Tafsir Hermeneutika Al-Qur’an dan Kontroversinya

31 views

Rasulullah ditugaskan untuk menyampaikan wahyu kepada umat-Nya. Tidak hanya sebagai pedoman bagi umat muslim saja, Al-Qur’an juga menjadi petunjuk seluruh umat manusia. Karena itu, cakupan isi Al-Qur’an merupakan petunjuk dari semua problematika kehidupan.

Beberapa tokoh agama memaknai Al-Qur’an sebagai ensiklopedia atau kamus pencerahan bagi perjalanan hidup manusia secara komprehensif. Dan di setiap zaman, penafsiran Al-Quran selalu digaungkan oleh para ulama dan mufasir. Hal itu dilakukan supaya persoalan kehidupan baik dari segi muamalah, akidah, dan syariat agama selalu terlingkup dalam Al-Qur’an.

Advertisements

Namun di era modern, dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, globalisasi informasi, kecanggihan teknologi, dan keluasan berpikir yang semakin dianggap bernilai, juga mempengaruhi keterbukaan dalam memahami teks Al-Qur’an, salah satunya metode menafsirkannya.

Tentu kita memahami bahwa dalam menafsirkan Al-Qur’an tak luput dari tradisi yang berkaitan dengan istilah tafsir dan takwil. Ulama klasik dan mujahid berpendapat bahwa arti kata tafsir menjelaskan “yang luar” (dhahir) dari Al-Qur’an. Adapun, takwil merujuk pada penjelasan makna dalam dan tersembunyi dari Al-Qur’an.

Menurut Nasr Hamid, dalam proses tafsir, seorang penafsir menggunakan linguistik dalam pengertiannya yang tradisional, yaitu merujuk pada riwayah. Artinya, peran penafsir dalam melakukan penafsiran hanya dalam kerangka mengenal sinyal-sinyal.

Sedangkan, dalam tawil (interpretasi), interpreter lebih dari sekadar mempergunakan apa yang dipergunakan dalam tafsir di atas. Takwil dalam pengertiannya yang baru menggunakan perangkat keilmuan yang lain dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial untuk menguak makna teks yang lebih dalam.

Berbagai kronologis interpretasi Al-Qur’an ditawarkan untuk mempermudah memahami makna kandungan ayat. Dalam hal ini, tafsir kemungkinan besar tetap membuka lahirnya wacana baru di setiap perkembangannya. Salah satu metode fundamentalis upaya menafsir ulang Al-Qur’an bagi mufasir kontemporer ialah dengan pendekatan Hermeneutika.

 Kontroversi dan Perkembangannya

Pada dasarnya, hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir, membuat interpretasi, berbicara, menulis, dan lain sebagainya melalui bahasa. Dengan kata lain, hidup ini tidak terlepas dari aktivitas (ber)bahasa. Dalam tradisi kelisanan kita, bahasa digunakan sebagai dialektika perjumpaan antarmakna.

Menurut Nasr Hamid, realitas dan budaya tidak dapat dipisahkan dengan bahasa. Oleh sebab itu, Al-Qur’an juga merupakan teks bahasa (nash lughawi). Keterkaitan realitas, budaya, dan bahasa menjadikan Al-Qur’an sebagai teks historis sekaligus teks manusiawi. Sekalipun Al-Qur’an bersumber dari Ilahi, namun hakikatnya Al-Qur’an “termanusiawikan” karena berada dalam ruang lingkup dan waktu tertentu.

Sementara itu, Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika Qur’ani mengatakan, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami makna literalnya. Lebih jauh dari itu, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut.

Horison yang dimaksud adalah horison teks, horison pengarang dan horison pembaca. Dari hal ini kita dapat melacak bagaimana teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan apa muatan yang terkandung dalama teks tersebut.

Namun, di sisi lain, metode hermeneutika masih mengalami simpang siur oleh beberapa mufasir modern kontemporer. Hal ini dilihat dari jejak perkembangannya yang dianggap tidak relevan ketika dijadikan pijakan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.

Hermeneutika pada era klasik dikenal sebagai gerakan eksegesis di kalangan gereja, kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran”. Menurut cendekiawan muslim yang kontra dengan metode hermeneutika, menganggap bahwa hermeneutika merupakan metode yang digunakan untuk menafsirkan kitab Bibel dan berasal dari tradisi Kristen. Tak jarang, kontroversi ini melahirkan perdebatan dan kritikan dalam studi Al-Qur’an di berbagai kalangan, seperti halnya hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman.

Ada beberapa konsep hermeneutika yang jika diaplikasikan ke dalam tafsir Al-Qur’an akan menimbulkan problem. Gagasan Schlleirmacher bahwa penafsir bisa lebih mengerti dan lebih baik dari pengarangnya, misalnya, sangat tidak tepat bila diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an. Begitupula dengan gagasan Dilthey yang menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya.

Pendapat tersebut akan menemui kesulitan jika diterapkan dalam tafsir Al-Qur’an. Bagi para mufasir, Allah sebagai pengarang Al-Qur’an justru bisa mengubah sejarah. Bukan malah dipengaruhi oleh sejarah.

Karena itu, sebagian mufasir kontemporer yang kontra dengan pendekatan hermeneutika menegaskan bahwa dalam perspektif apapun, termasuk hermeneutika, dilarang menjadikan tafsir Al-Qur’an sebagai subjek bebas nilai yang menafikan nilai-nilai absolutisme dan eternalitas Al-Qur’an sebagai firman Allah.

Namun, di sisi lain, beberapa mufasir ketika menafsirkan Al-Qur’an dengan model penafsiran transformatif, tetap menggunakan pendekatan hermeneutika dengan mempertimbangkan prinsip prinsip dasar dalam memahami Al-Qur’an. Begitupun, pembahasan hermeneutika di setiap zaman tak akan ada habisnya. Bukan hanya golongan mufasir dari kalangan akademisi, hingga saat ini pun  studi Al-Qur’an dengan pendekatan hermeneutika masih eksis dan terus berkembang. Entah sampai kapan.

Multi-Page

One Reply to “Tafsir Hermeneutika Al-Qur’an dan Kontroversinya”

  1. Menurut pemahaman saya, kontroversi dalam berbagai hal adalah hal yang biasa. Senyampang tidak sampai terjadi gesekan-gesekan yang membuat kita bermusuhan. Termasuk dalam hal ini, tafsir hermeneutika yang tentu saja melahirkan perbedaan pendapat. Bahkan, tafsir itu sendiri melahirkan perbedaan pandangan. Sehingga kita harus bijak dalam menyikapi perbedaan, tanpa harus bersikap skeptis terhadap lahirnya tafsir yang berdasarkan keilmuan. Hee,,, saporana….

Tinggalkan Balasan