural yang tidak terverifikasi secara empiris, tetapi dianggap sebagai bagian dari kebenaran. Sedangkan, mitologis merujuk pada cerita-cerita atau narasi yang bersifat legendaris atau simbolik, tetapi diperlakukan sebagai kebenaran historis.
Dalam Tafsir Jalalain, banyak dijumpai kisah-kisah yang beraroma mistis atau mitologis. Misalnya, dalam penafsiran QS. Al-Kahf: 9-26 tentang Ashhabul Kahfi, disebutkan pemuda yang tidur selama 309 tahun, seekor anjing yang berjaga di pintu gua, serta berbagai perkiraan jumlah pemuda yang semuanya dianggap valid.
Tak hanya itu, dalam penafsiran QS. Saba’: 12-14 tentang Nabi Sulaiman, disebutkan bahwa jin bekerja atas perintahnya dan kematiannya tidak diketahui sampai tongkatnya dimakan rayap. Juga dalam QS. Al-Baqarah: 19, dijelaskan petir adalah suara malaikat.
Penafsiran-penafsiran ini seringkali dipahami secara literal oleh sebagian besar umat Islam, bahkan diinstitusionalisasikan dalam sistem pendidikan agama, tanpa ruang untuk pendekatan simbolik atau hermeneutik kritis.