Surat Ketiga: Kepada Pak Darmanto Jatman (16 Agustus 1942–13 Januari 2018)

31 views

Pak Dar,

Pada Semaan Puisi Edisi 81, Kamis, 12 Juni 2025, saya sedang berada di pinggiran Yogyakarta—tepatnya di Kali Bedog, Gamping, Sleman. Meski secara fisik tidak berada bersama kawan-kawan di Adakopi—markas Semaan Puisi di Serua, Depok—namun percayalah, Pak Dar, hati dan tujuan kami senantiasa berjalan beriringan di jalan puisi.

Advertisements

Kami duduk selingkar, seperti biasa, seperti zaman orang masih berkirim kartu pos, belajar mendengar dan menyimak puisi-puisimu yang jenaka; menelusuri jejak kreatifmu yang entah kenapa, selalu tampak seperti orang sedang tidak terlalu serius, padahal sangat serius.

Yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana Pak Dar senantiasa membuka pintu dan duduk sepundak dalam satu lingkaran dengan seniman, penyair, budayawan, dan bahkan dengan orang-orang yang dalam status sosial bukan siapa-siapa—yang celananya sobek di dengkul, tapi pikirannya kadang tajam seperti paku di jalan raya. Kau buka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang datang bertandang ke rumahmu, bahkan ketika yang datang itu belum mandi, belum makan, dan baru saja patah hati.

Kehadiran mereka kau sambut dengan teh, kopi, jajanan pasar, dan tentu saja: buah pikiran. Agar mereka tetap berkarya. Tidak berputus asa dalam belajar, menulis, dan memahami makna hidup. Sayangnya, kau juga generasimu di masa itu tidak hidup di masa seperti sekarang, di mana kami mengira bahkan diam-diam percaya bahwa makna hidup itu bisa dicari lewat Google atau video dua menit di TikTok.

Pak Dar,

Sambil mendengar ricik air Kali Bedog, saya tersenyum sendiri. Kadang tersipu malu, seperti anak sekolah yang salah menyebut nama ibu kota negara saat ujian. Saya sadar belum bisa berbuat banyak sebagaimana Pak Dar lakukan kepada orang lain. Harus saya akui, selama ini saya lebih sibuk memikirkan eksistensi diri sendiri ketimbang meringankan tangan untuk orang lain.

Ya, saya malu, karena terlalu sering merasa risih menerima perbedaan pendapat—seolah saya ini makhluk satu-satunya yang diberi hak veto oleh semesta. Duh, betapa menyebalkannya saya.

Tapi, Pak Dar,

Lewat surat ini, saya benar-benar ingin bercerita soal betapa bangganya saya berbagi.

Sambil mendengar pembacaan biografimu oleh Angin Kamajaya, pengampu dan pendiri Semaan Puisi, saya membayangkan Pak Dar sedang duduk bersama Pak Kayam, Romo Mangun, dan Rendra. Ngangkring bersama di beranda surga di alam Barzah—ngobrolin puisi Indonesia yang dingin, dalam suasana politik Indonesia yang selalu hangat. Hangat dalam arti menghanguskan.

Sunyi di tengah keriuhan suara sumbang para politisi, yang lebih sering jalan-jalan dengan dalih kunjungan kerja—kerjanya siapa, hasilnya ke mana, Tuhan saja kadang geleng-geleng kepala menyaksikan politisi negerimu, Indonesia.

Padahal, kata Rendra dalam Kesaksian: Dengan puisi ini aku bersaksi // bahwa rakyat Indonesia belum merdeka. //Rakyat yang tanpa hak hukum // bukanlah rakyat yang merdeka.

Hak hukum yang tidak dilindungi // oleh lembaga pengadilan yang mandiri //adalah hukum yang ditulis di atas air // Bagaimana rakyat bisa merdeka // bila polisi menjadi abdi pemerintah // yang melindungi hak warga negara? 

Bagaimana rakyat bisa disebut merdeka // bila birokrasi negara // tidak mengabdi kepada rakyat, // melainkan mengabdi kepada pemerintah yang berkuasa? 

Bagaimana rakyat bisa merdeka // bila provinsi-provinsi // sekadar menjadi tanah jajahan pemerintah?

Eh, Pak Dar, mau tahu tidak, mereka itu suka ngobral janji lho. Bukankah yang diobral itu harusnya kebutuhan-kebutuhan pokok ya, Pak Dar?

Tapi, Pak Dar,

Apa pun yang Pak Dar obrolkan di surga sana tentang puisi masa kini, kami di sini tetap melanjutkan tawa dan perenungan. Kami ini bukan sepuluh pemuda harapan Bung Karno yang akan mengguncang dunia. Tapi sekumpulan anak muda yang bangga lahir di Indonesia—meski kadang bangga itu harus diselipi tawa getir. Setidaknya, kami bisa bergelak tawa membaca puisi-puisi Pak Dar, kolom-kolom Pak Kayam yang seperti ngobrol sambil nyeruput kopi, dan menjadi saksi diam atas keserakahan pemerintah lewat puisi-puisi WS Rendra.

Tentang cara kami bermunajat, Pak Dar,

Kami punya ustaz-ustaz andal yang suaranya menggelegar ketika berdoa. Lebih keras dari toa kampanye. Apalagi ketika ceramah—materinya kadang seperti sinetron religi: penuh penghakiman. Surga, katanya, hanya untuk mereka yang sebarisan. Yang tak sejalan, ya silakan antre di neraka.

Tapi, bolehkah saya titip satu pertanyaan kecil, Pak Dar?

Bisakah ditanyakan kepada malaikat penjaga surga, benarkah tutorial masuk surga sesimpel itu… atau justru lebih absurd dari iklan sabun cuci? Soalnya, di sini ada yang bilang—dan dengan sangat yakin pula—bahwa “siapa pun yang beda ideologi, beda pilihan politik, atau bahkan beda cara mencintai tanah air, tidak akan masuk surga.” Lho, jadi surga itu semacam klub eksklusif dengan dress code ideologi tertentu? Kalau begitu, Plato, Gandhi, atau bahkan tetangga saya yang hobi menanam bayam di lahan sempit tapi ogah ikut ormas, bisa-bisa ditolak di depan gerbang surga.

Kalau benar begitu, Pak Dar,

Izinkan malam ini kami tetap berdoa dengan doamu. Doa yang tidak memilih-milih pendengar. Doa yang tulus, bahkan ketika diucapkan dengan logat medok, dengan sandal jepit, atau tanpa pernah viral di medsos:

MENGHADAP-MU PAGI INI

24 huruf
bersijingkat
membentuk semboyan-semboyan yang bijak
aku pun paham
bermula dari-Mu pula
lahir suara dan tanda
dan Kata
dan Aku
Serempak nyanyi
Serempak bersorak
Dan aku pun rebah!

Pak Dar,

Kuakhiri dulu surat ini. Izinkan pagi ini aku tertawa dan tersenyum, bukan karena tingkah lucu politikus atau pelawak yang lebih suka nyinyir daripada menghibur. Tapi karena puisi, dan karena kau—yang entah bagaimana, tetap terasa dekat, meskipun duduk di bangku panjang surga, bersama para penyair yang kini menulis dengan tinta cahaya.

Salam dari Kali Bedog, yang airnya tidak lagi jernih dan pohon-pohon di sekitar penuh dengan foto-foto politisi yang mengobral janji.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan