Sufisme dan Gerakan Perlawanan

406 kali dibaca

“Orang-orang yang lemah di antara kamu bisa menjadi kuat di hadapanku. Aku akan akan membuat para penindas menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu, bisa menjadi lemah di hadapanku. Insyaallah, aku akan melihat orang-orang tertindas memperoleh hak-haknya kembali.” (Pidato Abu Bakar As Shiddiq sesaat setelah menjadi Khalifah).

Dalam pandangan masyarakat awam, sufi adalah jaringan para ulama yang menyepi dari hal-hal duniawi. Pandangan tersebut nyatanya tak seluruhnya benar. Ternyata sufi yang dipandang menjauhi dunia, justru ikut dan terlibat aktif dalam upaya memperbaiki dunia. Apa yang diperbaiki? Kondisi masyarakat yang jauh dari keadilan dan kesejahteraan. Terminologi yang tepat dalam menyebut masyarakat yang tertindas atau jauh dari hak-haknya adalah mustadhafin.

Advertisements

Sebagai teladan bagi umat muslim, Nabi Muhammad SAW memberi contoh dalam upaya membela kelompok yang tertindas. Dalam periode Mekkah, Nabi Muhammad memperjuangkan hak-hak masyarakat yang lemah dan teraniaya, termasuk melindungi hak-hak perempuan, anak yatim, dan budak. Hal ini tercermin dalam ajaran dan tindakan beliau selama masa kenabian di Mekkah, yang terpatri dalam sabdanya: “Sebaik-baik jihad adalah berbicara benar di hadapan penguasa yang zalim” ( Hadis Riwayat Abu Dawud).

Tak mengherankan jika para sufi ikut berjuang dalam upaya melawan penindasan yang terjadi, semata-mata untuk membela kaum yang tertindas dan menegakkan kembali ajaran dan ideologi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Para sufi dalam melawan segala bentuk penindasan berangkat dari kesadaran ideologis yang dibawa oleh baginda nabi. Bahwa kondisi masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang gandrung akan keadilan, masyarakat yang jauh dari segala bentuk penindasan.

Nur Samad Kamba dalam sebuah penjelasannya tentang upaya kaum sufi melawan penindasan menjelaskan bahwa para sufi melanjutkan perjuangan Nabi Muhammad yang bersifat ideal. Kesadaran ini yang harusnya menjadi penggugah umat Islam hari ini, bahwa tak cukup hanya meyakini Nabi Muhammad sebagai seorang utusan Allah saja, tapi juga harus melanjutkan apa yang diperjuangkan Nabi. Bagi Nur Samad Kamba, kondisi umat Nabi dewasa ini hanya sebatas klaim pengikut Nabi saja, tidak merepresentasikan ajaran dan risalah Nabi yang sesungguhnya.

Tercatat ada beberapa gerakan yang diinisiasi oleh para sufi dan penganut tarekat di Indonesia. Dimulai dari gerakan yang dilakukan penganut tarekat Sammaniyah di Palembang. Gerakan perlawanan ini dilakukan dengan cara berzikir keras sampai mencapai ekstase. Dengan menggunakan pakaian putih-putih, kelompok ini juga menyerang musuh dengan gagah berani  tanpa rasa gentar. Upaya perlawanan ini ditujukan kepada tentara Belanda yang menduduki kota Palembang tahun 1819-an.

Perlawanan ini juga terjadi di Kalimantan Selatan. Pada tahun 1860-an,  Belanda menghadapi perlawanan serupa dari gerakan rakyat yang kuat yang menjalankan amalan-amalan bercorak sufi yang disebut beratip beramal di mana kita mungkin dapat juga menyaksikan adaptasi setempat terhadap tarekat Sammaniyah.

Kasus lainnya juga tercatat pada pemberontakan antikolonial selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satu pemberontakan yang paling besar terhadap pemerintah Belanda terjadi di Banten (Jawa Barat) pada tahun 1888; di sini tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah-lah yang terlibat, walaupun mungkin secara tidak langsung. Pemberontakan besar lainnya, yang disebabkan karena diberlakukannya pajak tembakau yang baru, pecah di Sumatera Barat pada tahun 1908. Kali ini tarekat Syattariyah, karena sudah lama berpengaruh di wilayah tersebut, yang memainkan peranan dalam berbagai perlawanan.

Pemberontakan-pemberontakan yang melibatkan tarekat ini terjadi dalam rentang waktu selama sekitar satu abad, sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Sebagian di antaranya adalah gerakan menentang masuknya pemerintah kolonial, sedangkan pemberontakan lain menentang peraturan-peraturan tertentu yang ditetapkan pemerintah atau respons terhadap kemerosotan kehidupan ekonomi masyarakat dan penindasan. Tak lupa pula cerita perang dahsyat yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Perjuangan para sufi mengharuskan untuk terus memperjuangkan ideologinya. Siapapun yang berjuang, mereka harus selesai dengan ideologinya masing-masing. Jika tak selesai dengan ideologi, maka mereka disarankan untuk tidak terlibat dalam perjuangan melawan penindasan. Karena berhasil tidaknya perjuangan, tergantung kuatnya berpegang pada nilai-nilai luhur ideologis yang diperjuangkan.

Dalam ceramahnya, Nur Samad Kamba menjelaskan bahwa para sufi hadir dalam setiap perjuangan melawan penindasan yang ada di masyarakat, tetapi para sufi tak mengambil jabatan-jabatan strategis dalam sebuah negara. Jabatan ini diserahkan kepada orang-orang yang layak dan ideologis tentunya. Orang yang sadar betul akan nilai dan cita-cita yang bersama yang diperjuangkan.

Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa dalam upaya melawan penjajahan kolonialisme, para sufi menggunakan karomah. Karomah ini memiliki banyak sekali pengertian. Nur Samad Kamba memberi pengertian karomah sebagai sesuatu yang kuat secara spiritual dan mampu memberi inspirasi yang mampu membangkitkan spirit revolusioner para pengikutnya.

Selain di Indonesia, contoh para sufi melawan penindasan yang dijelaskan oleh Nur Samad Kamba adalah di Mesir. Saat itu pengikut tarekat Syadziliyah, berupaya melawan kolonialisme, dalam hal ini pasukan yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Para pengikut tarekat ini mengikat kaki-kaki mereka dengan tali  di bibir pantai agar tak bisa melarikan diri dari senjata meriam yang ditembakkan oleh pasukan Napoleon Bonaparte.

Ini adalah contoh bagaimana pengikut tarekat yang dipimpin para sufi, dalam upaya melawan penindasan berangkat dari kesadaran ideologis yang tinggi, sehingga mereka teguh melawan dengan gagah berani meskipun menghadapi meriam musuh yang ditembakkan ke segala penjuru arah.

Menyadari kegigihan pengikut tarekat itu membuat Napoleon Bonaparte ketakutan dan menarik pasukannya dari negeri Mesir. Ini adalah contoh karomah yang dimiliki oleh para sufi, yakni kekuatan spiritual yang bisa membangkitkan api-api perlawanan dalam upaya melawan segala bentuk penindasan. Contoh ini menjelaskan kepada kita bahwa perjuangan harus berangkat dari nilai-nilai ideologis yang kuat.

Ideologi ini muncul dari sebuah keresahan akan masalah yang ada di masyarakat. Artinya ideologi ini adalah seperangkat konsep yang dilahirkan untuk menjawab dan mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat. Jika mengaca pada perjuangan Kanjeng Nabi, yang dilawan adalah bukan mereka yang mengingkari ajaran Nabi, tapi sumber dari motivasi mereka dalam menolak dan menentang ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, para sufi dalam berjuang melawan penindasan selalu berangkat dari realitas sosialnya. Berjuang tidak sekadar berjuang, tapi mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik. Tentu hal ini menuntut proses yang harus matang. Seperti proses ideologisasi yang ditanamkan Nabi Muhammad ketika berada di Mekkah, sebelum nantinya apa yang menjadi proses ditransformasikan ke dalam wujud nyata yang konkret ketika berada dalam periode Madinah.

Apa yang menjadi basis gerakan para sufi tentu berpedoman kepada apa yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad. Sebagai sosok pemimpin revolusioner umat IsIam, Nabi Muhammad adalah sosok yang merancang perjuangan berbasis nilai-nilai kemanusiaan. Maka dari itu, tujuan dari perjuangan dan gerakan yang dilakukan adalah untuk tegaknya keadilan di masyarakat, terciptanya kondisi masyarakat yang sejahtera, dan masyarakat yang jauh dari berbagai bentuk penindasan yang diskriminatif dan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Pada akhirnya, sebagai pewaris Nabi, ulama harus ambil bagian dalam setiap perjuangan melawan penindasan, seperti apa yang sudah dicontohkan oleh para sufi. Agamawan harus memperhatikan penderitaan rakyat. Jangan sampai ada agamawan yang bersifat elitis, dan jauh dari penderitaan masyarakat yang miskin secara ekonomi, dan tertindas secara sosialnya. Begitu kira-kira yang dijelaskan oleh Nur Samad Kamba dalam penjelasannya mengenai perlawanan para sufi terhadap penindasan.

DAFTAR PUSTAKA:

  • Abdurrahman, Moeslim, 2010, Islam yang Memihak, Yogyakarta:LKIS.
  • Ali Engineer, Ashgar, 2013, Islam dan Pembebasan, Yogyakarta:LKIS.
  • Prasetyo, Eko, 2014, Islam Kiri Jalam Menuju Revolusi Sosial, Yogyakarta: Resist Book.
  • Bruinessen, Van Martin, 2012, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Yogyakarta: Gading Publishing.
  • Ceramah Nur Samad Kamba: https://youtu.be/Zl5F0cEu2UE.
Multi-Page

Tinggalkan Balasan