Tafsir Al-Qur’an Terhadap Isu Rasisme: Perspektif Ulama Afrika Barat

313 kali dibaca

Di tengah kompleksitas tantangan sosial, isu rasisme menjadi perdebatan hangat tidak hanya di tingkat global, tetapi juga di dalam masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya berita anak yang mem-bully teman sebaya, atau guru mencemooh murid dan sebaliknya.

Seiring merebaknya sikap diskriminasi, penting bagi kita untuk lebih memahami perlunya mengatasi diskriminasi berbasis etnis. Dalam konteks ini, penafsiran Al-Qur’an menjadi fokus utama. Sūrat al-Ḥujurāt menawarkan panduan komprehensif dalam mengelola konflik sosial.

Advertisements

Dalam pembahasan ini, kita akan menelaah pandangan dua ulama terkemuka Afrika Barat, Syekh Abdullahi ibn Fudi dan Syekh Aḥmad Dem, yang dapat memperluas wawasan umat Islam di Indonesia dalam memitigasi rasisme dan membangun inklusivitas komunitas. Dengan memahami tafsiran ayat-ayat ini, kita dapat bersama-sama mengatasi tantangan rasisme di Indonesia.

Kedua ulama, Syekh ʿAbdullāhī ibn Fūdī dan Syekh Aḥmad Dem, menyoroti pentingnya menghindari perilaku merendahkan dan memperolok-olok sesama manusia berdasarkan suku atau etnis. Ayat ke-11 dari Surat al-Ḥujurat dengan tegas melarang tindakan semacam ini.

Syekh Ibn Fūdī menekankan bahwa larangan tersebut khusus mengacu pada kaum lelaki dari suatu komunitas, sementara Syekh Dem menyajikan tiga contoh nyata dari masa awal Islam di mana perilaku semacam ini terjadi.

Pertama, terkait Thabit bin Qays bin Shammās, menekankan pentingnya menghormati status orang lain. Kedua, insiden Tamim yang mencemooh beberapa sahabat miskin, termasuk ʿAmmār, menyoroti bagaimana disparitas sosio-ekonomi terkait dengan cemoohan berbasis garis keturunan. Ketiga, sebagian kaum Muslimin menyebut Ikrimah bin Abī Jahal ketika memasuki Madinah sebagai putra Fir’aun.

Syekh Dem menekankan bahwa mereka yang ikut serta dalam ejekan turut berbagi dosa. Pesan lebih luas dari ayat ini adalah tentang pelarangan terhadap panggilan yang mengandung celaan. Pesannya menekankan akanpentingnya menghindari sebutan yang merendahkan dan memilih nama-nama yang memuliakan sesama mukmin. Selanjutnya, peringatan dari ayat ini terhadap pelaku diskriminasi yang tidak bertaubat menjadi pengingat keras  bagi mereka yang bertekad keras dalam kesombongan dan penghinaan, mencerminkan jalur terkutuk yang dipilih oleh Iblis.

Ayat ke-13 dari Surat al-Hujurat menegaskan bahwa manusia diciptakan dari sepasang lelaki dan perempuan, dan diperintahkan untuk saling mengenal dalam keberagaman suku dan bangsa. Keagungan seseorang di sisi Allah terletak pada ketakwaannya, bukan pada garis keturunan atau penampilan fisik

. Para ulama menyampaikan bahwa kesombongan terhadap keturunan adalah tidak pantas, sebagaimana dicontohkan dalam beberapa insiden sejarah Islam. Pertama, kisah Bilal bin Rabah yang mendapatkan perlakuan diskriminasi karena latar belakang etnis dan warna kulitnya, saat Rasulullah memerintahkan untuk memberi adzan di atas Ka’bah dalam fathu Makkah. Kedua, Perintah menikahkan wanita Arab dengan Abu Hind. Di mana saat itu wanita dari suku Ansar menolak sebab Abu Hind adalah bekas budak. Ketiga, tindakan Thabit bin Qays yang menolak tempat duduk kepada seseorang dalam suatu pertemuan karena orang tersebut memeiliki status sosial yang lebih rendah.

Terakhir, kisah pencelaan terhadap Safiyya. Saat itu, istri-istri Nabi dari bangsa Arab mencelanya dengan panggilan yang merendahkan “Yahudi, putri seorang Yahudi.” Ayat ini juga mengingatkan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah. Oleh karena itu, kehormatan sejati terletak pada ketakwaan, bukan pada garis keturunan atau penampilan fisik. Tidak ada alasan untuk merendahkan atau mencemooh seseorang berdasarkan ras atau etnisitas.

Kedua ulama menegaskan pentingnya menjauhi sikap rasialis dalam diri sendiri dan dalam masyarakat Islam secara keseluruhan. Pemakaian kata-kata merendahkan berbasis ras harus dihindari karena berdampak buruk, termasuk memicu rasa rendah diri dan diskriminasi sosial yang menghambat akses terhadap kesempatan ekonomi, pendidikan, dan kehidupan berkeluarga. Dalam kasus ekstrem, hal ini dapat memicu kekerasan atau pembersihan etnis. Oleh karena itu, penolakan terhadap penggunaan bahasa rasialis dan cemoohan memiliki implikasi sosial yang nyata.

Tafsiran mendalam dari dua ulama besar ini menyoroti bahwa pemahaman akan asal-usul manusia yang sama dan nilai-nilai ketakwaan adalah kunci dalam mengatasi rasisme. Mengenali dan menghormati satu sama lain sebagai sesama makhluk Allah merupakan landasan yang kuat untuk membangun komunitas inklusif. Perintah untuk menghindari penghinaan dan ejekan berbasis rasial sejalan dengan prinsip-prinsip universal cinta dan hormat terhadap sesama.

Pandangan Syekh ʿAbdullāhi ibn Fudi dan Syekh Aḥmad Dem yang tertuang dalam tafsiran mereka memberikan pedoman berharga bagi umat Islam dalam menanggulangi rasisme. Mereka mengajarkan bahwa nilai-nilai ketakwaan dan penghormatan terhadap sesama manusia harus menjadi landasan utama dalam membangun komunitas yang inklusif dan adil. Melalui pemahaman mendalam terhadap ajaran Al-Qur’an, kita dapat bersama-sama mengatasi tantangan rasisme dan memupuk persatuan serta kebersamaan dalam keberagaman.

Penting bagi umat Islam untuk memandang ajaran Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam mengatasi isu rasisme di masyarakat. Tafsiran Syekh ʿAbdullahi ibn Fudi dan Syekh Aḥmad Dem menawarkan pandangan yang mendalam dan praktis tentang bagaimana memitigasi rasisme di dalam komunitas Muslim.

Dengan mempraktikkan nilai-nilai ketakwaan, menghormati sesama, dan menghindari pengolok-olokan berbasis rasial, umat Muslim dapat membangun masyarakat yang inklusif dan adil. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama mengatasi isu rasisme dan memajukan persatuan dalam keberagaman.

Referensi:

1. The Quraysh were among the Arabs who trace their lineage to ‘Adnan and back to Prophet Ishmael (Isma’il).

2. Ibn Fudi, Ḍiyāʾ al-taʾwīl fī maʿānī al-tanzil (Sokoto: Al-Hajj Muhammad Ali Agha, n.d.), 1:3.

3. Abdullah Hakim Quick, In the Heart of a West African Islamic Revival: Shaykh Uthman Dan Fodio, (1774–1804) (Cairo: Al-Falah Foundation, 2007.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan