Di sebuah lorong waktu intelektual Islam abad ke-6 Hijriyah, terdapat seorang pemikir yang berjalan di atas jalan sunyi, memikul beban wacana yang tak ringan: mengenali keragaman pikiran umat manusia tanpa menyulut kebencian.
Ia bukan sekadar ahli kalam, tapi penjelajah kesadaran kolektif umat. Namanya: Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani (w. 1153 M), dan magnum opus-nya berjudul Al-Milal wa al-Nihal. k

Kitab yang bagi banyak santri klasik hanyalah daftar nama-nama sekte dan aliran. Padahal, ia adalah ensiklopedia keberagaman iman, ditulis dengan nalar yang jernih dan akhlak ilmiah yang luhur.
Membaca Al-Milal wa al-Nihal bukan hanya seperti menelusuri museum sejarah kepercayaan, tetapi juga seperti membuka ruang perenungan tentang bagaimana manusia, sejak zaman dulu, selalu mencoba memahami Tuhan dari banyak jalan, dengan banyak bahasa.
Dan Syahrastani, dengan kejernihan akalnya, tidak mencoba memadamkan satu jalan untuk menghidupkan jalan lain. Ia tidak merasa harus membela agamanya dengan cara mencacatkan agama orang lain. Sebaliknya, ia seperti menulis dengan pena yang dicelupkan ke dalam sumur kasih sayang dan ilmu yang dalam.
Kitab yang Tak Menghakimi
Dalam mukadimahnya yang sangat terkenal, Syahrastani langsung menetapkan posisinya sebagai pengamat, bukan penghukum. Ia menyatakan:
“ما قصدت فيه إلى طعنٍ على ملة، ولا قدحٍ في نحلة، وإنما قصدت إليه بيان ما هو عليه كل ملة ونحلة، على ما وجدته في كتبهم، ونقلته من ألسنة ناقليهم.”
Artinya: “Aku tidak bermaksud mencela agama apa pun atau mencaci sekte apa pun. Tujuanku hanyalah menjelaskan bagaimana keadaan setiap agama dan sekte, sebagaimana yang kudapati dalam buku-buku mereka dan yang kudengar dari para penyampainya.”
Ini bukan sekadar kalimat pembuka, tapi adalah mantra etika ilmiah. Di zaman ketika perdebatan teologis sering berubah menjadi konflik berdarah, Syahrastani justru hadir dengan pena sejuk yang menggambarkan keragaman sebagai lanskap pemikiran, bukan sebagai arena peperangan.
Keragaman: Cermin Intelektual
Syahrastani menyusun kitab ini seperti seorang arsitek pemikiran. Ia membagi seluruh keyakinan umat manusia dalam dua kategori utama: al-milal (agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Yahudi, Majusi, dan Sabiah), dan al-nihal (mazhab dan sekte dalam dan luar agama wahyu). Ia mencatat nama-nama besar: Muktazilah, Jabariyyah, Qadariyyah, Khawarij, Rafidhah, Ismailiyyah, bahkan kelompok-kelompok filsuf Yunani seperti para pengikut Aristoteles dan Pythagoras.
Yang mencengangkan adalah bagaimana Syahrastani tetap memosisikan dirinya dalam jarak yang seimbang terhadap semua kelompok tersebut. Ia bahkan menuliskan struktur logika mereka, menyebutkan tokoh-tokohnya, dan mencoba memahami mengapa keyakinan itu muncul.
Tentang Muktazilah, misalnya, ia menulis dengan cermat:
“أصل مذهبهم في التوحيد: نفي الصفات الزائدة على الذات، وذلك لأنهم رأوا أن إثباتها يستلزم تعدد القدماء، وهم لا يجوزون ذلك.”
Artinya: “Pokok keyakinan mereka dalam masalah tauhid adalah penafian terhadap sifat-sifat yang dianggap tambahan dari dzat Tuhan. Karena mereka melihat bahwa jika sifat itu dianggap eksis sendiri, maka itu berarti memperbanyak yang qadim. Dan mereka tidak membenarkan hal itu.”
Dengan cara seperti ini, Syahrastani seperti memberikan ruang bagi pembacanya untuk berpikir. Ia tidak menyuapi kita dengan kesimpulan, tapi membuka kemungkinan untuk memahami dari dalam.
Antara Kalam dan Kebijaksanaan
Al-Milal wa al-Nihal bukan kitab dogma. Ia lebih tepat disebut sebagai kitab fenomenologi keyakinan. Ia tidak menelusuri apakah satu mazhab itu sah atau batal, sesat atau benar. Yang ia kejar adalah struktur pemikiran yang membentuk mazhab itu, akar historis dan logisnya.
Syahrastani menulis:
“وما رأيت أحدا من أرباب المقالات إلا وهو يرجع بداية أمره إلى حس أو إلى عقل أو إلى وحيٍ.”
Artinya: “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari pemilik paham (aliran) kecuali ia mengembalikan awal mula keyakinannya kepada salah satu: indera, akal, atau wahyu.”
Ini adalah pernyataan monumental. Dalam satu kalimat, ia mengakui bahwa setiap keyakinan memiliki dasar epistemologis—entah dari empirisme, rasionalisme, atau spiritualisme. Ia tidak menertawakan yang berbeda, tapi justru menunjukkan bahwa setiap aliran punya fondasi yang, pada satu titik, bisa dipahami secara manusiawi.
Bagaimana Kitab Ini di Pesantren
Pesantren hari ini sebetulnya memiliki modal besar untuk menggali kembali khazanah seperti Al-Milal wa al-Nihal. Namun kenyataannya, kitab ini nyaris hanya menjadi teks pelengkap dalam studi sejarah pemikiran Islam. Padahal, ia bisa menjadi buku primer untuk membentuk nalar kritis, keterbukaan berpikir, dan semangat toleransi berbasis keilmuan.
Bayangkan, jika santri-santri hari ini membaca bagaimana Syahrastani mendeskripsikan Khawarij—kelompok yang dalam sejarah dikenal keras—dengan tenang dan tanpa emosi:
“وهم طوائف شتى، يجمعهم القول بتكفير أصحاب الكبائر، والخروج على أئمة الجور.”
Artinya: “Mereka adalah beberapa kelompok yang disatukan oleh keyakinan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dan bahwa wajib memberontak terhadap imam yang zalim.”
Tidak ada cacian. Tidak ada ancaman. Hanya narasi. Hanya deskripsi. Inilah pelajaran besar: bahwa kebenaran tidak selalu harus datang dengan suara keras. Kadang, kebenaran justru lahir dari sikap mendengar yang dalam.
Warisan Keilmuan dan Kemanusiaan
Jika hari ini banyak diskursus keislaman dipenuhi jargon-jargon apologetik, maka Al-Milal wa al-Nihal memberi alternatif yang sangat dewasa: mengenal yang berbeda tanpa kehilangan identitas. Syahrastani adalah simbol bahwa seorang Muslim dapat menjadi tegas dalam keyakinan, namun tetap lembut dalam menghadapi perbedaan.
Dan inilah yang hilang dari banyak ruang publik keislaman modern—baik yang akademik maupun yang populis: kemampuan untuk membaca dengan empati, menulis dengan cinta, dan berpikir dengan kesadaran bahwa Allah menciptakan manusia dalam keragaman bukan untuk ditertawakan, tapi untuk direnungkan.
Jalan Sunyi Syahrastani dan Santri
Banyak orang mengira bahwa kekuatan umat terletak pada kesatuan doktrin. Tapi Syahrastani mengajarkan hal yang lebih sulit tapi lebih indah: bahwa kekuatan kita justru terletak pada kemampuan memahami keberagaman dengan kepala dingin dan hati bersih.
Santri hari ini tidak cukup hanya menjadi pewaris kitab kuning. Ia juga harus menjadi penafsir ulang warisan intelektual klasik agar relevan dengan zaman. Dan Al-Milal wa al-Nihal adalah kitab yang bukan hanya layak dibaca, tapi wajib dihayati. Bukan sekadar untuk mengetahui siapa itu Muktazilah atau Rafidhah, tapi untuk belajar bagaimana bersikap terhadap yang berbeda—dengan adab, dengan ilmu, dan dengan iman.
Referensi:
Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers. Boulder: Westview Press, 1994.
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press, 1968.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995.
Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim al-. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.